Pemberian Antibiotik Profilaksis Setelah Tonsilektomi Tidak Diperlukan

Oleh :
dr. Alicia Pricelda

Perlu tidaknya pemberian antibiotik profilaksis setelah tonsillectomy atau tonsilektomi masih sering menjadi perdebatan, karena beberapa studi menyatakan bahwa antibiotik profilaksis dapat mengurangi risiko komplikasi pascaoperasi, sedangkan beberapa studi lain menyatakan bahwa antibiotik profilaksis tidak bermanfaat.[1,2]

Tonsillectomy adalah pembedahan untuk mengangkat tonsil, yang umumnya dilakukan untuk pasien tonsilitis rekuren dan pasien obstructive sleep apnea. Tindakan ini terutama sering dilakukan pada anak-anak. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa 3,4–4,8 dari 1.000 anak berusia <18 tahun pernah menjalani tonsillectomy.[2-4]

Close,Up,60s,Old,Woman,Pours,Out,From,Bottle,Pills

Namun, tonsillectomy bukanlah suatu tindakan yang bebas risiko. Setelah tonsillectomy, pasien mungkin mengalami komplikasi seperti infeksi, perdarahan, disfagia, odinofagia, otalgia, dan dehidrasi. Pemberian antibiotik profilaksis diharapkan dapat mengurangi risiko komplikasi dan durasi rawat inap. Namun, bukti tentang manfaat ini sebenarnya masih terbatas. Ada kekhawatiran bahwa pemberian antibiotik pada semua pasien tonsillectomy justru berisiko menimbulkan efek samping dan resistansi mikroba.[2-4]

Pro dan Kontra Pemberian Antibiotik Profilaksis Setelah Tonsillectomy

Surgical site infection (SSI) adalah kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada prosedur bedah apa pun, termasuk tonsillectomy. Kejadian SSI dapat meningkatkan durasi rawat inap dan risiko mortalitas.[5-7]

Mulut merupakan salah satu bagian tubuh yang banyak dikolonisasi oleh flora normal maupun bakteri patogen. Setelah tonsillectomy, tonsillar fossa juga bisa dengan mudah dikolonisasi oleh bakteri seperti Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus, yang dapat menimbulkan inflamasi dan menghambat proses penyembuhan.[1,2]

Pemberian antibiotik setelah tonsillectomy awalnya dinilai dapat mengurangi risiko komplikasi tersebut. Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 79% dokter spesialis THT memberikan antibiotik pada pasien yang menjalani tonsillectomy. Namun, seiring dengan semakin banyaknya penelitian yang tidak membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis, semakin banyak organisasi medis akhirnya menghentikan rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis.[5-7]

American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery telah menganjurkan untuk tidak memberikan antibiotik profilaksis pada pasien tonsillectomy kecuali bila ada indikasiCenters for Disease Control and Prevention (CDC) juga tidak menganjurkan antibiotik sebagai profilaksis infeksi pada pasien tonsillectomy.[5-7]

Antibiotik Profilaksis Tidak Mengurangi Risiko Komplikasi Pascaoperasi

AbdElrahman, et al. melakukan uji klinis terhadap 300 pasien tonsillectomy. Pasien dibagi menjadi tiga grup, yaitu: (1) grup yang mendapatkan antibiotik injeksi selama 2 hari pascaoperasi kemudian mendapatkan antibiotik oral selama 5 hari; (2) grup yang mendapatkan antibiotik oral selama 7 hari pascaoperasi; dan (3) grup yang tidak mendapatkan antibiotik apa pun.[1]

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis tidak mengurangi kejadian demam setelah tonsillectomy, tidak mengurangi durasi nyeri tenggorokan, dan tidak mempercepat penyembuhan.[1]

Menurut studi retrospektif oleh Nae, et al. terhadap 3.160 prosedur tonsillectomy, pemberian antibiotik setelah tonsillectomy juga tidak mengurangi kejadian perdarahan sekunder (perdarahan yang terjadi >24 jam pascaoperasi).[8]

