Berbagai studi terdahulu melaporkan bahwa metoprolol dan beta bloker lain aman dan bersifat protektif untuk pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Namun, sebuah penelitian terbaru menyangkal hal ini.[1,9]
PPOK merupakan penyebab utama kematian ke-4 di dunia dan diperkirakan akan naik ke peringkat ke-3 pada tahun 2020. Sebanyak tiga juta orang meninggal dunia setiap tahunnya akibat PPOK pada tahun 2012. Angka ini merupakan 6% dari jumlah seluruh kematian global. Prevalensi PPOK berbeda-beda di setiap negara, namun Burden of Obstructive Lung Disease (BOLD) mencatat prevalensi PPOK secara global adalah 11,7%. Sementara itu, di Indonesia, data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi PPOK sebesar 3,7%.[2,3]
Dasar Teori Terkait Keamanan Beta Bloker dalam Terapi PPOK
Beta bloker telah lama digunakan dalam terapi di bidang kardiovaskular. Selama bertahun-tahun, obat beta bloker digunakan sebagai antiiskemik, antiaritmia, dan antihipertensi. Beberapa tahun terakhir, beta bloker digunakan sebagai terapi standar pada gagal jantung kongestif, takiaritmia, pasien pasca infark miokard, angina, dan hipertensi.
Beberapa obat beta bloker dapat digunakan dalam tata laksana penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Beta bloker generasi kedua bersifat kardioselektif, seperti asebutolol, atenolol, bisoprolol, dan metoprolol. Kelompok ini memiliki efek bronkonstriksi yang lebih kecil dibandingkan generasi pertama. Metoprolol bahkan dilaporkan memiliki efek bronkodilator.[4]
Beta bloker generasi pertama menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas yang mengancam nyawa, sehingga dikontraindikasikan pada pasien asthma atau PPOK bronkospastik. Kontraindikasi dapat menjadi relatif pada pasien dengan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan risikonya. Di lain pihak, beta bloker kardioselektif mempunyai afinitas terhadap reseptor beta-1 yang mempunyai efek samping minimal terhadap paru. Beta bloker kardioselektif tidak memberikan efek jangka pendek yang signifikan terhadap fungsi paru dan juga tidak menghambat bronkodilatasi.[2,5-7]
Studi yang Mendukung Keamanan dan Manfaat Beta Bloker dalam Terapi PPOK
Kebanyakan morbiditas, mortalitas, dan peningkatan biaya kesehatan pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) disebabkan oleh eksaserbasi akut, terutama yang menyebabkan rawat inap. Eksaserbasi pada PPOK dibuat lebih parah atau dapat dipicu oleh penyakit kardiovaskular. Pasien PPOK memiliki risiko 5 kali lebih tinggi mengalami penyakit kardiovaskular.
Isu yang fundamental yang menghalangi penggunaan luas beta bloker pada PPOK adalah adanya kekhawatiran terkait efek beta-2 agonis yang berhubungan dengan konstriksi otot saluran napas. Namun, berbagai studi observasional menunjukkan bahwa beta bloker menurunkan risiko eksaserbasi dan mortalitas pada PPOK, baik pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular maupun yang tidak.[1]
Studi Organized Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients with Heart Failure (OPTIMIZE-HF) yang dipublikasikan pada tahun 2016, melakukan analisis pada lebih dari 2500 pasien. Studi ini melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dalam mortalitas dan perawatan berulang pada pemberian beta bloker, baik di kelompok dengan PPOK maupun tidak.[5]
Studi oleh Rutten et al. menunjukkan penurunan mortalitas 32% dan eksasebasi 29% pada pasien PPOK yang dikuti selama 7,2 tahun. Penelitian kohort di Swedia terhadap 4858 pasien PPOK setelah kejadian infark miokard yang dipulangkan dengan obat beta bloker, menunjukkan penurunan mortalitas sebanyak 13%. Dan sebuah laporan retrospektif dari 256 pasien PPOK dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung, menunjukkan penurunan kemungkinan untuk masuk instalasi gawat darurat.[5]
Selain itu, studi oleh Bhatt et al. menemukan penurunan eksaserbasi sebanyak 27% dan pengurangan pemakaian oksigen di rumah sebanyak 67%. [8] Sebuah meta analisis terhadap 15 studi retrospektif dari 2.196 pasien dengan PPOK juga menemukan hasil serupa, yaitu penurunan secara keseluruhan mortalitas sebesar 28% dan eksaserbasi sebesar 38%.[6]
Studi Terbaru Menyangkal Manfaat Metoprolol pada PPOK
Walaupun banyak studi terdahulu mendukung manfaat dan keamanan penggunaan beta bloker pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sebuah uji klinis acak yang dipublikasikan pada Oktober 2019 melaporkan hasil berbeda. Studi ini melakukan randomisasi pada 532 pasien. Hasil studi menunjukkan bahwa metoprolol berkaitan dengan peningkatan risiko eksaserbasi yang menyebabkan rawat inap. Kejadian mortalitas selama masa studi juga ditemukan lebih banyak pada pasien yang mendapat metoprolol (11 kematian) dibandingkan plasebo (5 kematian).
Walaupun demikian, studi ini memiliki beberapa kekurangan. Populasi pasien pada penelitian ini adalah pasien PPOK derajat sedang-berat yang memiliki prevalensi rawat inap dan penggunaan oksigen suplemental yang tinggi, sehingga tidak bisa diketahui apakah hasil studi dapat diterapkan pada pasien PPOK lain. Selain itu, studi ini juga dihentikan di tengah jalan, sehingga kekuatan bukti menurun dan berbagai aspek tidak bisa diukur (misalnya faktor predisposisi timbulnya efek samping dan analisis subgrup).[1,9]
Kesimpulan
Berbagai studi terdahulu menunjukkan bahwa beta bloker, termasuk metoprolol, mampu menurunkan risiko eksaserbasi dan mortalitas pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Namun, sebuah uji klinis acak terbaru menunjukkan hasil berbeda. Studi ini mengungkap bahwa penggunaan metoprolol pada populasi pasien PPOK derajat sedang-berat malah dapat meningkatkan risiko eksaserbasi dan ditemukan kejadian kematian yang lebih tinggi pula.