Pungsi lumbal dapat dilakukan menggunakan dua jenis jarum, yaitu jarum traumatik dan atraumatik. Pungsi lumbal merupakan prosedur invasif yang kerap digunakan dalam diagnosis dan terapi kasus neurologi, misalnya meningitis Salah satu komplikasi terbanyak dari intervensi ini adalah post-dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca pungsi lumbal. PDPH dilaporkan dialami 10-40% pasien yang menjalani pungsi lumbal, dan kejadiannya telah diketahui berkaitan dengan jenis jarum yang digunakan saat tindakan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis jarum pungsi lumbal, serta cara pemilihan jenis jarum.[1-3]
Pungsi Lumbal dan Komplikasinya
Pungsi lumbal merupakan prosedur yang cukup banyak dilakukan dalam bidang neurologi, misalnya untuk mendiagnosis meningitis dan perdarahan subarachnoid. Prosedur ini juga dapat digunakan sebagai akses untuk pemberian terapi secara intratekal ataupun akses pemberian kontras untuk prosedur pencitraan.[1]
Meskipun rutin dan cenderung aman dikerjakan, terdapat beberapa potensi risiko pasca prosedur pungsi lumbal, seperti nyeri kepala, nyeri punggung bawah, infeksi, perdarahan atau hematoma spinal, serta herniasi atau kista epidermoid intradural. Dari keseluruhan risiko tersebut, post-dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca pungsi lumbal merupakan yang paling banyak dikeluhkan.[1,2]
Komplikasi yang terjadi tentunya dapat menurunkan kualitas hidup pasien dengan menimbulkan rasa nyeri dalam jangka waktu panjang, membutuhkan kunjungan kembali ke rumah sakit, serta dapat meningkatkan potensi perlunya terapi invasif atau pemanjangan durasi rawat inap.[3-5]
Nyeri Kepala Pasca Pungsi Lumbal dan Pemilihan Jarum Pungsi
Berbagai studi menunjukkan bahwa timbulnya post-dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca pungsi lumbal dipengaruhi berbagai faktor. Faktor internal yang tidak dapat dimodifikasi mencakup usia lebih muda dan jenis kelamin wanita. Faktor eksternal yang dapat dimodifikasi mencakup ukuran jarum, jenis jarum, arah tusukan dari bevel, dan jumlah percobaan pungsi lumbal yang dilakukan.[2,6]
Jarum Atraumatik vs. Jarum Traumatik (Konvensional)
Jarum traumatik atau dikenal sebagai jenis konvensional merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di praktik hingga saat ini. Jenis ini memiliki ujung jarum tajam yang berfungsi memotong dura disertai lubang pada sisi paling distal yang memungkinkan injeksi terapi maupun pengumpulan cairan serebrospinal. Di sisi lain, jarum atraumatik memiliki ujung jarum yang lebih tumpul dan memiliki lubang pada sisi lebih proksimal.[2]
Secara teoritis, jarum atraumatik akan merenggangkan serat-serat dura selama prosedur berlangsung sehingga ketika jarum dicabut serat dura dapat kembali ke posisi semula secara perlahan. Di sisi lain, jarum traumatik yang memiliki cutting point akan merobek dan menyebabkan jejas pada pada jaringan dura. Hal ini didukung oleh hasil studi post mortem yang menunjukkan bahwa penggunaan jarum traumatik menyebabkan laserasi iregular yang berpotensi meningkatkan kebocoran cairan serebrospinal yang meningkatkan risiko PDPH.[1,2]
Bukti Ilmiah
Tinjauan Cochrane (2017) melakukan evaluasi untuk mengetahui risiko PDPH berdasarkan jenis dan diameter jarum pungsi lumbal. Tinjauan ini mengevaluasi hasil dari 66 studi yang melibatkan lebih dari 17.000 partisipan. Hasil analisis menunjukkan adanya bukti dengan kualitas sedang bahwa jarum atraumatik menurunkan risiko PDPH tanpa meningkatkan efek merugikan seperti parestesia atau nyeri punggung.[5]
Tinjauan klinis lain (2018) mengevaluasi hasil dari 110 uji klinis di 29 negara dengan total 31.412 partisipan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kejadian PDPH berkurang secara signifikan dari 11,0% pada kelompok jarum konvensional menjadi 4,2% pada kelompok jarum atraumatik. Studi ini juga menemukan bahwa jarum atraumatik berkaitan dengan penurunan signifikan kebutuhan analgesia, epidural blood patch, nyeri kepala berat , iritasi radiks, dan gangguan pendengaran.[2]
Tinjauan sistematik yang lebih baru (2021) mengevaluasi hasil dari 61 uji klinis dengan total 14.961 partisipan. Dari analisis diketahui bahwa penggunaan jarum atraumatik ukuran 26-G berkaitan dengan probabilitas paling rendah terkait munculnya PDPH dan kegagalan prosedural.[4]
Kesimpulan
Jenis jarum yang digunakan dalam pungsi lumbal dapat secara bermakna mempengaruhi luaran pasien. Secara umum terdapat 2 jenis jarum pungsi lumbal, yakni jarum traumatik dan jarum atraumatik. Berbagai tinjauan ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan jarum atraumatik secara signifikan menurunkan risiko nyeri kepala pasca pungsi lumbal (post-dural puncture headache/PDPH) yang merupakan komplikasi tersering dari tindakan ini. Oleh karenanya, panduan klinis untuk pungsi lumbal sebaiknya mencakup penggunaan jarum atraumatik.
Penulisan pertama oleh: dr. Hunied Kautsar