Fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan penyakit mata berbeda-beda tergantung kondisi kelainan yang diderita. Tidak dapat dipungkiri, penerbangan merupakan jenis transportasi yang banyak digunakan dewasa ini. Pesawat udara memiliki tekanan, kelembapan udara, temperatur, dan turbulensi yang berbeda dengan transportasi laut dan darat. Oleh karena itu, hampir semua maskapai penerbangan meminta surat kelayakan terbang untuk penumpang dengan kondisi kesehatan tertentu seperti kehamilan, gangguan kardiovaskular, atau bayi.
Pasien Pasca Pembedahan Vitreoretina
Pada pasien pasca pembedahan vitreoretina dapat ditemukan gas atau udara yang sengaja diinjeksikan intraokular sebagai tamponade untuk membantu penempelan retina, misalnya pada kasus retinal detachment. Tekanan atmosfer yang berkurang saat berada di ketinggian selama penerbangan dapat menyebabkan ekspansi gas intraokular.
Untuk mengatasi ekspansi gas intraokular, mata akan melakukan mekanisme kompensasi antara lain flattening koroid, ekspansi sklera, dan peningkatan outflow cairan aqueous. Kemampuan mekanisme kompensasi ini sangat terbatas, sehingga peningkatan tekanan bola mata akan terjadi dan menimbulkan glaukoma akut atau oklusi arteri sentral retina yang dapat menyebabkan kerusakan nervus optikus.[1,2]
Setiap pasien pasca pembedahan vitreoretina dengan gas intraokular wajib melaporkan kondisi tersebut sebelum penerbangan. Pasien dengan gas intraokular dianggap layak terbang setelah gas terserap seluruhnya. Beberapa asosiasi penerbangan memperbolehkan pasien terbang bila volume gas <30% volume vitreus.[1]
Gas tipe SF6 (sulfur hexafluorid) membutuhkan waktu >2 minggu untuk dapat terserap sepenuhnya. Volume gas SF6 dapat berkurang menjadi 30% dalam waktu ±5 hari pada sampel penelitian. [3] Gas tipe C3F8 (perfluoroprophane) membutuhkan waktu yang lebih panjang yakni >6 minggu untuk terserap seluruhnya.[1,4]
Pasien pasca pembedahan vitreoretina dengan pengisian silicone oil (SO) intraokular (tanpa gas), dapat melakukan penerbangan setelah >24 jam, karena volume SO tidak dipengaruhi oleh tekanan udara luar.[4]
Pasien Pasca Pembedahan Refraktif
Tidak ada larangan untuk terbang bagi pasien pasca pembedahan refraktif kornea maupun katarak. Sebaiknya penerbangan dilakukan >24 jam pasca pembedahan untuk mengevaluasi komplikasi yang berhubungan dengan pembedahan dalam 24 jam pertama. Udara kabin pesawat yang kering dapat menimbulkan rasa gatal dan tidak nyaman pada mata, sehingga memicu pasien mengusap mata dan dapat meningkatkan risiko kebocoran luka operasi. Penggunaan tetes mata artificial tears dapat mengurangi keluhan tersebut.[5]
Pasien pasca pembedahan refraktif kornea radial keratotomy dapat mengeluhkan penglihatan kabur saat berada di ketinggian tertentu. Kabin pesawat memiliki tekanan parsial oksigen (PaO2) lebih rendah dibandingkan PaO2 pada ketinggian permukaan laut. [4] Kornea yang sudah mengalami manipulasi menjadi lebih sensitif dengan kondisi lingkungan hipoksia tersebut. Diduga saat kondisi lingkungan hipoksia, kornea pasca pembedahan dapat mengalami pendataran (flattening) di bagian sentral yang menyebabkan perubahan refraksi menjadi lebih hipermetropia.[6]
Beberapa pasien yang menjalani prosedur laser in situ keratomileusis (LASIK) juga melaporkan instabilitas visus selama penerbangan. Gangguan penglihatan ini umumnya hanya bersifat sementara, berangsur-angsur membaik saat sudah berada di darat atau berkurang saat sudah beberapa waktu di ketinggian. Pada beberapa kasus, instabilitas visus bertahan selama beberapa minggu setelah berada di darat, sehingga ada anjuran untuk pasien pasca bedah refraktif kornea melakukan penerbangan setelah 6 bulan pasca operasi.[5,7]
Turbulensi udara selama penerbangan dapat menyebabkan mabuk perjalanan (motion sickness). Pasien dengan riwayat pembedahan refraktif kornea dan katarak yang mudah mengalami mabuk perjalanan diharapkan membawa obat profilaksis, sebab muntah dapat meningkatkan tekanan intraokular. Peningkatan tekanan intraokular mendadak akan meningkatkan risiko kebocoran luka operasi. Pasien disarankan memilih tempat duduk di dekat jendela dan di deretan kursi sekitar sayap pesawat karena area tersebut memiliki dampak pergerakan akibat turbulensi yang lebih sedikit.[7,8]
Pasien dengan Glaukoma
Pasien dengan glaukoma harus melakukan pemeriksaan oftalmologi lengkap sebelum penerbangan. Belum ada data yang menunjukkan bahwa pasien dengan glaukoma tidak dapat melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. [5] Pada kasus glaukoma yang berat disertai gangguan penglihatan (penurunan lapangan pandang dan atau ketajaman penglihatan yang berat), diperlukan pendamping dan surat keterangan layak terbang. Maskapai penerbangan tertentu meminta data lengkap meliputi tekanan intraokular, hasil pemeriksaan lapangan pandang, hasil sudut bilik mata depan, pemeriksaan diskus optikus, serta riwayat pembedahan mata yang pernah dilakukan yang dibuat oleh dokter spesialis mata.[9]
Kondisi pencahayaan kabin pesawat yang temaram menyebabkan dilatasi pupil dan pupil block yang akan memicu timbulnya glaukoma akut sudut tertutup. Pasien dengan faktor risiko glaukoma akut sudut tertutup harus diberikan informasi mengenai gejala glaukoma sebelum penerbangan dan pemberian resep tetes mata profilaksis seperti pilocarpine dianjurkan. Kegiatan seperti membaca, menonton film, dan tidur dapat menyebabkan miosis fisiologis yang memiliki efek protektif.[10]
Pasien dengan Dry Eye Syndrome
Tidak ada pembatasan terbang untuk pasien dengan dry eye syndrome. Namun, perlu diperhatikan bahwa udara kabin pesawat memiliki kelembapan relatif lebih rendah rendah (10-20%). Rendahnya kelembapan udara dapat memperberat gejala dry eye syndrome, seperti rasa mata kering, gatal, sensasi benda asing, dan juga iritasi mata. Pasien dianjurkan tetap menggunakan tetes mata artificial tears selama penerbangan untuk menjaga kelembapan permukaan mata, menggunakan kacamata selama penerbangan jauh dibandingkan lensa kontak, mengubah arah blower pendingin kabin tidak langsung ke mata, dan menjaga hidrasi.[1,4,8]
Pasien dengan Infeksi Mata
Beberapa maskapai penerbangan melarang pasien dengan infeksi mata akut seperti konjungtivitis akut hemoragik atau keratokonjungtivitis epidemik. Pasien-pasien dengan gangguan mata tersebut boleh terbang bila sudah dievaluasi oleh dokter dan dinyatakan sudah tidak dalam fase menular. Pasien dengan faringokonjungtival (infeksi adenovirus) dinyatakan layak terbang 2 hari setelah gejala utama menghilang.[4]
Pasien dengan Gangguan Tajam Penglihatan
Pasien dengan gangguan tajam penglihatan seperti low vision atau kebutaan dapat melakukan penerbangan. Ada maskapai penerbangan yang tidak mengharuskan pendamping pasien, tetapi beberapa maskapai memperbolehkan terbang jika pasien disertai dengan pendamping (nonmedis). Di luar negeri, beberapa maskapai memperbolehkan pasien dengan gangguan penglihatan terbang dengan pendampingan service dog.[1,11]
Setiap pasien dengan low vision atau kebutaan harus melaporkan kondisi medis ini sebelum pembelian tiket dan saat melakukan check-in. Pasien dapat dipersilahkan naik pesawat (boarding) terlebih dahulu dan meminta bantuan kursi roda dari petugas bandara. Pasien dengan gangguan penglihatan sebaiknya mendapatkan tempat duduk tidak jauh dari pintu keluar, namun tidak boleh di baris pintu keluar atau pintu emergensi.[1,4]
Fitness to Fly berbagai penyakit mata selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.[1,4,11]
Tabel 1. Fitness to Fly pada Pasien dengan Penyakit Mata
Diagnosis/ Tindakan | Batas Waktu setelah Diagnosis/Tindakan hingga Diperbolehkan Terbang | Keterangan |
Trauma tembus bola mata; hifema | ≥7 hari | Bila ada injeksi udara/gas ke dalam bola mata, maka harus sudah terjadi resorpsi |
Pembedahan intraokular (dengan gas intraokular) | ≥7 hari-42 hari | Udara/gas yang diinjeksi sudah terjadi resorpsi. Untuk gas SF6, membutuhkan waktu minimal 2 minggu; gas C2F6 dan C3F8 membutuhkan waktu minimal 6 minggu. Evaluasi dan surat keterangan layak terbang dibuat oleh dokter spesialis mata. |
Pembedahan katarak | ≥24 jam | - |
Pembedahan kornea menggunakan laser | ≥24 jam | - |
Glaukoma atau hipertensi okular | Tidak ada pembatasan | Pasien tetap perlu melaporkan kondisi medis, beserta surat keterangan layak terbang oleh dokter spesialis. Terapi tetap dilanjutkan selama penerbangan |
Penyakit infeksi menular mata, misalnya konjungtivitis (bakterial) | Setelah tidak ada produksi sekret dan ada perbaikan gejala dengan pemberian antibiotik topikal | Pasien harus melanjutkan terapi antibiotik topikal yang diberikan dan dokter membuat surat keterangan layak terbang |
Gangguan penglihatan (low vision atau kebutaan) | Tidak ada pembatasan |
Sumber: The International Air Transport Association (IATA). Medical Manual, 12th edition. 2020.
Kesimpulan
Setiap pasien dengan riwayat pembedahan mata, dengan penyakit mata kronis, atau infeksius sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sebelum melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang. Paparan udara kabin pesawat yang kering dan memiliki tekanan ruangan yang rendah dapat menimbulkan gangguan pada mata serta memperparah kondisi mata yang sudah ada.
Pasien dengan gas intraokular hanya diperbolehkan terbang setelah terjadi resorpsi gas yang membutuhkan waktu minimal 7 hari atau lebih. Pasien pasca pembedahan refraktif kornea dan kornea disarankan menunggu hingga 24 jam sebelum melakukan penerbangan. Tidak ada pembatasan terbang untuk pasien dengan penyakit mata kronis seperti glaukoma dan dry eye syndrome, namun peringatan diberikan bahwa ada kemungkinkan terjadi eksaserbasi gejala selama penerbangan. Pasien dengan penyakit infeksi menular mata harus dinyatakan oleh dokter tidak pada kondisi yang infeksius baru diperbolehkan untuk terbang.