Beberapa penelitian lain juga tidak menemukan korelasi antara perdarahan sekunder dengan penanda infeksi seperti neutrofil, C-reactive protein (CRP), dan peningkatan suhu tubuh. Perdarahan sekunder lebih diasosiasikan dengan nekrosis yang terjadi pada jaringan sekitar. Menurut penelitian-penelitian tersebut, pemberian antibiotik juga tidak mengurangi rasa sakit, tidak mengurangi kebutuhan obat antinyeri, dan tidak mengurangi risiko perdarahan setelah tonsillectomy.[2,5,8]

Efek Samping Antibiotik

Penggunaan antibiotik dilaporkan tidak mempercepat pasien untuk kembali menjalani pola makan normal. Konsumsi antibiotik oral justru dapat menimbulkan efek samping gastrointestinal yang dapat semakin mengganggu makan, seperti rasa tidak nyaman di perut, mual, dan muntah.[1,2,6,9]

Penggunaan antibiotik oral maupun injeksi juga dapat memicu efek samping lain, yaitu reaksi alergi. Efek samping yang disebabkan oleh antibiotik berkontribusi terhadap 20% kasus kegawatdaruratan yang terjadi akibat obat-obatan di Amerika Serikat, dengan reaksi alergi (termasuk anafilaksis) menempati peringkat tertinggi.[1,2,6,9]

Resistansi Mikroba terhadap Antibiotik

Resistansi mikroba terhadap antibiotik telah menjadi isu akibat peresepan antibiotik yang berlebihan. WHO memperkirakan bahwa ada 700.000 kematian di dunia setiap tahunnya yang disebabkan oleh bakteri multidrug resistant (MDR), di mana 200.000 di antaranya adalah anak-anak. Resistansi meningkat karena penyalahgunaan antibiotik, termasuk antibiotik profilaksis pascaoperasi yang tidak selalu diperlukan.[6,10,11]

Anak-anak merupakan populasi yang paling rentan untuk mengalami penyalahgunaan antibiotik. Hal ini dikarenakan kondisi seperti diare dan infeksi pernapasan, yang sangat umum terjadi pada anak-anak, sering kali langsung ditangani dengan antibiotik tanpa memandang etiologinya.[6,10,11]

Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Tonsillectomy

Menurut American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery, antibiotik perioperatif tidak bermanfaat signifikan pada pasien tonsillectomy, sehingga pemberian antibiotik ini secara universal tanpa seleksi risiko infeksi tidak dianjurkan.[3,6]

Antibiotik perioperatif (24 jam sebelum dan 24 jam setelah tonsillectomy) hanya diberi kepada pasien dengan risiko infeksi yang tinggi, contohnya pasien dengan kelainan jantung, pasien dengan implan jantung, dan pasien abses peritonsiler.[3,6]

Kesimpulan

Setelah tonsillectomy, tonsillar fossa dapat dengan mudah dikolonisasi oleh patogen seperti Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus, yang bisa menyebabkan inflamasi dan menghambat penyembuhan. Hal ini membuat banyak ahli sebelumnya menyarankan pemberian antibiotik profilaksis setelah prosedur tonsillectomy.

Namun, hasil studi-studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis tidak efektif mengurangi risiko komplikasi setelah tonsillectomy, seperti demam, nyeri, dan perdarahan sekunder. Pemberian antibiotik profilaksis juga tidak mempersingkat durasi rawat inap. Sebaliknya, pemberian antibiotik profilaksis secara universal tanpa seleksi pasien dikhawatirkan akan meningkatkan kejadian efek samping dan resistansi mikroba terhadap antibiotik.

Berbagai asosiasi medis saat ini sudah tidak merekomendasikan pemberian antibiotik perioperatif pada pasien tonsillectomy. Antibiotik perioperatif hanya diberikan kepada pasien yang berisiko tinggi infeksi, misalnya pasien dengan kelainan jantung, pasien dengan implan jantung, dan pasien abses peritonsiler.

Referensi