Aspek farmakologi penanganan delirium hiperaktif pada penyakit Parkinson cukup kompleks. Hal ini karena berbagai obat yang umum digunakan dalam tata laksana delirium, tidak bisa digunakan pada pasien dengan komorbiditas Parkinson.
Pasien dengan penyakit Parkinson rentan mengalami delirium, dengan peningkatan risiko sebesar 22–48% pada pasien rawat inap dan 11–60% pada pasien pasca operasi. Delirium berkaitan langsung dengan peningkatan mortalitas, biaya, dan kompleksitas penanganan pasien.[1]
Gejala agitasi pada delirium hiperaktif merupakan salah satu penyulit penanganan. Hingga saat ini, obat antipsikotik masih menjadi terapi lini pertama untuk gejala agitasi pada delirium.[1-4]
Obat antipsikotik pilihan adalah haloperidol, namun obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki komorbid penyakit Parkinson. Hal ini karena pemberian haloperidol akan meningkatkan risiko efek samping ekstrapiramidal maupun risiko sindrom neuroleptik maligna (SNM).[2,4,5]
Penyakit Parkinson dan Penanganan Delirium Menggunakan Haloperidol
Pasien dengan penyakit Parkinson dilaporkan lebih rentan mengalami delirium, terutama pada mereka yang dirawat inap atau menjalani tindakan operatif. Delirium pada kasus Parkinson dapat disertai dengan perburukan hingga deteriorasi gejala motorik hingga 15 kali lipat dibandingkan kasus Parkinson yang tidak mengalami delirium.[1]
Haloperidol adalah obat pilihan untuk kasus agitasi pada delirium karena memiliki efek samping antikolinergik yang rendah, sedikit metabolit aktif, dan memiliki efek sedasi serta hipotensi yang minimal. Akan tetapi, haloperidol dikontraindikasikan untuk kasus Parkinson. Haloperidol dapat menyebabkan blokade dopamin di jaras nigrostriatal sehingga dapat menyebabkan efek samping Parkinsonisme.[2,4,5]
Haloperidol juga dapat berinteraksi dengan obat-obat antiparkinson. Obat-obat antiparkinson, seperti levodopa, bekerja meningkatkan dopamine khususnya di jaras korpus striatum, sehingga penggunaan haloperidol dapat menurunkan efikasinya. Interaksi ini akan memunculkan gejala yang berkembang secara cepat, berupa perburukan fungsi motorik, relaps psikosis, ataupun kombinasi keduanya.[5]
Obat Antipsikotik Atipikal untuk Kasus Delirium Hiperaktif dengan Komorbiditas Parkinson
Efikasi penggunaan obat antipsikotik untuk manajemen delirium secara umum masih bersifat kontroversial. Penggunaan obat antipsikotik juga dapat meningkatkan gejala motorik, seperti rigiditas dan bradikinesia, yang meningkatkan risiko jatuh. Selain itu, dampak lain dari gejala motorik ini adalah kesulitan menelan, aspirasi, dan dehidrasi.[1,2,8]
Efek samping yang timbul akibat obat antipsikotik sangat erat berkaitan dengan afinitas obat, khususnya pada antipsikotik tipikal. Obat antipsikotik atipikal diduga memiliki risiko efek samping parkinsonisme yang lebih rendah karena afinitasnya yang lebih kecil.[5]
Obat antipsikotik atipikal yang banyak digunakan dalam terapi delirium adalah olanzapine, risperidone, dan aripiprazole, tetapi ketiga obat ini masih memiliki risiko memperburuk parkinsonisme karena bersifat antidopaminergik. Antipsikotik atipikal lain yang memiliki risiko efek samping terkecil adalah quetiapine dan clozapine.[1,3,6,8]
Quetiapine
Quetiapine belum memiliki bukti ilmiah yang cukup terkait efikasinya dalam mengatasi delirium pada penyakit Parkinson. Quetiapine digunakan dengan dosis awal 25 mg dan ditingkatkan bertahap hingga 100–150 mg/hari. Hal yang perlu diperhatikan adalah efek hipotensi, sedasi, dan perburukan ringan fungsi motorik.[3,6,8]
Clozapine
Clozapine telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi untuk mengatasi gejala halusinasi pada pasien Parkinson, tetapi belum diketahui efeknya dalam penanganan delirium. Dosis awal clozapine yang dianjurkan adalah 6,25–25 mg dan ditingkatkan hingga 75–100 mg/hari. Clozapine juga dapat menimbulkan efek sedasi, hipotensi ortostatik, dan sialorrhea.
