Alergi makanan sering dianggap sama dengan intoleransi makanan padahal keduanya merupakan kondisi yang berbeda. Secara umum, reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan bisa terjadi karena dua proses yang berbeda, yaitu melalui proses imun dan tanpa melalui proses imun. Alergi makanan merupakan suatu reaksi imun, sedangkan intoleransi makanan tidak melewati proses imun.[1]
Selama 2 dekade terakhir, hampir 20% masyarakat di negara berkembang melaporkan respons tubuh yang tidak normal saat mencerna makanan. Hal ini juga dikenal sebagai adverse reaction to food (ARF). Meskipun respons tersebut mungkin disebabkan oleh proses non-alergi (non-imun), pasien dan tenaga kesehatan cenderung melaporkannya sebagai alergi makanan karena sulit membedakannya.[1]
Dari hasil meta analisis pasien yang melaporkan reaksi tubuh terhadap makanan, 35% subjek mendiagnosis dirinya mengalami alergi makanan. Namun, ternyata hanya 3,5% subjek mencapai diagnosis alergi makanan yang dikonfirmasi melalui tes uji makanan oral. Karena adanya reaksi yang berpotensi mengancam jiwa pada sebagian pasien dengan alergi makanan, tenaga kesehatan harus mampu membedakan berbagai ARF dengan baik.[1]
Menurut definisi dari National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), alergi makanan adalah adverse reaction kesehatan yang timbul dari respons imun spesifik terhadap paparan suatu makanan, yang bisa terjadi berulang. Sementara itu, intoleransi makanan didefinisikan sebagai reaksi non-imun yang mencakup mekanisme metabolik, toksik, farmakologis, dan mekanisme lain yang tidak terdefinisi.[2]
Penyebab dan Cara Mendiagnosis Alergi Makanan
Istilah alergi makanan digunakan ketika ada hubungan sebab akibat (idealnya, dengan mekanisme imun tertentu) yang telah ditentukan. Sekitar 90% kasus alergi makanan disebabkan oleh 8 jenis makanan, yaitu susu, telur, kacang tanah, kacang pohon, ikan, kerang, gandum, dan kedelai.[1,3,4]
Seiring pertambahan usia, sebagian anak-anak mengembangkan toleransi terhadap susu, telur, gandum, dan kedelai pada masa remaja dan dapat mengonsumsi makanan yang sebelumnya menyebabkan alergi. Namun, alergi kacang tanah, kacang pohon, dan makanan laut umumnya akan tetap ada.[1,3,4]
Ada tiga kelompok besar reaksi imun, yaitu reaksi imun yang diperantarai IgE, reaksi imun yang tidak diperantarai IgE, dan reaksi imun campuran. Reaksi yang diperantarai IgE ditandai dengan timbulnya gejala akut, umumnya dalam 2 jam setelah konsumsi makanan pemicu. Reaksi yang diperantarai IgE biasanya melibatkan kulit, saluran pencernaan, dan saluran pernapasan.[4]
Reaksi imunologi yang tidak diperantarai IgE (misalnya yang diperantarai sel) termasuk enterocolitis yang diinduksi protein, proctocolitis, dan sindrom enteropati. Kondisi ini terutama menyerang bayi atau anak kecil dengan keluhan pada perut, seperti muntah, kram perut, diare, dan terkadang ada darah di tinja. Anak juga berisiko mengalami gangguan perkembangan dan sulit menambah berat badan.[4]
Sementara itu, contoh komorbiditas alergi makanan dengan penyebab campuran yang diperantarai IgE dan non-IgE adalah esofagitis eosinofilik dan dermatitis atopik.[4]
Cara Mendiagnosis Alergi Makanan
Mengidentifikasi pasien dengan alergi makanan dapat menjadi tantangan karena gejala yang didapatkan mungkin tidak spesifik dan hubungan sebab akibat sulit ditentukan. Riwayat menyeluruh diperlukan untuk memandu pengujian lebih lanjut. Faktor-faktor yang relevan dinilai meliputi gejala dan dugaan alergen, durasi gejala, jumlah kejadian, jumlah makanan yang tertelan, dan metode penyiapan makanan. Tanyakan juga ada tidaknya gejala tanpa konsumsi makanan.[1]
Tes makanan oral double-blinded adalah standar baku emas untuk diagnosis, yakni dengan memantau gejala klinis pasien sambil meningkatkan dosis alergen makanan yang dicurigai. Tes ini memerlukan persiapan, membutuhkan biaya yang cukup tinggi, dan dapat menyebabkan reaksi parah.[1]
Namun, tes lain belum begitu direkomendasikan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases karena kurangnya standarisasi atau kurangnya validasi. Contohnya adalah tes intradermal, tes serum IgE total, IgG atau IgG4 spesifik alergen, analisis mineral rambut, kinesiologi terapan, tes elektrodermal, termografi wajah, dan endoskopi provokasi alergen.[1]
Penyebab dan Cara Mendiagnosis Intoleransi Makanan
Reaksi non-imun yang buruk terhadap makanan dapat dibedakan menjadi reaksi yang host-independent dan reaksi yang host-dependent karena mekanisme patofisiologinya yang heterogen. Ciri khas intoleransi makanan adalah tidak adanya mekanisme imun dasar yang dapat diidentifikasi.[2]
Intoleransi Makanan yang Host-Independent
Intoleransi makanan yang tidak terkait (independen) dengan tubuh manusia dapat disebabkan oleh zat dalam makanan itu sendiri. Ribuan bahan kimia dengan potensi aktivitas farmakologis terdapat dalam makanan, di mana sebagian ditambahkan untuk mengawetkan dan meningkatkan rasa atau penampilan makanan.[2]
Bahan kimia tersebut dapat berupa bahan kimia makanan alami yang meliputi amina vasoaktif (misalnya histamin) dan salisilat atau bahan tambahan makanan (misalnya monosodium glutamat), sulfit, dan benzoate. Dalam beberapa kasus, reaksi terhadap bahan-bahan ini mungkin meniru reaksi imunologi. Namun, tidak seperti alergi makanan sebenarnya, ada keterlambatan timbulnya gejala, ada gejala yang berkepanjangan, dan serologi IgE negatif.
