ARB vs CCB sebagai Pilihan untuk Monoterapi Hipertensi

Oleh :
dr.I.B. Komang Arjawa, Sp.JP, FIHA

Angiotensin II receptor blockers (ARB) seperti candesartan dan valsartan serta calcium channel blockers (CCB) seperti amlodipine merupakan lini pertama yang sering menjadi pilihan untuk pasien hipertensi dengan pendekatan monoterapi.

Pemberian obat antihipertensi merupakan terapi utama pada pasien hipertensi. Efek dan efek samping dari ARB dan CCB dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi.[1,2]

ARB vs CCB sebagai Pilihan untuk Monoterapi Hipertensi

Pendekatan Monoterapi sebagai Terapi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat di Tabel 1.[1,3]

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi

Kategori Sistolik Diastolik
Optimal <120 dan <80
Normal 120–129 dan 80–84
High-normal 130–139 dan/atau 85–89
Hipertensi grade 1 140–159 dan/atau 90–99
Hipertensi grade 2 160–179 dan/atau 100-109
Hipertensi grade 3 ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi

≥140 dan <90
Hipertensi diastolik terisolasi

<140 dan ≥90

Sumber: dr. IB Komang Arjawa, Sp.JP[1,3]

Semua panduan menyatakan bahwa pasien dengan hipertensi grade 2 atau yang lebih tinggi harus mendapat terapi obat antihipertensi selain intervensi perubahan gaya hidup. Panduan juga secara konsisten merekomendasikan pasien dengan hipertensi grade 1 dan risiko kardiovaskular yang tinggi untuk mendapatkan terapi obat antihipertensi bersama dengan modifikasi gaya hidup. Sementara itu, obat antihipertensi untuk pasien grade 1 dan risiko kardiovaskular yang rendah masih menjadi perdebatan.[3]

Pendekatan saat ini dalam pengelolaan hipertensi mencakup dua strategi utama, yaitu penggunaan kombinasi dosis rendah dari dua obat antihipertensi dan penggunaan monoterapi. Pada umumnya, langkah awal yang disarankan adalah menggunakan single pill combination dari dua obat. Pendekatan ini meningkatkan kecepatan, efisiensi, dan prediktabilitas dalam mengendalikan tekanan darah.[3]

Monoterapi sebagai terapi awal biasanya dianjurkan untuk pasien dengan risiko sangat tinggi dan tekanan darah kategori high-normal serta untuk pasien yang sangat tua atau rapuh. Monoterapi juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan risiko rendah yang memiliki hipertensi grade 1 dengan peningkatan tekanan darah sistolik yang ringan (kurang dari 150 mmHg).[3]

Peran Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) dalam Pengobatan Hipertensi

Aktivasi reseptor angiotensin II tipe I oleh angiotensi II memicu reaksi berantai yang menyebabkan vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan reabsorpsi natrium tubulus renal, penurunan fungsi endotel, meningkatkan deposit jaringan ikat dan memengaruhi transportasi kolesterol LDL.[4,5]

ARB bekerja dengan cara menghambat reseptor AT1 untuk angiotensin II, sehingga mencegah berbagai efek tersebut. Penelitian terhadap ACEi dan ARB telah menunjukkan bahwa selain memiliki efek antihipertensi, ACEi dan ARB juga menurunkan dari remodeling jantung, fibrosis dan inflamasi. Bukti dari penelitian klinis telah secara substansial memperluas indikasi penggunaan agen-agen tersebut, menjadikannya terapi lini pertama untuk manajemen hipertensi, penyakit ginjal kronis, stroke, diabetes melitus dan pasien pasca infark miokard.[4,5]

Peran Calcium Channel Blockers (CCB) dalam Pengobatan Hipertensi

Calcium channel blockers (CCB), seperti amlodipine yang sering diresepkan di Indonesia, berfungsi dengan mencegah pembukaan kanal kalsium tipe L. Mekanisme kerjanya terutama terkait dengan vasodilatasi pembuluh darah otot polos. Pada dosis terapeutik, CCB jenis dihidropiridin (DHP-CCB) seperti nifedipin cenderung memiliki efek vasodilator perifer yang dominan dengan dampak yang minim pada jantung.

Di sisi lain, obat CCB jenis non-dihidropiridin (non-DHP-CCB) seperti verapamil dan diltiazem memengaruhi jantung secara langsung, termasuk menurunkan aktivitas nodus SA, mengganggu konduksi AV, dan memengaruhi kontraktilitas miokard.[6]

Perbandingan Efek ARB dan CCB dalam Pengobatan Hipertensi

Beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan ARB dan CCB.

Studi oleh Wu et al

Dalam sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Wu et al. pada tahun 2014, dilakukan analisis terhadap efek dari penggunaan CCB dan ARB pada 25.084 pasien hipertensi. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat mortalitas antara kedua jenis obat.

Namun, terdapat keunggulan CCB dalam menurunkan risiko stroke dan kejadian infark miokard. Selain itu, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam insiden gagal jantung antara kedua kelompok perlakuan. Hasil ini mengindikasikan bahwa CCB mungkin memiliki keunggulan dibandingkan ARB dalam mencegah stroke dan infark miokard.[7]

Studi oleh Lin et al

Dalam sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Lin et al. pada tahun 2017, dilakukan perbandingan antara CCB dan dua renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) blocker, ARB dan angiotensin-converting-enzyme inhibitors (ACEi), pada pasien hipertensi dengan chronic kidney disease (CKD) stage 3 hingga 5.

Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam perubahan tekanan darah, tingkat mortalitas, gagal jantung, stroke, atau kejadian kardiovaskular antara kelompok yang menerima CCB dan dua kelompok yang menerima kedua jenis RAAS blocker berbeda.[8]

Studi oleh Park et al

Tinjauan sistematik yang dilakukan oleh Park et al. pada tahun 2016 meneliti perbandingan biaya efektif yang terkait dengan penggunaan berbagai jenis obat antihipertensi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi secara umum lebih efektif secara biaya dibandingkan dengan pasien tanpa terapi. Obat antihipertensi jenis ARB tampak menjadi yang paling efektif secara biaya dibandingkan dengan CCB, ACEi, dan beta blocker.[9]

Perbandingan Efek Samping ARB dan CCB

Dalam pemilihan antara ARB dan CCB, perlu dipertimbangkan kemungkinan efek samping yang muncul dan efeknya terhadap target terapi serta kepatuhan pasien. Beberapa efek samping yang dilaporkan muncul dari konsumsi kedua obat tersebut meliputi yang tertera di Tabel 2.[10]

Tabel 2. Perbandingan Efek Samping ARB dan CCB

Kelas Obat Efek samping
ARB

●    Pusing

●    Nyeri punggung belakang

●    Rasa lelah

●    Hipotensi

●    Gangguan ginjal

●    Hiperkalemia

●    Angioedema

●    Batuk

●    Agranulositosis

●    Skin rash

DHP-CCB

●    Takikardia

●    Bengkak pada tangan dan kaki

●    Panas pada wajah

Non-DHP-CCB

●    Bradikardia

●    AV block

●    Kekambuhan gagal jantung

Sumber: dr. IB Komang Arjawa, Sp.JP[10]

Efek samping dari ARB meliputi reaksi alergi angioedema, batuk, rasa letih dan lelah. Sementara itu, efek samping DHP-CCB meliputi takikardia, edema tungkai dan rasa panas pada wajah, dan efek samping non-DHP-CCB meliputi bradikardia, AV block, dan kekambuhan gagal jantung.[10]

