Terapi gen menawarkan potensi penyembuhan bagi pasien hemofilia. Terapi gen bekerja dengan membentuk ekspresi endogen berkelanjutan dari faktor VIII atau faktor IX setelah dilakukan transfer gen fungsional untuk menggantikan gen cacat milik pasien.[1,2]
Hemofilia adalah suatu X-linked bleeding disorder yang mengakibatkan defisiensi faktor koagulasi. Pasien hemofilia derajat berat sangat berisiko menderita perdarahan spontan di sendi, otot, ataupun organ sejak usia muda, yang dapat menyebabkan kerusakan permanen atau perdarahan yang mengancam nyawa.
Saat ini, pengobatan hemofilia bergantung pada terapi penggantian faktor koagulasi melalui factor concentrate. Masalahnya, waktu paruh singkat dari terapi ini menyebabkan kebutuhan pemberian intravena yang sering. Meski sudah ada produk faktor konsentrat baru dengan waktu paruh lebih lama yang dapat mengurangi interval injeksi, paparan berulang dari terapi ini dapat memicu antibodi netralisasi atau inhibitor terhadap faktor koagulasi dan berujung pada penurunan efikasi terapi.[1-3]
Selain itu, studi jangka panjang mengindikasikan bahwa pemberian terapi faktor konsentrat tidak dapat menghilangkan sepenuhnya risiko perdarahan maupun perkembangan dari komplikasi hemophilic arthropathy. Atas dasar inilah, opsi terapi yang lebih baik terus diteliti.[4]
Rasionalisasi Penerapan Terapi Gen dan Cara Kerja Terapi Gen pada Hemofilia
Terapi gen dianggap efektif jika dapat memenuhi dua aspek utama: kadar ekspresi dari gen yang ditargetkan harus cukup tinggi untuk mengobati atau setidaknya meringankan derajat penyakit, dan ekspresi gen tersebut perlu bertahan dalam jangka waktu yang lama, idealnya seumur hidup.
Hemofilia adalah kandidat yang paling cocok untuk terapi gen karena defek genetiknya sederhana (monogenik), efek terapinya dapat diukur dengan tes darah sederhana untuk faktor VIII dan IX, dan peningkatan faktor ini lebih dari 1% dapat signifikan mengurangi risiko perdarahan spontan. Selain itu, genetic transcript untuk faktor VIII maupun IX cukup kecil untuk dimuat pada vektor seperti adeno-associated virus (AAV).[1-3]
Mekanisme Kerja Terapi Gen pada Hemofilia
Terapi gen untuk hemofilia melibatkan pemindahan salinan gen yang fungsional normal ke sel spesifik pasien. DNA eksogen yang diperkenalkan ke sel akan memproduksi protein yang mengalami defisiensi. Pada kasus hemofilia, ini melibatkan wild-type factor gene atau modified gene, dengan hepatosit sebagai target utama karena hati adalah tempat sintesis alami sebagian besar faktor pembekuan darah.
Berbagai teknologi telah digunakan untuk memperkenalkan gen faktor VIII atau IX, termasuk modifikasi genetik ex vivo yang diikuti dengan implantasi sel yang dimodifikasi atau injeksi langsung gen ke dalam vektor yang memperkenalkan gen normal ke sel target pasien. Vektor AAV sering digunakan karena tidak berintegrasi pada genome nuklir dan biasanya bersifat replication-deficient, mengurangi risiko insertional mutagenesis.
Terapi gen biasanya diberikan secara intravena dengan dosis yang diekspresikan sebagai jumlah vector genomes per kg berat pasien (vg/kg). Prosedur ini dapat dilakukan secara rawat jalan dengan pemantauan ketat terhadap efek samping yang merugikan, seperti reaksi infusi jangka pendek dan peningkatan transaminase jangka panjang.[1,3,5-7]
Basis Bukti Terapi Gen Untuk Hemofilia B
Hasil penelitian pertama yang sukses dari pemberian intravena AAV-based gene therapy untuk hemofilia dipublikasi pada tahun 2011 pada enam pasien hemofilia B. Dose-dependent expression of the factor IX transgene 2-11 IU/dL ditemukan pada semua partisipan. Bahkan, setelah 8 tahun, aktivitas faktor IX secara konsisten tetap meningkat sebesar 2-5%.[8,9]