Manifestasi klinis yang umum adalah urtikaria kronis dan angioedema. Gambaran klinis lainnya dapat berupa eksim, hipotensi, muka memerah, gejala seperti asma, dan gejala gastrointestinal. Diperlukan lebih banyak data untuk menjelaskan mekanisme spesifik dari tindakan sensitivitas terhadap bahan tambahan makanan tertentu.[2]
Intoleransi Makanan yang Host-Dependent
Penyebab intoleransi makanan yang lain adalah terkait tubuh pasien sendiri. Beberapa contoh intoleransi makanan yang host-dependent adalah intoleransi terhadap laktosa, fermentable oligo-, di-, mono-saccharides and polyols (FODMAPs), dan gluten.[2]
Intoleransi laktosa merupakan salah satu intoleransi makanan yang paling umum terjadi. Intoleransi laktosa terjadi pada orang dengan malabsorpsi laktosa, yang ditandai dengan gejala gastrointestinal, khususnya sakit perut, kembung, distensi perut, dan diare yang biasanya dimulai 30 menit hingga beberapa jam setelah makan atau minum yang mengandung laktosa. Gejala lain bisa berupa sakit kepala dan migrain, kelelahan, gangguan muskuloskeletal, dan perubahan perilaku.[2]
FODMAPs membentuk sekelompok karbohidrat alami yang terdapat dalam berbagai macam makanan, yang merupakan pemicu gejala pada pasien irritable bowel syndrome (IBS). Hal ini disebabkan efek osmotik akibat buruknya penyerapan karbohidrat rantai pendek, yang akan meningkatkan aliran air di lumen usus dan meningkatkan aliran makanan ke kolon. Hal ini kemudian meningkatkan fermentasi oleh bakteri kolon dan meningkatkan produksi gas.[2]
Efek gabungan dari peningkatan kadar air dan peningkatan produksi gas di lumen kolon akan menyebabkan distensi pada kolon dan menyebabkan nyeri dan kembung yang dianggap sebagai ciri khas IBS.[2]
Gluten adalah protein dari gandum yang merupakan pemicu reaksi imun pada celiac disease dan alergi gandum. Gluten dikaitkan dengan berbagai gejala gastrointestinal, seperti kembung, sakit perut, dan gangguan buang air besar.[2]
Gluten juga dikaitkan dengan gejala ekstraintestinal, seperti sakit kepala, foggy mind, kelelahan, fibromyalgia, dan ruam kulit. Kondisi ini disebut sebagai non-celiac gluten sensitivity (NCGS). Komponen lain dari gandum dan sereal dapat memicu manifestasi klinis serupa, yaitu non-celiac wheat sensitivity (NCWS). Mekanisme yang mendasari NCG/WS masih belum sepenuhnya dipahami dan masih diteliti lebih lanjut.[2]
Kesimpulan
Meskipun alergi makanan dan intoleransi makanan mungkin menunjukkan tanda dan gejala yang mirip, keduanya adalah kondisi yang berbeda. Alergi makanan merupakan suatu adverse reaction to food (ARF) yang melalui proses imun, sedangkan intoleransi makanan merupakan ARF yang tidak melalui proses imun.
Alergi makanan melibatkan reaksi imun yang diperantarai IgE, reaksi imun yang tidak diperantarai IgE (misalnya diperantarai sel), dan reaksi imun campuran. Sementara itu, intoleransi makanan melibatkan reaksi non-imun, seperti mekanisme metabolik, toksik, farmakologis, dan mekanisme lain yang tidak terdefinisi. Contoh intoleransi makanan yang umum adalah intoleransi laktosa dan gluten.
Untuk membedakan keduanya, diperlukan anamnesis yang mendalam dan bermacam tes penunjang. Dokter harus menggali gejala dan dugaan alergen, durasi gejala, jumlah kejadian, jumlah makanan yang tertelan, metode penyiapan makanan, dan ada atau tidaknya gejala tanpa konsumsi makanan. Tes makanan oral dan tes serum IgE dapat dipertimbangkan bila dicurigai alergi. Pada kasus intoleransi makanan, cenderung ada keterlambatan gejala, gejala cenderung berkepanjangan, dan serologi IgE negatif.