Artemisinin sebagai Terapi PCOS

Oleh :
dr. William Alexander Setiawan, SpOG

Sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovarian syndrome (PCOS) dilaporkan dapat diterapi dengan artemisinin. Artemisinin sendiri merupakan obat antimalaria dengan mekanisme mengurangi parasitemia. PCOS adalah gangguan endokrin reproduksi yang umum terjadi pada wanita usia subur, dengan prevalensi 10–13%. PCOS ditandai oleh kelebihan androgen, disfungsi ovulasi, morfologi ovarium polikistik, dan sering kali disertai gangguan metabolik.[1,2]

Androgen pada Wanita

Androgen pada wanita sebagian besar disintesis oleh kelenjar adrenal dan ovarium, yang berasal dari kolesterol melalui serangkaian reaksi enzimatik yang dikatalisis oleh CYP11A1, CYP17A1, HSD3B2, dan HSD17B. Steroidogenesis ovarium sangat responsif terhadap rangsangan androgenik seperti luteinizing hormone (LH) atau human chorionic gonadotropin (hCG). Peningkatan ekspresi CYP11A1 dan CYP17A1 serta aktivitas enzim yang tinggi dari CYP17A1, HSD3B, dan HSD17B di sel teka ovarium mengakibatkan peningkatan produksi progesteron, 17a–hidroksiprogesteron (17a-OHP), dan testosteron di kondisi PCOS.[3,4]

Doctor,Holding,Uterus,And,Ovaries,Model.,Ovarian,And,Cervical,Cancer,

Pilihan Terapi Farmakologis PCOS

Intervensi farmakologis saat ini ditujukan untuk mengelola gejala spesifik. Jenis obat yang dapat secara efektif menargetkan semua aspek PCOS ini masih terbatas. Kontrasepsi oral kombinasi (COC) direkomendasikan untuk mengelola hiperandrogenisme dan/atau siklus menstruasi yang tidak teratur pada wanita dewasa dengan PCOS. Namun, COC tidak memperbaiki infertilitas dan morfologi ovarium yang polikistik. Selain itu, COC sering dikaitkan dengan efek samping seperti tromboemboli vaskular, yang membatasi aplikasi klinis jangka panjang, terutama bagi pasien PCOS dengan gangguan metabolik.[5]

Sekilas tentang Obat Artemisinin

Artemisinin adalah kelompok obat yang berasal dari tanaman Artemisia annua, dikenal luas karena efektivitasnya dalam mengobati malaria, terutama Plasmodium falciparum yang resisten terhadap obat lain. Artemisinin bekerja dengan cepat mengurangi parasitemia, sehingga obat ini dipilih sebagai pilihan utama dalam pengobatan malaria akut. Artemisinin kini sedang diteliti untuk potensi penggunaannya dalam mengatasi kondisi medis lain seperti PCOS.[6–8]

Artemisinin dan turunannya dapat meningkatkan pengeluaran energi dan sensitivitas insulin melalui aktivasi adiposit termogenik, sehingga bersifat protektif terhadap obesitas dan gangguan metabolik akibat pola makan. Liu et al menguji potensi terapeutik artemisinin pada model tikus PCOS dan pasien manusia dengan mengevaluasi efek terhadap kadar testosteron, siklus estrus, dan morfologi ovarium polikistik. Artemisinin ditemukan memberi pengaruh pada sintesis testosteron ovarium pada percobaan in vitro dan in vivo. Target langsung artemisinin diidentifikasi untuk menjelaskan mekanisme regulasi sintesis testosteron.[6–8]

Artemisinin pada Studi Tikus

Penelitian menunjukkan bahwa artemisinin memberi efek penghambatan yang kuat terhadap fenotip mirip PCOS pada model tikus. Ketika diberikan bersamaan dengan dehydroepiandrosterone (DHEA), artemisinin menghilangkan gangguan pada siklus estrus yaitu adanya peningkatan testosteron serum yang dimediasi oleh DHEA, sehingga mencegah munculnya karakteristik seperti PCOS.[1] 

Ovarium tikus yang awalnya berkarakteristik PCOS yaitu jumlah folikel kistik, folikel antral yang meningkat serta korpus luteum post–ovulasi yang menurun serta edema uterus dapat dihambat oleh artemisinin, luaran menunjukkan morfologi normal pada berbagai tahap perkembangan. Selain itu, artemisinin tidak mempengaruhi berat badan, massa lemak, massa tanpa lemak, steatosis hati, dan toleransi glukosa, serta menunjukkan tren perbaikan sensitivitas insulin.[1]

Artemisinin dan Efeknya pada Androgen

Penurunan dramatis testosteron yang disebabkan oleh artemisinin mendorong eksplorasi peran artemisinin dalam memodulasi sintesis androgen. Jaras hipotalamus–hipofisis–ovarium memainkan peran neuroendokrin penting dalam produksi androgen.[9] 

Artemisinin tidak berdampak pada FSH dan LH, baik diberikan secara intraperitoneal maupun oral pada model mirip PCOS. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gonadotropin mungkin tidak berubah oleh artemisinin. Hasil–hasil tersebut menunjukkan bahwa artemisinin dapat mengatur kadar testosteron dengan menargetkan ovarium.[9]

Analisis proteomik kuantitatif relatif berbasis spektrometri massa menunjukkan bahwa CYP11A1 adalah protein yang paling signifikan dipengaruhi artemisinin. Protein tersebut regulasinya ditemukan menurun, dengan ditemukannya penurunan pada pregnenolon.[10] 

CYP11A1 sendiri mengkatalisis konversi kolesterol menjadi pregnenolon, yang merupakan langkah awal biosintesis hormon steroid. Data proteomik menunjukkan bahwa artemisinin menurunkan regulasi protein CYP11A1 secara dosis–bergantung. Sementara itu, protein lain seperti HSD3B2 dan CYP17A1 tidak terpengaruh.[10]

Interaksi LONP1–CYP11A1

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa artemisinin meningkatkan interaksi antara LONP1 dan CYP11A1, yang mempromosikan degradasi CYP11A1 dan menghambat sintesis androgen ovarium. Overekspresi LONP1 mereplikasi efek penurunan androgen dari artemisinin. Analisis in vitro menunjukkan bahwa artemisinin mempromosikan degradasi CYP11A1 yang dikatalisis oleh LONP1. 

Selain itu, studi menunjukkan bahwa LONP1 adalah target langsung dari artemisinin yang bertindak seperti "lem molekuler” yang menginduksi atau menstabilkan interaksi antara protein. Sehingga,  interaksi LONP1–CYP11A1 meningkat.[11]

Artemisinin pada Pasien PCOS

Studi klinis percontohan dilakukan untuk memvalidasi efikasi artemisinin pada pasien PCOS. Sembilan belas pasien PCOS, yang memenuhi semua tiga kriteria diagnostik Rotterdam, direkrut dan diobati dengan dihidroartemisinin oral selama 12 minggu. Hasilnya ditemukan penurunan testosteron serum dan kadar hormon anti-Müllerian (AMH) secara signifikan, perbaikan morfologi ovarium polikistik, dan berkontribusi pada siklus menstruasi normal.[1]

Artemisinin menunjukkan potensi besar dalam berbagai aplikasi dengan efek samping yang minimal, seperti pengobatan malaria, flu, diare, lupus eritematosus, dan kanker. Temuan ini menunjukkan bahwa artemisinin dapat berfungsi sebagai "lem molekuler" yang mengarahkan LONP1 untuk mendegradasi CYP11A1, memberikan pendekatan baru untuk mengobati PCOS.[12,13]  

Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa mekanisme artemisinin dalam pengobatan PCOS dan malaria mungkin berbeda. Sehingga, pengembangan turunan artemisinin baru dapat meminimalkan dampaknya pada resistensi malaria.[12,13] 

Kesimpulan

Data menunjukkan efektivitas artemisinin dalam meredakan gejala PCOS pada model hewan pengerat dan pasien manusia. Artemisinin secara langsung mengikat LONP1, memulai interaksi antara LONP1 dan CYP11A1, yang mempromosikan degradasi CYP11A1, menghambat sintesis androgen ovarium, dan menekan PCOS. Hasil ini menyoroti potensi menjanjikan dari artemisinin sebagai obat efektif untuk pengobatan komprehensif PCOS dan membuka jalan bagi intervensi PCOS dengan menargetkan interaksi LONP1–CYP11A1.

Referensi