Hasil ini dikonfirmasi lebih lanjut pada percobaan lain yang dilakukan terhadap 10 pasien hemofilia B. Rerata peningkatan pada aktivitas faktor IX sebesar 4,4 IU/dL tercapai pada dosis rendah dan peningkatan sebesar 6,9 IU/dL tercapai pada dosis yang lebih tinggi. Kadar faktor IX yang stabil tercatat pula hingga pengamatan 5 tahun.[10,11]
Kemajuan lebih baik pada penelitian terapi gen hemofilia B dicapai dengan diperkenalkannya padua variant of the FIX gene, yang mana memberikan aktivitas 5-10 kali lebih tinggi. Regulasi molekular dari aktivasi, inaktivasi maupun cofactor dependence masih menyerupai wild type gen faktor IX tetapi dengan tingkat aktivasi faktor X lebih cepat sehingga mengakibatkan hiperaktivitas dan dengan demikian kadar faktor pembekuan darah yang lebih tinggi.[12,13]
Hasil pada Pasien dengan Antibodi Anti-AAV
Pada partisipan dengan anti-AAV antibody, sebuah uji klinis fase 2b menunjukkan bahwa rerata aktivitas faktor IX naik dari 31 IU/dL hingga rerata 47 IU/dL setelah 26 minggu pemberian terapi gen. Hasil serupa diungkap dalam laporan awal dari uji klinis fase 3 lain yang melibatkan 54 pasien hemofilia B derajat berat, termasuk pasien dengan anti-AAV antibody, yang mana rerata aktivitas faktor IX 39 IU/dL tercapai pada 6 bulan dan 36,9 IU/dL pada 18 bulan setelah terapi gen.[14,15]
Studi lain yang berupa uji klinis fase 3 label terbuka lengan tunggal dilakukan terhadap 45 pasien hemofilia B derajat sedang hingga berat yang mendapat terapi gen fidanacogene elaparvovec yang dibandingkan dengan terapi standar. Hasil awal studi ini menemukan bahwa annualized bleeding rate (ABR) terapi gen non-inferior terhadap grup yang mendapat terapi profilaksis faktor IX.[16]
Basis Bukti Terapi Gen Untuk Hemofilia A
Pengembangan terapi gen pada hemofilia A lebih menantang. Berbeda dari sintesis faktor IX yang langsung di hepatosit, sinusoidal endothelial cell merupakan tempat sintesis faktor VIII di organ hepar. Hasil uji klinis pertama yang sukses untuk terapi gen hemofilia A menunjukkan bahwa sebanyak 6 dari 7 pasien pada grup dosis tinggi mengalami normalisasi yang konsisten dari aktivitas faktor VIII hingga 1 tahun. Adapun kejadian merugikan yang ditemukan ialah peningkatan enzim alanin aminotransferase hingga 1,5 kali dari batas atas normal.[3,17]
Publikasi lainnya menunjukkan konsistensi hemostatis awal yang tercapai dapat disertai penurunan ekspresi faktor VIII dalam pengamatan hingga 6 tahun. Namun, tidak ada pasien yang membutuhkan profilaksis konsentrat faktor VIII, tidak ada kejadian merugikan serius, bahkan disertai peningkatan pada kualitas hidup pasien.[18-20]
Data dari uji klinis fase 3 dengan pengamatan hingga satu tahun pada 134 pasien menunjukkan bahwa rerata aktivitas faktor VIII meningkat mencapai 41,9 IU/dL pada minggu ke-52. Studi lain yang berupa uji lengan tunggal label terbuka yang menggunakan infus valoctocogene roxaparvovec 6 x103 vg/kg juga menunjukkan hasil yang baik. Dalam pengamatan hingga 2 tahun, mayoritas pasien mengalami perbaikan klinis.[21,22]
Apakah Ada Penurunan Kejadian Perdarahan Setelah Terapi Gen pada Hemofilia?
Kebanyakan studi yang ada menunjukkan penurunan signifikan untuk kejadian perdarahan yang mencapai 83,8%, bahkan ada yang melaporkan penurunan mencapai 91,5% pada terapi gen hemofilia A. Demikian pula dengan terapi gen hemofilia B, dilaporkan penurunan signifikan kejadian perdarahan mencapai 64%, bahkan ada yang melaporkan penurunan mencapai 96%.[8,15,21,23]
Meski demikian, patut dicatat pula bahwa data menunjukkan bahwa setelah 6 tahun ditemukan penurunan aktivitas faktor VIII setelah pemberian valoctocogene roxaparvovec yang disertai peningkatan tendensi perdarahan pada pasien hemofilia A. Belum dilaporkan adanya penurunan efektivitas bermakna pada terapi gen hemofilia B hingga kini.[3,20]
Aspek Keamanan Terapi Gen untuk Hemofilia
Terlepas dari manfaatnya, ada sejumlah efek samping yang patut dicermati pada terapi gen pada pasien hemofilia.
