Penggunaan kafein untuk terapi nyeri kepala setelah pungsi lumbal masih menimbulkan kontroversi. Beberapa studi melaporkan bahwa kafein efektif untuk mencegah maupun mengurangi nyeri kepala setelah pungsi lumbal, tetapi beberapa studi lain menyatakan bahawa reseptor adenosine yang fungsional yang merupakan tempat bekerjanya kafein belum terbukti berada di pembuluh darah otak.
Nyeri kepala merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah prosedur pungsi lumbal (32%). Nyeri ini menyebabkan tingginya morbiditas akibat perpanjangan waktu sakit yang dialami oleh pasien. Bila tidak ditangani, kondisi ini mungkin berkembang menjadi komplikasi yang lebih berat seperti hematoma subdural atau kejang.[1,2]
Sekilas tentang Nyeri Kepala Setelah Pungsi Lumbal
Menurut International Headache Society (IHS), nyeri kepala setelah pungsi lumbal didefinisikan sebagai nyeri kepala bilateral yang berlangsung hingga 7 hari setelah pungsi lumbal dan umumnya menghilang dalam kurun waktu 14 hari. Nyeri kepala dapat memburuk dalam 15 menit saat pasien berdiri dan berangsur membaik dalam 30 menit dengan perubahan posisi menjadi berbaring (recumbent).[1]
Nyeri kepala setelah pungsi lumbal paling sering dialami oleh kelompok usia 18–40 tahun. Wanita berusia muda dengan IMT (indeks massa tubuh) yang rendah dan wanita hamil dilaporkan memiliki risiko yang lebih tinggi. Sebaliknya, orang berusia tua memiliki insiden cenderung rendah, yang diduga disebabkan oleh duramater yang memiliki daya regang lebih rendah karena aterosklerosis atau perubahan mekanis terkait usia.[1,2]
Mekanisme terjadinya nyeri kepala setelah lumbal pungsi belum diketahui dengan pasti tetapi diduga terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal dari ruang epidural melalui robekan dura. Hilangnya cairan serebrospinal menurunkan tekanan intrakranial dan menyebabkan traksi pada struktur intrakranial yang sensitif terhadap nyeri. Rendahnya tekanan intrakranial juga menimbulkan mekanisme kompensasi berupa vasodilatasi serebrovaskular yang turut berperan dalam menimbulkan gejala nyeri kepala.[2]
Pilihan Penanganan Nyeri Kepala Setelah Pungsi Lumbal
Pilihan penanganan nyeri kepala setelah pungsi lumbal dibedakan menjadi dua, yakni terapi suportif dan terapi spesifik. Terapi suportif mencakup perubahan posisi, rehidrasi, dan pemberian analgesik dan antiemetik. Terapi suportif umumnya bisa mengendalikan gejala pada kasus yang ringan. Sekitar 85% penderita nyeri kepala setelah pungsi lumbal membaik dengan terapi suportif tanpa memerlukan terapi spesifik.[1]
Terapi spesifik diindikasikan pada nyeri kepala dengan onset lebih dari 72 jam untuk menghindari komplikasi katastrofik seperti subdural hematoma dan kejang. Beberapa terapi spesifik yang diketahui adalah blood patch epidural, salin epidural, kafein, dan pembedahan.[1]
Utilitas Kafein dalam Mengatasi Nyeri Kepala Setelah Pungsi Lumbal
Kafein, suatu derivat metilxantine, pertama kali dilaporkan sebagai terapi nyeri kepala setelah pungsi lumbal pada tahun 1949. Kafein merupakan stimulan sistem saraf pusat yang diduga bisa menyebabkan induksi vasokonstriksi serebral.[1,2]
Efek vasokonstriksi didapatkan dari blokade reseptor adenosine yang berperan dalam proses terjadinya nyeri kepala setelah pungsi lumbal. Selain itu, kafein juga berperan dalam menurunkan aliran darah serebral dan meningkatkan tekanan serebrospinal dengan menstimulasi pompa natrium-kalium.[1,2]
Beberapa studi menganjurkan pemberian kafein secara oral dengan dosis 300 mg atau secara intravena dengan dosis 500 mg untuk tata laksana nyeri kepala setelah pungsi lumbal.[3]
Selain untuk tujuan terapeutik, penggunaan kafein juga dinilai bermanfaat sebagai profilaksis nyeri kepala setelah pungsi lumbal. Studi oleh Ragab, et al., mengevaluasi penggunaan kafein intravena untuk mencegah nyeri kepala setelah pungsi lumbal dengan membandingkan VAS (Visual Analog Scale) pada dua grup pasien, yaitu grup kafein dan plasebo. Hasil menunjukkan bahwa insiden nyeri kepala pada grup plasebo lebih tinggi daripada grup yang mendapat kafein sebelumnya.[2]
Sayangnya, sediaan obat kafein belum ada di Indonesia. Kafein kebanyakan tersedia dalam bentuk kombinasi, misalnya dengan paracetamol atau ergotamine. Konsumsi minuman yang mengandung kafein mungkin dapat menjadi opsi.[3]
Beberapa contoh minuman yang mengandung kafein adalah kopi, teh, dan kola. Suatu literatur mencatat bahwa 200 ml kopi seduh mengandung 160 mg kafein. Kopi instan mengandung 120 mg kafein, sedangkan 1 shot espresso mengandung 100 mg kafein. Secangkir teh dilaporkan mengandung 40 mg kafein dan sekaleng kola mengandung 36 mg kafein.[3]
Pada praktiknya, penggunaan kafein sebagai modalitas terapi nyeri kepala setelah pungsi lumbal masih sangat jarang. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, salah satunya karena tidak ada bukti yang kuat tentang keberadaan reseptor adenosine yang fungsional pada pembuluh darah otak yang menjadi tempat bekerjanya kafein.[3]
Selain itu, tidak ada bukti bahwa vasokonstriksi terkait kafein memiliki efek nosiseptif. Walaupun kafein terbukti meningkatkan resistensi serebrovaskular yang menyebabkan penurunan aliran darah otak, efek dosis terapeutik kafein pada aliran darah regional atau resistensi vaskular sangat variatif.[3]
Ada dugaan yang menyatakan bahwa efek positif kafein sebagai analgesik sebenarnya terjadi karena kafein meningkatkan absorpsi analgesik dalam saluran pencernaan. Hal ini membuat kafein seolah-olah memiliki efek analgesik independen. Namun, meskipun mekanisme aksinya masih kontroversial, sekitar 117 uji klinis melaporkan perbaikan nyeri kepala setelah pungsi lumbal dengan pemberian kafein.[3,6]
Keamanan Kafein dalam Manajemen Nyeri Kepala Setelah Pungsi Lumbal
FDA menilai kafein sebagai substansi yang aman dan mudah digunakan. Sebagai analgesik, dosis kafein dibatasi sebesar 64–65 mg per tablet. Selain untuk nyeri kepala setelah pungsi lumbal, kafein sudah banyak digunakan sebagai terapi adjuvan pada nyeri kepala primer, seperti pada kasus migraine dan nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache. Kombinasi analgesik dengan kafein dilaporkan memberi efek yang lebih memuaskan daripada pemberian analgesik saja.[4]
Suatu studi menilai bahwa kafein dapat menstimulasi produksi asam lambung dan merelaksasi sfingter esofagus bawah, sehingga meningkatkan risiko ulkus gaster dan ulkus duodenal ataupun gastroesophageal reflux disease (GERD). Akan tetapi, meta analisis yang melibatkan 8.000 subjek tidak menemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi kafein dan terjadinya ulkus gastroduodenal, refluks esofagitis, dan penyakit refluks nonerosif.[4]
Kesimpulan
Nyeri kepala setelah pungsi lumbal didefinisikan sebagai nyeri kepala bilateral yang berlangsung hingga 7 hari setelah pungsi dan umumnya menghilang dalam waktu 14 hari. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian kafein 300 mg secara oral ataupun kafein 500 mg secara intravena bersifat efektif untuk mengurangi skala nyeri dan durasi nyeri kepala setelah pungsi lumbal. Bahkan, ada studi yang melaporkan bahwa kafein juga bermanfaat sebagai profilaksis nyeri kepala setelah pungsi lumbal.
Namun, pada praktik nyatanya, masih ada keraguan tentang penggunaan kafein untuk manajemen nyeri kepala setelah pungsi lumbal. Hal ini dikarenakan bukti yang kuat tentang keberadaan reseptor adenosine yang fungsional pada pembuluh darah otak yang menjadi tempat bekerjanya kafein belum ditemukan. Selain itu, tidak ada bukti bahwa vasokonstriksi terkait kafein memiliki efek nosiseptif.
Sediaan obat kafein juga belum ada di Indonesia. Kebanyakan sediaan kafein yang ada adalah sediaan kombinasi dengan paracetamol atau ergotamine. Akan tetapi, minuman berkafein seperti kopi dan teh mungkin dapat menjadi alternatif. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk mengonfirmasi manfaat dan dosis terapeutik kafein.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur