Heat stroke merupakan keadaan yang mengancam nyawa sehingga klinisi harus paham bagaimana cara membedakannya dengan demam karena keduanya sama-sama merupakan kondisi dengan peningkatan temperatur tubuh. Deteksi dan penanganan heat stroke yang cepat harus dapat dilakukan klinisi untuk menurunkan tingkat mortalitas pasien.
Peningkatan temperatur tubuh atau demam merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada fasilitas kesehatan. Sebesar 35,5% pasien di fasilitas kesehatan pertama mengeluhkan peningkatan temperatur tubuh. Peningkatan temperatur tubuh memiliki penyebab yang beragam, seperti demam akibat infeksi virus, bakteri, sampai heat stroke yang dapat mengancam nyawa. Akan tetapi, klinisi masih sulit membedakan antara demam dan heat stroke. [1,2]
Heat stroke merupakan keadaan yang mengancam nyawa dengan tingkat kematian dapat mencapai 80%. Melalui diagnosis dan penanganan yang cepat maka tingkat mortalitas dapat diturunkan menjadi 10%. Oleh karena itu, klinisi harus dapat mengidentifikasi heat stroke sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan secara cepat dan tepat. [3,4]
Perbedaan antara Demam dan Heat stroke
Demam adalah peningkatan temperatur tubuh (>37,2°C pada pagi hari dan >37,7°C pada malam hari) yang berhubungan dengan peningkatan set point hipotalamus.
Heat stroke didefinisikan sebagai peningkatan temperatur pusat tubuh yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme termoregulasi. Biasanya, suhu tubuh pada heat stroke dapat mencapai > 40°C dan berkaitan dengan defisit neurologis.
Namun, suhu tubuh tidak dapat dijadikan sebagai indikator perbedaan ini karena demam yang disebabkan oleh infeksi seperti tifoid, demam dengue, ataupun malaria dapat mencapai > 40°C dan tidak semua kasus heat stroke disertai dengan demam > 40°C. [2,4-6]
Etiologi demam dan heat stroke sangatlah berbeda. Demam disebabkan oleh rangsangan internal yang disebabkan oleh infeksi dan inflamasi, sedangkan penyebab heat stroke berasal dari sumber eksternal. Penyebab heat stroke ada 2, yaitu heat stroke exertional dan heat stroke non exertional yang dikenal juga dengan heat stroke klasik.
Heat stroke exertional umumnya terjadi pada individu muda yang melakukan aktivitas fisik yang berat untuk waktu yang lama pada lingkungan yang panas, seperti pelari maraton yang berlari saat cuaca panas dan anggota militer yang sedang latihan fisik. [2,4-6]
Heat stroke non exertional lebih sering menyerang orang yang lanjut usia yang tidak banyak bergerak, orang yang sakit kronis, dan anak – anak. Heat stroke jenis ini disebabkan oleh absorpsi tubuh terhadap gelombang panas lingkungan dan toleransi tubuh terhadap gelombang panas yang menurun sehingga menyebabkan hipertermia pusat tubuh. Contoh heat stroke non exertional adalah anak yang terkunci di mobil saat cuaca panas.
Demam, umumnya disebabkan oleh substansi yang disebut sebagai pirogen, baik endogen atau eksogen. Pirogen endogen merupakan sitokin yang dikeluarkan oleh sistem imun tubuh. Sedangkan pirogen eksogen merupakan antigen yang muncul saat terjadi infeksi bakteri, virus, parasit, keganasan, inflamasi, maupun beberapa obat. Respons tubuh terhadap peningkatan pirogen akan menyebabkan set point hipotalamus meningkat secara abnormal. [2,7]
Pada Heat stroke, set point hipotalamus tetap normal tetapi sudah terjadi kegagalan termoregulasi yang menyebabkan hipertermia dan systemic inflammatory response syndrome (SIRS).