Perbandingan Kontraindikasi dan Peringatan ARB dan CCB

Pada pemilihan obat hipertensi monoterapi, baik ARB maupun CCB dapat digunakan sebagai lini pertama. Akan tetapi, dalam pemilihan ARB atau CCB, pertimbangan terhadap kondisi-kondisi yang menjadi kontraindikasi atau peringatan dalam penggunaan obat tersebut perlu dilakukan, seperti pada Tabel 3.[1,3]

Tabel 3. Kontraindikasi dan Peringatan ARB dan CCB

Kelas Obat Kontraindikasi Kondisi yang perlu mendapat perhatian
ARB

●    Kehamilan

●    Wanita dengan perencanaan kehamilan

●    Hiperkalemia berat (K > 5.5 mmol/l)

●    Stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada 1 ginjal yang fungsional

●    Wanita dengan potensi kehamilan tanpa kontrasepsi
DHP-CCB

●    Takiaritmia

●    Gagal jantung (HFrEF kelas III atau IV)

●    Edema pada tungkai sebelumnya

Non-DHP-CCB

●      Block SA atau AV grade tinggi

●      Disfungsi LV berat (EF <40 %), HFrEF

●      Bradikardia (HR < 60 x/menit)

●      Penggunaan dengan interaksi obat yang dimediasi P-gp atau CYP3A4

●    Konstipasi

Sumber: dr. IB Komang Arjawa, Sp.JP[3]

Perlu diperhatikan, ARB dikontraindikasikan pada pasien dalam kehamilan, hiperkalemia berat, dan riwayat stenosis arteri renalis bilateral dan. Penggunaan non-DHP-CCB dikontraindikasikan untuk beberapa penyakit kardiovaskular, termasuk HFrEF. Sementara itu, penggunaan non DHP-CCB perlu hati-hati pada pasien dengan gagal jantung dan riwayat edema tungkai sebelumnya.[3]

Pemilihan Obat Antihipertensi untuk Pasien dengan Penyakit Penyerta

Pemilihan obat antihipertensi menjadi berbeda pada kondisi saat pasien tidak hanya memiliki hipertensi tapi memiliki penyakit penyerta lainnya. Pada kondisi heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF), penggunaan antihipertensi ACEI atau ARB lebih diutamakan karena efek kardioprotektif yang dimiliki. Sementara itu, pada kondisi lain seperti penyakit jantung koroner, atrial fibrilasi dan chronic kidney disease (CKD), kombinasi dua obat antihipertensi tetap diutamakan terlebih dahulu.[3,11]

candesartan valsartan

Kesimpulan

Pemilihan antihipertensi monoterapi antara ARB atau CCB pada kondisi hipertensi tanpa penyerta lain dari berbagai penelitian tidak menunjukkan perbedaan signifikan tingkat morbiditas atau mortalitas akibat kardiovaskular antara kedua grup, meski beberapa penelitian menunjukkan ARB lebih efektif biaya dan meningkatkan kualitas hidup dibandingkan CCB.

Pada pasien dengan kondisi HFrEF sebagai penyakit penyerta, ARB seperti candesartan dan valsartan lebih diutamakan karena memiliki efek kardioprotektif. Perlu diperhatikan, ARB dikontraindikasikan pada pasien dalam kehamilan, hiperkalemia berat, dan riwayat stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping dari ARB meliputi reaksi alergi angioedema, batuk, rasa letih dan lelah.

Penggunaan non-DHP-CCB seperti diltiazem dan verapamil dikontraindikasikan untuk beberapa penyakit kardiovaskular, termasuk HFrEF. Efek samping non-DHP-CCB meliputi bradikardia, AV block, dan kekambuhan gagal jantung.

Sementara itu, penggunaan DHP-CCB seperti amlodipine perlu hati-hati pada pasien dengan gagal jantung dan riwayat edema tungkai sebelumnya dengan kemungkinan efek samping takikardia, edema tungkai dan rasa panas pada wajah. Efek samping non-DHP-CCB meliputi bradikardia, AV block, dan kekambuhan gagal jantung.

Referensi