Penggunaan clozapine sering dihindari karena risiko terjadinya agranulositosis yang bersifat terkait dosis, sehingga pemantauan white blood cell count perlu dilakukan selama perawatan. Selain itu, belum diketahui apakah efek antikolinergik pada clozapine dapat memperburuk disorientasi dan kesadaran pada pasien delirium dengan komorbiditas Parkinson.[3,6–8]
Perhatian Khusus Pada Kasus Delirium dengan Komorbiditas Parkinson
Prinsip penatalaksanaan delirium pada pasien Parkinson mencakup:
- Penatalaksanaan faktor kausatif, misalnya inflamasi sistemik, nyeri, atau gangguan metabolik
- Obat yang berpotensi menyebabkan atau memperburuk delirium harus diidentifikasi dan dihentikan
- Pemberian agen psikoaktif dapat dipertimbangkan untuk mengurangi gejala delirium seperti agitasi, halusinasi, atau ansietas[3]
Perjalanan penyakit Parkinson ditandai dengan berkurangnya kadar dopamin dan asetilkolin. Kedua kondisi ini juga menjadikan pasien rentan mengalami penurunan kesadaran. Selain itu, obat-obatan yang digunakan untuk gejala motorik pada pasien Parkinson memiliki risiko efek samping neuropsikiatrik yang dapat turut mencetuskan ataupun memperburuk delirium.[1,3,6]
Penghentian obat amantadine, antikolinergik, ataupun agonis dopamine secara tiba-tiba dapat memunculkan gejala withdrawal, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih hati-hati saat delirium terjadi. Penghentian mendadak dan radikal dari obat dopaminergik bahkan dapat menyebabkan krisis akinetik yang mengancam nyawa.[3]
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis delirium yang dialami. Pengurangan obat-obat antiparkinson pada pasien yang mengalami delirium hiperaktif relatif lebih mudah dibandingkan pasien dengan delirium hipoaktif. Hal ini karena pasien dengan delirium hiperaktif umumnya lebih mobile dan menunjukkan lebih sedikit akinesia dan rigiditas dibandingkan delirium hipoaktif.
Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa walaupun farmakoterapi dapat mengurangi agitasi dan gejala perilaku yang timbul pada delirium, pengobatan ini masih memiliki risiko mengubah delirium hiperaktif menjadi hipoaktif. Kegagalan mengenali bahwa hal ini diinduksi obat, dapat menghambat pengobatan adekuat dan memperburuk luaran dari delirium.
Hingga kini, belum ada bukti ilmiah yang cukup terkait manfaat benzodiazepine dan penghambat asetilkolinesterase untuk pengobatan delirium pada penyakit Parkinson. Walaupun begitu, secara umum clonazepam dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gangguan tidur pada penyakit Parkinson.[1,3,6,8]
Sekilas Tentang Pendekatan Nonfarmakologi pada Kasus Delirium dengan Komorbiditas Parkinson
Intervensi nonfarmakologi pada pasien delirium dengan komorbiditas Parkinson ditujukan untuk mengurangi faktor risiko dan presipitasi, serta untuk memberikan dukungan sensori, emosional, dan lingkungan yang adekuat. Faktor-faktor yang berperan meningkatkan risiko delirium pada pasien dengan Parkinson antara lain alcohol use disorder, gangguan metabolik, gangguan tidur, trauma fisik atau psikologis, dan tindakan operatif.
Hingga kini, belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk mengetahui intervensi nonfarmakologi apa yang terbaik bagi kasus delirium pada penyakit Parkinson. Penelitian yang tersedia saat ini mencakup berbagai intervensi seperti reorientasi, alat bantu dengar atau penglihatan, terapi hidrasi dan nutrisi, dukungan siklus tidur-bangun, dan mobilisasi dini.[3]
Kesimpulan
Studi yang membahas pendekatan terbaik untuk tata laksana delirium pada penyakit Parkinson masih sangat terbatas. Berbagai obat antipsikotik yang biasa digunakan untuk mengatasi agitasi pada kasus delirium hiperaktif dapat meningkatkan risiko efek samping parkinsonisme, sehingga kurang cocok digunakan untuk kasus delirium pada penyakit Parkinson. Penggunaan obat neuroleptik dan psikoaktif lainnya untuk delirium masih bersifat kontroversial dan sebaiknya hanya dipilih pada pasien dengan gejala agitasi atau psikosis yang berat.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli