Resistensi antibiotik merupakan fakta medis yang membuat dunia kesehatan berfikir keras untuk menemukan solusinya. Antibiotik merupakan terapi antimikroba yang digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi.
Penggunaan antibiotik haruslah rasional, tepat, dan aman. Penggunaan yang tidak rasional dapat berdampak buruk, seperti terjadinya resistensi mikroba terhadap beberapa antibiotik, efek samping obat yang meningkat, dan yang paling berat adalah kematian akibat infeksi berat. Resistensi antibiotik adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek obat sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.[1]
Mekanisme Kerja Antibiotik
Sebelum kita mengetahui mekanisme resistensi antibiotik, maka ada baiknya kita mengetahui mekanisme kerja dari antibiotik. Terdapat beberapa macam mekanisme kerja antibiotik, yaitu:
- Gangguan pembentukan dinding sel
- Gangguan fungsi membran plasma
- Gangguan pembentukan asam nukleat
- Gangguan pembentukan protein
- Gangguan metabolisme folat[2]
Tabel 1. Penggolongan Antibiotik[2,3]
Sumber: Ardi Putranto Ari Supomo, 2020
Tabel 2. Lanjutan Penggolongan Antibiotik[2,3]
Sumber: Ardi Putranto Ari Supomo, 2020
Gangguan Pembentukan Dinding Sel Bakteri
Mekanisme kerja antibiotik ini melalui cara menghambat pembentukan enzim biosintetik (fosfomisin, sikloserin), berikatan dengan molekul pembawa (basitrasin), berikatan dengan substrat dinding sel (vankomisin), serta menghambat polimerisasi dan perlekatan peptidoglikan pada dinding sel (penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam).[2]
Gangguan Fungsi Membran Plasma
Mekanisme kerja dengan cara merusak membran sitoplasma (tirosidin, polimiksin), dan membuat lubang/pori pada membran sitoplasma (garamisin).[2]
Gangguan Pembentukan Asam Nukleat
Antibiotik dengan mekanisme kerja ini membunuh bakteri secara menghambat replikasi DNA (kuinolon, nitroimidazole), dan menghambat enzim RNA polimerase (rifampisin).[2]
Gangguan Fungsi Ribosom
Mekanisme kerja dengan cara menghambat unit 30S (aminoglikosida, tetrasiklin), dan menghambat unit 50S (kloramfenikol, makrolida, asam fusidat). [2]
Gangguan Metabolisme Folat
Memiliki mekanisme kerja melalui cara menghambat enzim asam pteroat sintetase (sulfonamid), dan menghambat enzim dihidrofolat reduktase (trimetoprim).[2]
Mekanisme Resistensi Antibiotik
Bakteri, yang selama ini diberikan terapi menggunakan antibiotika, mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk kebal terhadap efek obat. Beberapa mekanisme yang terjadi di antaranya adalah resistensi mutasional, horizontal gene transfer(HGT), modifikasi molekul antibiotik, penurunan penetrasi antibiotik dan pengeluaran senyawa antibiotik, atau melalui perubahan target terapi.[4]
Resistensi Mutasional
Resistensi antibiotik terjadi akibat modifikasi target antimikroba sehingga terjadi penurunan afinitas dari obat. Selain itu, terjadi juga karena penurunan ambilan (uptake) obat, aktivasi mekanisme efflux untuk mengeluarkan senyawa yang membahayakan kuman, serta perubahan umum pada jalur metabolisme kuman yang mempunyai fungsi penting, melalui modifikasi sistem dari jaringan yang mengatur metabolisme kuman tersebut.[4]
Horizontal Gene Transfer (HGT)
Sistem HGT mempunyai 3 sistem, yaitu transformasi, transduksi yang dimediasi faga, dan terakhir adalah konjugasi atau jenis kelamin bakteri. Ketiga sistem tersebut dapat meningkatkan keberhasilan suatu kuman untuk menimbulkan suatu resistensi antibiotik. [4,5]
Modifikasi Molekul Antibiotik
Modifikasi molekul antibiotik dapat melalui cara perubahan beberapa kimiawi dari antibiotik, yaitu asetilasi (aminoglikosida, kloramfenikol, streptogramins), fosforilasi (aminoglikosida, kloramfenikol), dan adenilasi (aminoglikosida, linkosamid). Selain itu, juga dapat dengan cara mendestruksi molekul antibiotik sebagai berikut:
- Resistensi Penisilin akibat enzim β-Laktamase
- ESBL (extended spectrum beta lactamase) akibat enzim TEM-3 (TEMoneira-3)
- Hidrolisis terhadap sefalosporin generasi 3 akibat enzim AmpC (Ampisilinase C)
- Resistensi terhadap sefalosporin generasi 3 akibat enzim OXA (isOXAzolyl penicillins)[4,5]
Penurunan Penetrasi Antibiotik dan Pengeluaran Senyawa Antibiotik
Pada peristiwa ini, bakteri membuat mekanisme untuk mencegah antibiotik mencapai target intrasel atau periplasma pada bakteri gram negatif. Kemudian, terjadilah perubahan permeabilitas membran luar dan diikuti oleh perubahan porins, yaitu saluran yang berisi air dan berfungsi untuk menyalurkan senyawa dari luar ke dalam membran sel.
