Lesi kulit merupakan salah satu keluhan tersering yang membuat neonatus dibawa ke praktik dokter. Kebanyakan penyebab lesi kulit pada neonatus bersifat jinak dan swasirna, seperti neonatal acne dan miliaria. Penting bagi dokter untuk mampu membedakan berbagai penyebab lesi kulit pada neonatus agar tidak misdiagnosis, overdiagnosis, dan overtreatment. Berikut merupakan 5 penyebab lesi kulit pada neonatus dan cara membedakannya.[1]
1. Neonatal Acne
Neonatal acne atau yang juga disebut baby acne, merupakan salah satu lesi kulit yang paling sering dialami bayi baru lahir. Kondisi ini telah dilaporkan dialami oleh 20% neonatus, di mana bayi laki-laki 4,5 kali lebih sering mengalami dibandingkan bayi perempuan. Penyebabnya belum diketahui pasti, tetapi diyakini berkaitan dengan hormon dari ibu yang masih ada dalam tubuh bayi, merangsang kelenjar sebasea pada kulit dan meningkatkan produksi sebum.[1,2]
Gambar 1. Neonatal Acne
Neonatal acne sering salah didiagnosis sebagai reaksi alergi. Fitur klinis dari neonatal acne mencakup munculnya lesi berupa komedo terbuka dan tertutup, serta kadang-kadang dapat terbentuk pustula kecil. Lesi ini biasanya muncul di wajah bayi, terutama di pipi, hidung, dan dahi, meskipun dapat menyebar ke kulit kepala dan leher.
Secara umum, neonatal acne tidak memerlukan perawatan khusus karena cenderung membaik dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau bulan setelah muncul. Membersihkan wajah bayi dengan lembut menggunakan air dan sabun bayi yang ringan dapat membantu menjaga kebersihan kulit. Pada kasus yang lebih berat, dapat dipertimbangkan pemberian salep atau krim topikal yang mengandung benzoyl peroxide.[1,2]
2. Milia dan Miliaria
Milia dan miliaria adalah dua kondisi kulit yang umum pada neonatus, tetapi memiliki penyebab dan karakteristik yang berbeda. Milia adalah kista keratin subepidermal yang muncul biasanya pada wajah bayi. Milia terjadi akibat penumpukan minyak dan sel kulit mati di folikel atau kelenjar sebasea yang tersumbat. Milia bersifat non-inflamatori, dengan lesi berupa benjolan kecil, putih atau kekuningan, seringkali tanpa gejala lain yang menyertai.[1,3]
Gambar 2. Milia pada Neonatus
Sementara itu, miliaria, atau yang lebih dikenal sebagai ruam panas, disebabkan oleh penyumbatan kelenjar keringat. Ruam ini dapat muncul sebagai papul yang merah, banyak, dan gatal, terutama di daerah yang tertutup pakaian atau popok. Miliaria dapat dibagi menjadi beberapa tipe, termasuk miliaria kristalina, miliaria rubra, dan miliaria profunda, tergantung pada lapisan kulit yang terkena.[1,4]
Gambar 3. Miliaria pada Neonatus
Pengelolaan milia umumnya melibatkan perawatan kulit yang lembut dan penghindaran penggunaan produk yang dapat menyumbat pori. Sementara itu, miliaria dapat membaik dengan menjaga kulit bayi tetap sejuk dan kering, memakai pakaian yang ringan, dan menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan overheating.[1,3,4]
3. Ruam Popok
Ruam popok, atau diaper rash, muncul akibat iritasi kulit di area yang tertutup popok. Penyebab ruam popok melibatkan kombinasi dari paparan kulit terhadap kelembaban, gesekan, dan kontak dengan urin dan tinja. Faktor-faktor tersebut menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan bakteri dan jamur, yang dapat menyebabkan peradangan dan ruam pada kulit bayi.
Gambar 4. Ruam Popok
Fitur klinis ruam popok meliputi kemerahan, bengkak, dan kadang dapat terbentuk pustula di area yang tertutup popok, seperti bokong dan lipatan paha. Perawatan ruam popok mencakup menjaga area yang terkena popok tetap bersih dan kering, mengganti popok secara teratur, dan memberikan waktu luang tanpa popok agar kulit bisa bernapas.
Ruam popok umumnya bersifat self-limiting dan akan hilang dalam 3 hari setelah perawatan konservatif. Penggunaan krim pelindung kulit atau salep dengan zink oksida dapat membantu melindungi kulit dari iritasi. Selain itu, edukasi orang tua pasien untuk menghindari penggunaan popok yang terlalu ketat dan pilih popok yang dapat menyerap kelembaban dengan baik. Jika dicurigai ada infeksi jamur, berikan antifungal topikal seperti nystatin setiap mengganti popok selama 3 hari.
Adanya erosi superfisial, krusta kuning, dan impetiginisasi meningkatkan kecurigaan adanya infeksi sekunder bakteri. Pada kondisi ini bisa ditambahkan salep antibiotik seperti mupirocin 2 kali sehari selama 5-7 hari.[4,5]
4. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik pada neonatus biasanya mempengaruhi bayi yang memiliki kecenderungan atopi atau riwayat keluarga dengan alergi. Penyebab dermatitis atopik melibatkan kombinasi faktor genetik, paparan alergen, atau kontak dengan bahan iritan. Fitur klinis dermatitis atopik pada neonatus melibatkan kulit yang kering, merah, bersisik, dan terkadang muncul papul-papul. Lesi dapat muncul di area pipi, sekitar mulut, dahi, kulit kepala, dan ekstremitas.
Gambar 5. Dermatitis Atopik
Terapi dermatitis atopik pada neonatus bertujuan untuk mengurangi peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah flare-up. Perawatan melibatkan penggunaan krim pelembab dan penghindaran iritan potensial. Pemberian salep kortikosteroid topikal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi peradangan pada kasus yang lebih berat. Selain itu, dalam beberapa kasus mungkin diperlukan antihistamin oral untuk mengatasi gatal.[4,6]
5. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik pada neonatus disebut juga sebagai cradle cap. ditandai oleh penumpukan minyak dan sel-sel kulit mati pada kulit kepala. Penyebab cradle cap belum sepenuhnya dipahami, tetapi diperkirakan melibatkan produksi sebum yang berlebihan dan reaksi terhadap jamur Malassezia. Kondisi ini umumnya jinak dan self-limiting pada neonatus.
Gambar 5. Dermatitis Seboroik pada Neonatus
Fitur klinis cradle cap melibatkan munculnya kerak kuning atau kecoklatan yang bersisik di kulit kepala bayi. Kerak ini dapat menutupi sebagian atau seluruh kulit kepala dan terkadang dapat menyebabkan rambut bayi terlihat berminyak atau lepek. Meskipun paling sering terjadi di kulit kepala, kondisi serupa juga dapat terjadi di area wajah, telinga, dan leher bayi.
Pendekatan terapi yang dianjurkan bersifat konservatif dan bertahap. Watchful waiting dilakukan sebagai terapi lini pertama. Jika ada masalah kosmetik, lesi kulit kepala biasanya dapat dihilangkan dengan sikat lembut setelah keramas dengan sampo bayi. Pemberian emolien, seperti petrolatum, dapat membantu melunakkan sisik.
Penggunaan asam salisilat tidak dianjurkan karena kekhawatiran absorpsi sistemik. Apabila lesi menetap setelah watchful waiting, dapat diberikan antifungal topikal seperti ketoconazole 1% sampo atau ciclopirox 1% sampo yang diberikan 2 kali/minggu selama 4 minggu.[4,7]
Kesimpulan
Meskipun sering menyebabkan kepanikan pada orang tua dan menjadi salah satu alasan paling sering pasien neonatus datang ke praktik, kebanyakan lesi kulit pada bayi baru lahir bersifat jinak dan swasirna. Lesi akibat baby acne, milia, miliaria, ruam popok, dermatitis atopik, dan dermatitis seboroik umumnya tidak memerlukan intervensi khusus dan dapat sembuh dengan baik menggunakan pendekatan terapi konservatif.