Reaksi Infus
Reaksi cepat setelah infus terapi gen jarang ditemui pada sebagian besar laporan penelitian yang telah dilakukan. Secara teoritis, insiden reaksi infus seharusnya bersifat dose-dependent. Pada percobaan klinis hemofilia A dengan dosis vektor terbesar (6x103vg/kg) yang pernah dilaporkan, dilaporkan bahwa 5,2% partisipan mengalami reaksi sistemik dan hanya 2,2% yang dikategorikan sebagai kejadian serius. Pada percobaan lainnya untuk hemofilia B dengan dosis terbesar (2x103 vg/kg), dilaporkan sebesar 13% partisipan mengalami reaksi infus.[21]
Semua reaksi infus dapat ditangani dengan cara memperlambat kecepatan atau menunda infus untuk sementara, serta memberikan antihistamin, antipiretik, steroid atau imunosupresan.[21,23]
Peningkatan Enzim Hepar
Setelah produk terapi gen memasuki hepatosit, fragmen dari kapsid AAV akan dipresentasikan di permukaan hepatosit saat DNA memasuki nukleus. Sel T sirkulasi akan mengenali fragmen protein asing dan kemudian menghancurkan transduced cell tersebut sebagaimana respon imun normal terhadap virus. Kerusakan hepatosit akan menghasilkan peningkatan transaminases. Meski demikian, hingga saat ini belum ada laporan kerusakan hepar serius pada berbagai percobaan klinis terapi gen hemofilia.[1,24]
Penggunaan Imunosupresan
Untuk mempertahankan kesehatan hepar sekaligus melestarikan efek terapi gen pada sejumlah pasien, dibutuhkan pemberian steroid untuk menghentikan immune-mediated destruction dari transduced hepatosit. Meski begitu, beberapa percobaan menemukan bahwa kadang steroid saja tidak cukup dan dibutuhkan imunosupresan yang lebih poten seperti tacrolimus, dan mycophenolate mofetil.[1-3,21,25,26]
Genotoksisitas atau Risiko Karsinogenesis
Kejadian merugikan paling serius yang berkaitan dengan terapi gen adalah karsinogenesis. Sebuah studi menunjukkan bahwa tikus neonatal hemofilia mengalami karsinoma hepatoseluler (HCC) setelah diberikan AAV-based gene therapy. Studi pada primata menemukan bahwa rate of integration AAV masih rendah dan tidak berkaitan dengan perkembangan HCC.[27,28]
Sejauh ini belum ada studi manusia yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa terapi gen berkaitan dengan karsinogenesis. Studi histopatologi terhadap subjek yang diberikan terapi gen hemofilia setelah 2-4 tahun tidak menunjukkan adanya tanda inflamasi kronis ataupun perubahan pra-karsinoma.[25,29,30]
Vector Shedding Dari Cairan Tubuh
Setelah pemberian terapi gen, shedding vector terjadi pada hampir semua cairan tubuh dalam jangka waktu lama. Sinyal vektor DNA dari urin yang akan berakhir lebih dulu kemudian diikuti oleh air ludah, semen, tinja, dan akhirnya darah. Karena pasien bersangkutan tidak diperbolehkan mendonorkan darah, maka satu-satunya potensi risiko ialah vektor DNA di cairan semen.
Partner wanita dari penderita hemofilia yang diberikan terapi gen berisiko terkena semen yang mengandung vektor DNA. Belum diketahui seberapa besar risiko shedding tersebut pada fetus atau ibu yang terpapar dengan vektor DNA di cairan semen. Untuk keamanan, pasien yang menjalani terapi gen direkomendasikan untuk absen dari aktivitas seksual atau menggunakan kontrasepsi protektif hingga beberapa tahun setelah terapi.[1,17]
Keterbatasan Terapi Gen Untuk Hemofilia
Reaksi alami tubuh akan membentuk neutralizing antibody (Nab) terhadap vektor AAV dari terapi gen dan berpotensi untuk melemahkan efikasi terapi ini. Data awal dari terapi gen hemofilia B menunjukkan bahwa anti-AAV5 Nab masih dapat diatasi dengan titer hingga 1:678. Namun, hingga kini belum diketahui secara pasti cut-off titer terhadap anti-AAV NAb dan bisa berbeda-beda tergantung dari kapsid atau produk yang digunakan.[1,30]
Sudah ada beberapa pendekatan yang coba diusulkan untuk menangani isu ini seperti menggunakan kapsid kosong, mengeluarkan antibodi dengan inhibitor FcRn, plasmaferesis atau IgG-cleaving endopeptidase. Beberapa dari metode tersebut sudah diterapkan dan efektif secara in vitro atau pada model binatang, tetapi belum ada data pada percobaan klinis manusia.[1,31]
Keterbatasan lainnya adalah masih terdapat variabilitas efek antar individu yang belum dapat diprediksi. Dengan dosis vektor per kilogram yang sama, subjek dapat menunjukkan perbedaan hingga 10 kali lipat pada kadar faktor yang ditimbulkan sehingga berpotensi meningkatkan risiko trombosis.[26]
Kesimpulan
Meski masih memiliki berbagai keterbatasan dan masih diperlukan studi lebih lanjut, terapi gen saat ini sudah menjadi kenyataan dan telah disetujui penggunaannya di beberapa negara untuk pengelolaan hemofilia. Terapi gen diberikan melalui infus intravena tunggal, yang diharapkan akan membentuk ekspresi endogen berkelanjutan dari faktor VIII atau faktor IX setelah dilakukan transfer gen.
Risiko dari terapi ini antara lain adanya reaksi infus, peningkatan enzim hepar, kebutuhan imunosupresan, vector shedding, dan karsinogenesis. Selain itu, terbentuknya neutralizing antibodi terhadap vektor dan variabilitas efek antar individu juga masih menjadi keterbatasan yang perlu dicari solusinya.