Telah banyak penelitian mengenai hubungan diet vegetarian dengan depresi, dengan hasil yang tidak konsisten. Terdapat anggapan bahwa menjalani gaya hidup vegetarian atau vegan memiliki risiko lebih besar mengalami depresi. Selain depresi, diet vegetarian juga sering dikaitkan dengan kesehatan mental lain seperti kecemasan dan stres.[1,2]
Vegetarian adalah gaya hidup yang menghindari mengonsumsi daging, unggas, dan ikan. Spektrum diet vegetarian ada yang menghindari sebagian, dan ada yang seluruh produk makanan hewani. Vegan adalah diet yang menghindari mengonsumsi semua produk makanan yang berasal dari hewani.[1,2]
Keterkaitan Nutrisi dengan Kejadian Depresi
Pengaruh makanan terhadap kejadian depresi sudah banyak diteliti dengan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian menyimpulkan gangguan depresi berkaitan dengan deposit jaringan lemak tubuh, sedangkan penelitian lain menyebutkan peran defisiensi vitamin B terhadap kondisi depresi.[3,4]
Deposit Lemak Tubuh
Gangguan depresi ditemukan berhubungan secara konsisten dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak sehat, sehingga menyebabkan deposit jaringan lemak dan berisiko meningkatkan berat badan. Pola makan tidak sehat misalnya kurangnya konsumsi buah-buahan, sayur, serat, dan protein yang berasal dari kacang-kacangan, tingginya konsumsi lemak trans, lemak jenuh, dan natrium, serta meningkatnya konsumsi alkohol.[3]
Defisiensi Vitamin B
Mikronutrien yang banyak dihubungkan dengan kejadian depresi adalah vitamin B, termasuk vitamin B1, B2, B12, B6, dan asam folat. Vitamin B memiliki peran sebagai kofaktor pada metabolisme metionin. Homosistein dikonversi menjadi metionin dan sistein dengan bantuan vitamin B. Metionin merupakan prekursor S-adenosilmetionin yang bekerja dalam berbagai reaksi metilasi, termasuk yang melibatkan neurotransmitter monoamin dan katekolamin serta metilasi fosfolipid pada sistem saraf pusat.[4]
Penurunan konsumsi vitamin B menyebabkan akumulasi homosistein dan penurunan sintesis monoamin di otak. Mekanisme ini diduga berperan menyebabkan gangguan depresi. Selain itu, asam folat juga diduga terlibat dalam terjadinya depresi melalui proses neurotransmitter serotonin, dopamin, dan norepinefrin. Hasil penelitian tahun 2020 yang melibatkan 89 anak dan remaja dengan depresi menunjukkan bahwa kekurangan vitamin B12 dan peningkatan homosistein dapat berkontribusi pada etiopatogenesis depresi. Selain itu, kadar vitamin D yang rendah dapat dikaitkan dengan depresi.[4]
Hipotesis Faktor Penyebab Peningkatan Risiko Depresi pada Vegetarian
Beberapa penelitian pendahulu mengemukakan hipotesis beberapa faktor yang menjadi penyebab peningkatan risiko depresi pada populasi vegetarian. Hipotesis tersebut menghubungkan jenis dan kualitas lemak dengan penjelasan sebagai berikut:
- Vegetarian mengonsumsi jenis dan kualitas lemak yang berbeda sehingga dikaitkan dengan risiko depresi
- Vegetarian mengonsumsi banyak kacang, buah, dan sayur sehingga meningkatkan kadar fitoestrogen, omega 6, dan metabolit pestisida
- Vegetarian mengonsumsi sedikit makanan laut sehingga kadar omega 3 rendah
- Vegetarian mengonsumsi sedikit daging sehingga terjadi defisiensi vitamin B12 dan asam folat[2-4]
Keterkaitan Diet Vegetarian dengan Kejadian Depresi
Sebuah meta analisis yang dipublikasikan tahun 2020 meninjau 13 penelitian terkini mengenai hubungan pola makan vegetarian dengan depresi, kecemasan, dan stres. Penelitian terdiri dari 4 studi kohort, dan 9 studi cross-sectional). Hasil analisis menemukan 10 penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara konsumsi diet vegetarian dan depresi (ukuran efek gabungan: 1.02, 95% CI: 0.84–1.25, p = 0.817). Kesimpulan studi menyebutkan bahwa tidak ada hubungan signifikan yang diamati antara konsumsi pola makan vegetarian dan depresi atau kecemasan.[1]
Sebaliknya, penelitian oleh Hibbeln et al menyimpulkan bahwa pria vegetarian memiliki gejala yang lebih depresi. Penelitian ini dilakukan di Inggris, dipublikasikan pada tahun 2018, dan melibatkan 9.668 pria dewasa Temuan tersebut setelah faktor sosio-demografis disesuaikan, dan diduga disebabkan oleh kondisi kekurangan nutrisi seperti kobalamin atau zat besi. Namun, sebab akibat sebaliknya tidak dapat dikesampingkan.[5]
Penelitian lain yang dipublikasikan tahun 2018 adalah penelitian di Prancis oleh Matta et al. Penelitian ini menyertakan lebih dari 90.000 subjek untuk mencari hubungan secara cross-sectional antara gejala depresi dan diet vegetarian dengan mengontrol potensi perancu. Hasil penelitian menunjukkan fakta bahwa setiap pengecualian item makanan dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi. Hubungan antara diet vegetarian dan depresi merupakan contoh khusus dari hubungan antara gejala depresi dengan pengecualian makanan, terlepas dari jenis makanannya. Diperlukan penelitian lebih lanjut termasuk sampel yang lebih besar dari peserta dengan pola makan vegan.[8]
Kesimpulan
Hubungan antara gaya hidup vegetarian dan depresi belum sepenuhnya dipahami. Beberapa hipotesis penelitian terdahulu menyebutkan populasi vegetarian berisiko lebih tinggi mengalami depresi akibat jenis dan jumlah lemak yang berbeda; defisiensi omega 3, vitamin B12, dan asam folat; serta peningkatan kadar fitoestrogen, omega 6, dan metabolit pestisida. Namun, hasil berbagai penelitian belum dapat menunjukkan hubungan kausalitas pada kondisi tersebut, bahkan memberikan hasil yang tidak konsisten. Studi meta analisis tahun 2020 menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan yang diamati antara konsumsi pola makan vegetarian dan depresi atau kecemasan. Untuk mendapatkan kesimpulan yang bermakna klinis, dibutuhkan penelitian yang lebih representatif.[1,6,7]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini