Defisiensi vitamin D dipercaya sebagai salah satu faktor risiko penyakit Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Penyebab RAS masih tidak diketahui hingga saat ini, tetapi beberapa penelitian menyebutkan faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya RAS diantaranya adalah genetik, stres, anemia, defisiensi nutrisi atau vitamin, ketidakseimbangan hormonal, hingga trauma lokal yang berulang.[1]
RAS merupakan sariawan atau lesi yang sering ditemui di rongga mulut pasien, terutama pada pasien yang hidup pada dekade 1-4 kehidupannya, atau usia 1-40 tahun. Frekuensi munculnya RAS akan semakin menurun di atas 40 tahun.[1]
Faktor Risiko Recurrent Aphthous Stomatitis
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah penyakit ringan yang paling sering ditemui di rongga mulut. Pada orang dewasa, 25% ulkus yang sering terjadi di rongga mulut adalah RAS. Sementara pada anak-anak, sebesar 40% dari ulkus yang sering terjadi adalah RAS. Gejala yang paling umum dari RAS adalah rasa panas dan sakit di area ulkus. Tingkat keparahan RAS dibagi menjadi tiga subtipe, yaitu minor, mayor dan herpetiformis.[2,3]
Hingga kini, etiopatogenesis dari RAS masih belum diketahui dengan pasti. Trauma lokal, faktor genetik, stres, alergi makanan, kelainan imunologi, defisiensi nutrisi, infeksi virus, bakteri atau jamur, serta kelainan endokrin seringkali dikaitkan dengan faktor risiko terjadinya penyakit ini. Namun patofisiologis bagaimana masing-masing faktor risiko tersebut dapat menyebabkan terjadinya RAS masih belum banyak dijelaskan.
Untuk menganalisis faktor risiko mana yang paling menonjol di penderita RAS, seorang dokter gigi disarankan untuk melakukan tes darah pada penderita tersebut untuk melihat kadar besi, vitamin B12, dan asam folat. [1,4,5]
Defisiensi nutrisi, seperti defisiensi vitamin B1, B2, B6, B12, vitamin C, dan juga zat besi merupakan faktor risiko yang paling sering dibahas terkait RAS. Karena beberapa penelitian sebelumnya mengindikasikan terjadinya penurunan nutrisi tersebut yang berkorelasi dengan peningkatan angka kejadian RAS pada seseorang.[2,6–8]
Sejak tahun 2015, muncul hipotesis baru yang mengatakan bahwa defisiensi vitamin D juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya RAS.
Defisiensi vitamin D dihubungkan dengan berbagai macam kelainan sistemik, seperti kanker, kelainan muskuloskeletal, kelainan kardiovaskuler, depresi, hingga beragam penyakit autoimun seperti lupus eritematosus. Karena potensi vitamin D terhadap berbagai macam penyakit, khususnya autoimun, membuat pembahasan mengenai defisiensi vitamin ini menjadi sering diangkat di berbagai macam literatur medis. Tidak terkecuali di dunia kedokteran gigi, yang mulai mencoba mencari apakah ada hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian RAS.[9]
Defisiensi Vitamin D dan Recurrent Aphthous Stomatitis
Vitamin D adalah sekosteroid yang larut dalam lemak dan memainkan peran fundamental dalam kaitannya homeostasis kalsium-fosfor serta metabolisme tulang. Bukan hanya itu, vitamin D juga memiliki peran biologis penting dalam menjalankan fungsi skeletal, mengatur respon imun, mengontrol infeksi dan juga keganasan.
Hubungan antara defisiensi vitamin D dengan RAS pertama kali dilaporkan Khabbazi, dkk. pada tahun 2015. Pada penelitian tersebut disampaikan bahwa penderita RAS kebanyakan memiliki kadar vitamin D yang rendah. Namun demikian, masih terdapat beberapa kontroversi mengenai apakah vitamin D dapat dikategorikan sebagai faktor risiko RAS atau tidak.[9,10]
Meskipun etiopatogenesis RAS belum diketahui dengan pasti hingga saat ini, namun beberapa peneliti menyebutkan bahwa mekanisme imunologi (baik seluler maupun humoral) memainkan peranan penting dalam patogenesis RAS.
Sitokin yang terlibat dalam respon inflamasi juga dapat memediasi respon imun dan mungkin memiliki kaitan dalam pembentukan RAS. Mekanisme imunologi inilah yang menjadi benang merah yang menghubungkan antara defisiensi vitamin D dengan RAS. Karena vitamin D memiliki peran penting dalam pengaturan sistem imun, baik bawaan maupun dapatan, serta memiliki efek terhadap profil sitokin. Hal inilah yang mungkin saja merupakan hubungan tidak langsung antara defisiensi vitamin D dengan angka kejadian RAS.[9,11,12]
Dari beberapa penelitian mengenai defisiensi vitamin D dan RAS memang menyebutkan bahwa pada pasien yang memiliki penyakit RAS, memiliki kadar vitamin D yang rendah di dalam tubuhnya. Namun demikian, analisis kualitatif pada masing-masing penelitian ini tidak ditemukan adanya signifikansi antara defisiensi vitamin D dengan derajat keparahan RAS, seperti durasi, frekuensi, diameter, maupun waktu penyembuhan RAS.[9,10]
Kesimpulan
Defisiensi vitamin D mungkin saja dapat dikategorikan sebagai faktor risiko terjadinya RAS, karena hasil penelitian-penelitian terdahulu mendukung hal tersebut. Meskipun, sama seperti faktor risiko lain pada RAS, etiopatogenesis vitamin D terhadap RAS masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, perlu penelitian lebih lanjut untuk memberikan panduan terapi RAS dengan suplementasi vitamin D.
Skrining vitamin D sendiri tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin dan hanya dianjurkan bagi pasien yang memiliki kondisi klinis tertentu.