Stimulus panas dari eksposur gelombang panas atau aktivitas tubuh yang berlebih yang terus-menerus menyebabkan heat gain pada tubuh akan lebih besar dibandingkan heat loss. Temperatur tubuh kemudian akan meningkat dalam keadaan set point hipotalamus yang tidak meningkat. Hal ini akan diikuti dengan anoksia sel, peningkatan permeabilitas gastrointestinal, dan kolaps kardiovaskular yang berakibat pada terjadinya SIRS. [4,8]
Presentasi Klinis Pasien Heat stroke
Heat stroke harus dicurigai pada semua pasien yang datang ke instalasi gawat darurat atau fasilitas kesehatan lainnya dengan suhu inti tubuh >40°C yang disertai dengan penurunan kesadaran, kebingungan, atau kejang saat suhu lingkungan tinggi, terutama di musim panas.
Setiap penyakit sistemik dengan gambaran klinis berupa demam yang disertai defisit neurologi dapat dipertimbangkan hanya jika kemungkinan heat stroke telah disingkirkan, karena keterlambatan tata laksana heat stroke dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Temuan klinis lain yang dapat terlihat adalah kulit kering dan tidak berkeringat (kecuali pada heat stroke exertional pasien sangat berkeringat) serta adanya tanda-tanda dehidrasi.
Diagnosis Heat stroke
Diagnosis heat stroke perlu ditegakkan berdasarkan klinis dengan trias: hipertermia, defisit neurologis, dan riwayat eksposur cuaca panas atau aktivitas fisik berat. Berbeda dengan demam, temperatur tubuh pasien heat stroke umumnya lebih tinggi, yaitu > 40°C. Gangguan sistem organ pasien heat stroke dapat terjadi pada beragam sistem organ, seperti sistem saraf pusat, kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, dan renal. [8,9]
Pada tahun 2016, Japanese Association of Acute Medicine Heat stroke Comittee Working Group (JAAM-HS-WG) mengeluarkan kriteria diagnosis untuk heat stroke, yaitu seluruh pasien yang terekspos temperatur tinggi dan disertai salah satu dari kriteria berikut :
- Skor Glasgow Coma Scale (GCS) : 14
- Level kreatinin atau bilirubin total : 1,2 mg/dL
- Skor koagulasi intravaskular diseminata (KID) Japan Association of Acute Medicine (JAAM) : 4
Peningkatan temperatur tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis karena terdapat beberapa kasus heat stroke dengan temperatur tubuh < 40°C. [4,5]
Keadaan heat stroke harus dibedakan dengan keadaan lainnya yang menyebabkan hiperpireksia dan gangguan kesadaran, seperti malaria, ensefalitis, infeksi saluran kemih, pneumonia, dan demam akibat virus.
Oleh sebab itu, pemeriksaan lanjutan berupa hitung jenis sel darah putih, rontgen toraks, urinalisis, serta pemeriksaan darah tepi dan rapid diagnostic test (RDT) malaria dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan ini. Selain itu, pemeriksaan cairan serebrospinal dan pencitraan otak dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding infeksi sistem saraf pusat atau stroke. [3,10]
Pemeriksaan Penunjang Heat stroke
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan pada pasien heat stroke untuk memperkuat diagnosis dan mencari komplikasi pada pasien.
Dalam mengevaluasi komplikasi pada heat stroke, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pada pasien, yaitu elektrolit, seperti natrium dan kalium. Kondisi dehidrasi, asidosis metabolik, dan rabdomiolisis dapat menyebabkan gagal ginjal akut sehingga perlu dilakukan pemeriksaan ureum dan kreatinin pada pasien heat stroke.
Komplikasi gangguan fungsi ginjal dapat dideteksi dengan pemeriksaan ureum dan kreatinin. Alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik akibat stimulasi sistem saraf pusat serta asidosis laktat juga dapat ditemukan pada pasien heat stroke melalui pemeriksaan analisa gas darah.
Fungsi hati dan total bilirubin juga dapat ditemukan meningkat apabila terdapat komplikasi kerusakan hati. Komplikasi rabdomiolisis sering kali ditemukan pada heat stroke exertional dan dapat dideteksi melalui penemuan peningkatan tes fungsi otot, seperti creatinine kinase dan lactate dehydrogenase.