Perubahan bagian porins yang dimaksudkan adalah perubahan karakteristik tipe porins, kadar porins, dan terjadinya disfungsi porins. Contoh mekanisme perubahan porins adalah mutasi gen OprD (outer membrane protein D) pada Pseudomonas aeruginosa sehingga uptake imipenem terganggu.[4]
Selain porins, ada bagian lain dari bakteri yang bertugas mengeluarkan senyawa bersifat racun dalam sel bakteri, bagian tersebut adalah pompa Efluks, terdapat 5 jenis pompa efluks di dalam tubuh bakteri, yaitu: Major facilitator superfamily (MFS), Small multidrug resistance family (SMR), Resistance-nodulation-cell-division family (RND), ATP-binding cassette (ABC) superfamily dan Multidrug and toxic compound extrusion (MATE) family. Fungsi masing-masing pompa efluks dalam mengeluarkan antibiotik dari dalam sel bakteri serta terdapat pada bakteri gram apa dan energi yang digunakan terdapat pada tabel 3.[4]
Tabel 3. Pompa Efluks Sel Bakteri [4]
Sumber: Ardi Putranto Ari Supomo, 2020
Perubahan Target Terapi
Pada perubahan target terapi terdapat beberapa proses yang terjadi. Pertama adalah perlindungan target terapi, misalnya mekanisme proteksi bakteri terhadap tetrasiklin. Sebagai contoh adalah penggunaan protein Tet(M) pada bakteri Streptococcus spp dimana Tet(M) berinteraksi dengan ribosom Streptococcus spp, dan mengeluarkan tetrasiklin dari tempat ikatannya. [4]
Kedua adalah modifikasi target terapi, yaitu melalui mutasi perubahan angka pada bagian koding gen pada target terapi, perubahan enzimatik pada tempat ikatan, dan penggantian/bypass target terapi original.
Fakta Medis Terkait Resistensi Antibiotika
Penyakit infeksi akibat bakteri yang resisten menyebabkan waktu penyembuhan yang memanjang, sehingga menyebabkan length of stay di rumah sakit atau fasilitas kesehatan bertambah. Selain itu, status pasien karier akibat resistensi antibiotik akan memudahkan penyebaran kuman resisten di masyarakat.[6,7]
Resistensi antibiotik yang terjadi di seluruh dunia sudah dimulai sejak lima dekade yang lalu. Diawali sekitar tahun 1962 dengan kasus methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) di sejumlah daerah di Eropa, Amerika, dan beberapa daerah di Asia-Pasifik.
Infeksi kuman MRSA dapat bersifat serius, dengan angka mortalitas di Amerika sebanyak 11.285 kematian per tahun. Sejak tahun 2005 hingga 2011, di Belanda dan Inggris mulai mengalami penurunan resistensi antibiotik sebanyak 31%, dengan penurunan terbanyak sekitar 54%.[8,9]
Namun, angka infeksi MRSA 10 tahun terakhir pada komunitas meningkat secara perlahan. Hal ini disebabkan pasien yang sudah resisten terhadap antibiotik methicillin tersebut akan menularkan kepada individu sehat di lingkungan luar rumah sakit, maupun kepada pasien di dalam rumah sakit.[8,9]
Data Studi Resistensi Antibiotik di Indonesia
Sementara, penelitian resistensi antibiotik di Indonesia beberapa tahun terakhir mulai banyak dilakukan. Penelitian di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar Makassar yang dilakukan tahun 2016, menggunakan sebanyak 23 sampel, menggunakan 5 jenis antibiotik. Hasil penelitian mendapatkan adanya bakteri gram negatif yang resisten terhadap antibiotik ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan oksitetrasiklin, pada semua ruang perawatan rumah sakit.[10]
Resistensi antibiotik golongan ampisilin ditemukan sebanyak 18 sampel (78%), golongan kloramfenikol 10 sampel (44%), golongan kanamisin 9 sampel (39%), golongan 8 sampel (35%), dan golongan oksitetrasiklin 7 sampel (30%). Hasil lain dari penelitian ini adalah dilaporkannya multi drug resistance (MDR) pada beberapa ruang rawat inap rumah sakit.[10]
Upaya Menanggulangi Masalah Resistensi Antibiotika
Ancaman resistensi antibiotik dapat dicegah dengan pembentukan tim terpadu, baik di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Berbagai upaya untuk menanggulangi masalah resistensi antibiotika telah banyak dilakukan. WHO telah memberikan himbauan tentang keperluan mengkaji berbagai faktor terkait dan strategi untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik.
Program combating antibiotic resistance dicanangkan WHO pada puncak hari kesehatan dunia tanggal 07 April 2011. Program tersebut mengatur optimalisasi penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics). [1,3,6,7]
Penanggulangan Resistensi Antibiotik di Indonesia
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia telah menetapkan kebijakan program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) di rumah sakit melalui Permenkes No. 8 Tahun 2015. Kemenkes juga mengeluarkan peraturan terkait penggunaan antibiotika di luar rumah sakit, yaitu Permenkes no. 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik.[1,6,7]
Untuk mewujudkan program PPRA, diperlukan implementasi program berupa penyusunan input, menjalankan proses, dan monitoring output. Input terdiri dari pembuatan kebijakan rumah sakit yang berisi regulasi tentang PPRA, penyusunan anggaran, pembentukan tim koordinator, sarana, dan prasarana penunjang, serta sosialisasi menyeluruh.
Proses tersebut terdiri dari pembuatan panduan dan standar prosedur operasional (SPO) penggunaan antibiotik di rumah sakit, disertai surveilans pola kuman dan pola sensitivitas, audit dan supervisi tenaga medis, serta kajian/diskusi untuk mengenai penyakit infeksi. Sedangkan output berupa monitoring dan evaluasi terhadap informasi dan indikator kinerja, diakhiri dengan pelaporan hasil terkait resistensi antibiotika.[1,6]
Kesimpulan
Mekanisme kerja antibiotik adalah dengan mengganggu pembentukan dinding sel, fungsi membran plasma, pembentukan asam amino, dan metabolisme folat dari bakteri. Pemberian antibiotik berfungsi untuk menurunkan jumlah bakteri yang menginfeksi tubuh pasien.
Penggunaan antibiotik secara tidak bijak dan rasional akan mengakibatkan terjadinya resistensi melalui berbagai mekanisme. Resistensi antibiotik menyebabkan pasien menjadi lama sembuh, kemudian dapat menyebabkan pasien karier yang dapat menyebabkan infeksi bakteri yang resisten pada pasien lainnya.
Penggunaan antibiotik secara tepat, rasional, dan bijak dapat mencegah resistensi antibiotik. Dukungan dari pemerintah dengan membuat Permenkes serta program combating antibiotic resistance dari WHO dapat meningkatkan program pencegahan resistensi antibiotik. Peran serta semua pihak baik dari sisi medis, sisi pasien, dan pemerintah dapat meningkatkan pencegahan resistensi antibiotik yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan masyarakat Indonesia.
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri