Monosodium glutamate (MSG) atau penyedap rasa di makanan dikatakan memiliki efek berbahaya bagi kesehatan. Penelitian yang tersedia saat ini banyak yang bertentangan. Beberapa studi mengatakan ada efek berbahaya. Namun, di penelitian lain ada yang menyatakan sebaliknya.
Peningkatan angka penyakit tidak menular (diabetes, penyakit jantung, stroke) kini telah dianggap menjadi akibat dari sebuah proses modernisasi. Hal tersebut terjadi terutama akibat pergeseran kebiasaan pola makan. Saat ini lebih banyak individu memilih mengonsumsi makanan cepat saji dengan penambahan gula, garam, lemak terhidrogenasi serta penggunaan luas penguat rasa seperti monosodium glutamat (MSG). Layaknya zat aditif lainnya penggunaan MSG dinyatakan aman, namun hingga kini pendapat ahli terkait hal tersebut masih kontroversial.[1,2]
Sekilas Mengenai Monosodium Glutamat
Monosodium glutamat (MSG) merupakan senyawa kombinasi antara molekul sodium dan glutamat yang lebih dikenal luas sebagai produk penguat rasa. Secara struktur, MSG yang juga dikenal sebagai sodium 2-aminopentanedioate terdiri dari 12% natrium, 78% glutamate dan 10% air. MSG berbentuk bubuk kristal putih yang mudah larut air, juga larut dalam larutan eter namun tidak larut dalam alkohol, benzena, methanol dan asam asetat.
Rasa yang diberikan oleh MSG dikenal sebagai “umami” yang merupakan rasa dasar kelima setelah manis, asam, asin dan pahit. Rasa umami ini berasal dari asam glutamat, salah satu asam amino non esensial yang secara kimiawi pertama kali diisolasi pada tahun 1866 oleh Ritthausen dari protein yang terkandung dalam gandum. Selanjutnya, rasa umami semakin dikenal setelah professor Kikunae Ikeda meneliti asam glutamat yang terkandung dalam rumput laut pada tahun 1908.[2–4]
Monosodium Glutamat Alami dan Sintetik
Secara alami, sekitar 8-10% makanan sumber protein mengandung asam amino glutamate, baik dalam bentuk bebas maupun terikat. Protein nabati menjadi sumber asam glutamat terbesar, sedangkan jumlah asam amino glutamat dalam protein hewani cenderung lebih rendah. Contoh makanan yang mengandung asam glutamat alami seperti jamur, tomat, kacang polong, olahan kedelai, keju, kerang-kerangan, tuna, daging sapi, ekstrak ragi, air susu ibu, susu sapi dan lain sebagainya. MSG sebagai pemberi rasa umami juga dikenal sebagai substansi seperti inosine 5’-monophosphate (IMP) dan guanosine 5’-monophosphate (GMP), yang banyak ditemukan dalam daging olahan, sayuran kaleng, saus, dan berbagai makanan ringan dalam kemasan.[3,4]
Metabolisme Monosodium Glutamat
Dalam tubuh manusia dewasa terkandung total glutamat bebas sekitar 10 g, dengan kandungan tertinggi terdapat pada otot dan otak masing-masing sebesar 6 g dan 2,3 g. Tubuh manusia tidak dapat membedakan glutamat yang berasal dari bahan makanan alami dan bumbu, sehingga MSG dinyatakan bukanlah suatu bagian yang baru dalam diet manusia.[3]
Setelah dikonsumsi secara oral, MSG akan dipecah menjadi glutamat dan ion natrium dalam saluran cerna. Dalam usus, glutamat kemudian akan diabsorpsi lewat transpor aktif dan dibawa ke dalam lumen melewati membran apical dengan bantuan transporter seperti excitatory amino acid transporter (EAAC-1) dan sodium carboxylate transporter (NaCDC-1).
Namun, hanya sedikit dari glutamat tersebut yang diketahui ditemukan dalam aliran darah, sebagian besar akan segera dimetabolisme dalam saluran cerna untuk pembentukan adenosin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi dalam motilitas usus. Kemudian dilanjutkan dimetabolisme di hepar dan dieliminasi lewat ginjal.[2,3]
Efek Monosodium Glutamat terhadap Kesehatan
Telah banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan MSG berlebihan dalam makanan akan menyebabkan fibromialgia, gangguan darah, atrial fibrilasi, hepatotoksik, nefrotoksik, hiperglikemia yang memicu diabetes melitus, infertilitas pria, infertilitas wanita, dan obesitas. Namun, sebagian besar efek tersebut dilaporkan pada penelitian hewan coba, sedangkan penelitian pada manusia masih sangat terbatas.
Efek Merugikan MSG pada Manusia
Efek samping konsumsi MSG pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1968, yang dikenal sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS). Perlu dicermati, bahwa kasus yang diberitakan ini bukanlah penelitian, namun ke arah surat editorial. Kemungkinan yang ada saat itu adalah prasangka buruk terhadap komunitas imigran.
Gejala yang muncul berupa kaku pada leher belakang dan lengan, kelemahan dan palpitasi setelah mengonsumsi chinese food. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa konsumsi MSG turut mencetuskan reaksi alergi dengan gejala berbeda-beda seperti sakit kepala, nyeri dada, sensasi terbakar, rasa tertekan pada wajah, rasa tidak nyaman pada saluran cerna, urtikaria, asma, neuropati dan dermatitis atopik.[2,4-6]
Selain itu, kandungan garam dalam monosodium glutamat dapat memperburuk hipertensi maupun gagal jantung. Sehinga, diet garam dianjurkan bagi pasien hipertensi dan juga pasien gagal jantung.
MSG Berkorelasi dengan Obesitas di Hewan Uji
Beberapa studi pada hewan coba telah menunjukkan efek MSG dalam memicu obesitas. Penelitian oleh Ma et al. dilakukan dengan pemberian MSG sebesar 4 mg/gBB selama 8 hari pada tikus yang baru lahir untuk memicu obesitas. Setelah 6 bulan perlakuan ditemukan bahwa tikus yang mendapatkan MSG lebih pendek dan menunjukkan adanya obesitas lewat peningkatan berat badan dan adiposa intraperitoneal apabila dibandingkan dengan permulaan studi (p<0,01).
Tikus yang obese juga menunjukkan intoleransi glukosa dan peningkatan profil lipid. MSG dinyatakan memiliki peran dalam disregulasi endocannabinoid system seperti yang dialami tikus obes yang diinduksi diet tinggi lemak. Selain itu juga peningkatan ekspresi CB1R, gen yang berperan dalam lipogenesis dan penyimpanan trigliserida.[7]
Penelitian Nnadozie et al. menunjukkan bahwa pemberian dosis kronis MSG terhadap tikus albino Wistar (dalam dosis yang setara dengan dosis yang dapat diterima manusia) akan menyebabkan peningkatan mortalitas, gangguan fertilitas serta perubahan bermakna pada fungsi dan histologi organ utama. Pada penelitian ini, sebanyak 6 tikus jantan dan 6 tikus betina diberi makanan yang ditambahkan MSG sebesar 120 mg/kg/hari, sedangkan kelompok kontrol menerima makanan standar tanpa penambahan MSG. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 23 kematian pada kelompok tikus paparan dan sebaliknya tidak terdapat mortalitas pada kelompok kontrol. Tingkat fertilitas yang cukup rendah pada kelompok perlakuan (48 kelahiran) apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol (117 kelahiran), penambahan berat badan lebih tinggi pada kelompok perlakuan serta peningkatan fungsi hepar, ginjal, kolesterol puasa, trigliserida dan serum asam urat setelah trimester ketiga, serta adanya inflamasi ringan fibrosis periglomerular dan nefritis interstitial pada dua ekor tikus di bulan 6-12.[1]
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Celestino et al. Selama 2 bulan, tikus jantan berusia 6 dan 18 bulan diberi konsumsi air secara bebas (kelompok kontrol), 0,3% NaCl dan 1% MSG yang ditambahkan ke dalam diet standar. Hewan coba berusia muda yang mengonsumsi NaCl menunjukkan proteinuria, hiperfiltrasi, meningkatnya ekspresi dan ekskresi aquaporin-2 dan kecenderungan fibrosis, sedangkan yang mengonsumsi MSG dinyatakan berefek sama dengan kelompok kontrol. Pada tikus berusia lebih tua ditemukan adanya proteinuria dan peningkatan volume korpus renal pada seluruh kelompok yang dikaitkan dengan adanya efek penuaan. Melalui penelitian ini dinyatakan bahwa konsumsi MSG dalam waktu lama memiliki efek minimal apabila dibandingkan dengan NaCl. Konsumsi NaCl diketahui memberikan efek samping pada ginjal yang akan berhubungan dengan kejadian hipertensi. Akan tetapi,hasil dari studi hewan tidak selalu muncul pada manusia.[8]
Keuntungan Konsumsi Monosodium Glutamat pada Manusia
Selain hasil yang merugikan, beberapa penelitian turut melaporkan beberapa keuntungan lewat konsumsi MSG. Penggunaan MSG yang mencetuskan rasa umami dinyatakan dapat menurunkan konsumsi garam berlebihan sebagai salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Morita et al. melakukan penelitian terhadap partisipan berkebangsaan Jepang yang terdiri dari 64 laki-laki dan 497 perempuan dengan rentang usia 19–86 tahun. Perlakuan dilakukan dengan memberikan larutan garam 0,3%, 0,6% dan 0,9% yang telah dan tidak ditambahkan 0,3% MSG. Penambahan MSG pada larutan NaCl 0,3% ternyata meningkatkan rasa asin pada semua kelompok (p<0,05).
Tingkat palatabilitas meningkat dua kali pada kelompok NaCl 0,3% dengan penambahan MSG apabila dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan MSG. Dengan demikian dinyatakan bahwa penambahan jumlah bahan umami yang tepat dapat memfasilitasi pengurangan garam dalam diet untuk mempertahankan palatabilitas sehingga menghindari dengan paparan garam yang tinggi pada anak usia dini. Namun, penelitian ini juga menyatakan bahwa preferensi umami sangat tergantung pada pengenalan rasa umami dalam keluarga, partisipan berkebangsaan Jepang memiliki pengalaman lebih banyak terkait penggunaan MSG dalam makanan sehingga lebih sensitif pada efek umami terhadap palatabilitas.[9]
Rekomendasi Konsumsi Monosodium Glutamat
The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), the US Food and Drug Administration (FDA) dan The European Food Safety Association (EFSA) menyatakan bahwa MSG merupakan substance generally recognized as safe (GRAS). Namun demikian, beberapa peneliti kerap kali bertentangan mengenai kriteria inklusi zat yang dapat dimasukkan dalam GRAS.
Pada tahun 2006 EFSA mengeluarkan acceptable daily intake (ADI) atau rekomendasi asupan harian untuk beberapa zat aditif makanan dengan mempertimbangkan kadar no-observed-adverse-effect level (NOAEL)-nya termasuk di dalamnya adalah MSG (E621) yaitu sebesar 30 mg/kgBB/hari dari asam glutamat. Berdasarkan hal tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menyatakan penggunaan MSG aman, namun hingga kini tidak ada rekomendasi seberapa besar asupan MSG yang dianjurkan.[3,4]
Kesimpulan
Monosodium glutamate (MSG) merupakan kombinasi molekul sodium dan glutamat yang mencetuskan rasa umami. Secara alami, rasa umami diperoleh dari asam amino glutamat yang terkandung dalam makanan sumber protein terutama nabati.
Berdasarkan penelitian hewan, MSG terbukti meningkatkan risiko obesitas dan adanya peningkatan fungsi hepar, ginjal, kolesterol puasa, trigliserida dan serum asam urat. Di lain pihak, penelitian mengenai efek MSG terhadap kesehatan yang dilakukan pada manusia hingga kini sangat terbatas, dan Chinese Restaurant Syndrome tidak didasari oleh bukti klinis. Namun, demikian MSG dinyatakan tetap aman dikonsumsi.
Batas asupan harian MSG menurut EFSA adalah 30 mg/kgBB/hari. Walaupun demikian, dalam praktik klinis perlu menjelaskan makanan yang mengandung MSG selain dalam bentuk bumbu, efek samping yang timbul akibat konsumsi MSG serta pemilihan glutamat alami sebagai penguat rasa makanan.