Deteksi komplikasi gangguan pembekuan darah, seperti disseminated intravascular coagulation (DIC), dapat dilakukan dengan pemeriksaan hitung platelet, prothrombin time, dan fibrinogen degradation product (FDP). [3,5,10]
Perbedaan Terapi Heat stroke dan Demam
Tujuan terapi demam dan heat stroke juga berbeda. Terapi pada demam akan berfokus pada tata laksana terhadap etiologi yang mendasarinya. Penurunan suhu tubuh dengan pemberian antipiretik pada demam umumnya hanya untuk memberikan kenyamanan pada pasien.
Justru, demam yang disebabkan oleh infeksi tertentu dapat menjadi sebuah tanda penuntun untuk diagnosis yang baik mengingat beberapa penyakit memiliki karakteristik demam yang berbeda, seperti demam tifoid dan malaria.
Berbeda dengan demam, peningkatan suhu tubuh pada heat stroke merupakan keadaan yang mengancam nyawa sehingga harus diturunkan segera. Tujuan utama terapi heat stroke adalah untuk menurunkan suhu inti tubuh sampai 38-39° C dalam satu jam pertama. Tindakan pendinginan tidak boleh dihentikan sampai goal ini tercapai. Setelah suhu inti tubuh mencapai 39° C, pemeriksaan tubuh dapat dilakukan setiap jam untuk memantau kemungkinan terjadinya hipotermia atau rebound hyperthermia.
Pemberian antipiretik tidak akan menurunkan temperatur tubuh pasien heat stroke. Untuk mengontrol temperatur tubuh, dapat dilakukan terapi pendinginan tubuh secara konduktif dan evaporatif.
Terapi pendinginan secara konduktif dilakukan dengan memberikan es batu pada bagian lipatan paha, aksila, dan leher untuk menurunkan temperatur melalui darah arteri. Selain itu, dapat juga diberikan cairan intravena, seperti cairan salin normal , dekstrosa 5%, atau ringer laktat yang sudah didinginkan.
Terapi pendinginan evaporatif dilakukan dengan melepaskan baju pasien dan menempelkan kain basah pada badan pasien.
Resusitasi cairan harus dilakukan jika ada hipotensi, yaitu dengan memberikan cairan salin normal sebanyak 250-500 ml secara bolus. Namun, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati karena mungkin sudah ada komplikasi pada ginjal atau jantung yang sedang berlangsung.
Komplikasi gagal jantung kongestif dan infark miokard dapat membaik setelah penanganan dengan terapi pendinginan. Bantuan ventilasi dapat dilakukan pada keadaan komplikasi respirasi, seperti acute respiratory distress syndrome dan bronkospasme. Apabila pasien kejang, terapi midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB intravena dapat diberikan dengan dosis maksimum 4 mg. [4,10]
Kesimpulan
Demam dan heat stroke harus dapat dibedakan oleh klinisi dari awal pasien datang ke fasilitas kesehatan guna prognosis pasien yang lebih baik. Etiologi demam umumnya disebabkan oleh respons tubuh terhadap rangsangan internal yang disebabkan oleh infeksi dan inflamasi, sedangkan heat stroke merupakan keadaan yang disebabkan oleh rangsangan external berupa eksposur terhadap cuaca panas atau aktivitas fisik berat.
Heat stroke dapat disebabkan oleh dua keadaan, yaitu aktivitas fisik yang berat (heat stroke exertional) dan absorpsi tubuh terhadap gelombang panas (heat stroke non exertional).
Set point temperatur hipotalamus pada keadaan demam akan meningkat sedangkan set point temperatur hipotalamus pada keadaan heat stroke berada dalam ambang batas normal.
Heat stroke harus dicurigai apabila ada peningkatan suhu inti tubuh >40°C yang disertai dengan defisit neurologis dan riwayat eksposur dari lingkungan yang panas.
Beberapa pemeriksaan penunjang, seperti elektrolit, ureum dan kreatinin, analisis gas darah, tes fungsi hati, prothrombin time, serta lactate dehydrogenase, dapat dilakukan untuk mendeteksi komplikasi heat stroke.
Berbeda dengan demam, temperatur tubuh pasien heat stroke tidak akan turun dengan pemberian antipiretik. Terapi pendinginan secara konduktif atau evaporatif dapat diberikan untuk menurunkan temperatur tubuh pasien heat stroke. Selain itu, penanganan komplikasi juga harus menjadi prioritas dalam terapi heat stroke.