Pedoman Penanganan PPOK 2025 – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr. Nurul Falah

Pedoman penanganan PPOK atau penyakit paru obstruktif kronis dipublikasikan oleh GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) pada tahun 2025. Pedoman ini merupakan pembaruan dari pedoman klinis GOLD yang diterbitkan pada tahun sebelumnya. Salah satu pembaruan utama dalam pedoman ini adalah adanya bagian khusus mengenai risiko kardiovaskular pada pasien PPOK.

Pedoman penanganan PPOK oleh GOLD ini juga mencantumkan beberapa rekomendasi penatalaksanaan baru. Salah satunya adalah untuk mempertimbangkan penggunaan ensifentrine pada pasien PPOK yang sudah menggunakan long-acting β2 agonists (LABA) plus long-acting muscarinic antagonists (LAMA) tetapi masih mengalami gejala substansial.[1]

Pedoman Penanganan PPOK 2025

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Penyakit Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Tipe Penatalaksanaan
Yang Merumuskan

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

Tahun 2025
Negara Asal Global
Dokter Sasaran Spesialis Paru, Dokter Umum, dan Dokter Jaga IGD

Penentuan Tingkat Bukti

Penentuan tingkat bukti dilakukan melalui penyaringan literatur dari PubMed dengan menggunakan kata kunci yang ditentukan oleh anggota komite, yakni: COPD atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (All Fields) dan Clinical Trials or Meta-analysis (All Fields), atau Articles in the top 20 medical or respiratory journals (available on request) atau The Cochrane Database of Systematic Reviews.

Selanjutnya dilakukan evaluasi dan pengambilan keputusan berbasis konsensus. Jika keputusan konsensus tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui voting oleh seluruh anggota komite.[1]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Pedoman GOLD tahun 2025 membahas mengenai diagnosis dan penanganan PPOK dengan berbagai pembaruan dari pedoman sebelumnya di tahun 2023. Pedoman ini masih menjadikan spirometri sebagai acuan diagnosis, serta menambahkan pembahasan mengenai risiko kardiovaskular pada pasien PPOK. Pedoman ini juga membahas tentang penggunaan ensifentrine dan dupilumab dalam penatalaksanaan PPOK.[1]

Pembaruan Rekomendasi Terkait Diagnosis

  • Kriteria diagnostik utama dari PPOK tetap mengacu pada perbandingan volume ekspirasi paksa setelah penggunaan bronkodilator dalam 1 detik / kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) ≤ 0,7 yang diukur dengan menggunakan spirometri, khususnya pada individu dengan gejala pernapasan kronis, kelainan struktural pada saluran napas, atau memiliki faktor risiko PPOK.
  • Pada pasien dengan kelainan paru struktural atau mengalami abnormalitas fisiologis (FEV1 rendah, gas trapping, hiperinflasi, kapasitas paru yang menurun, atau penurunan FEV1 yang cepat) maka dapat dikategorikan sebagai pra-PPOK (Pre-COPD).
  • Istilah Preserved Ratio Impaired Spirometry (PRISm) diciptakan untuk mengidentifikasi rasio yang normal (FEV1/FVC > 0,7) namun memiliki hasil spirometri abnormal.
  • Jika spirometri pra-bronkodilator tidak menunjukkan obstruksi, maka melakukan spirometri pasca-bronkodilator tidak diperlukan kecuali ada kecurigaan klinis yang sangat tinggi terhadap PPOK.
  • Pasien PPOK, termasuk kasus PPOK stabil, mengalami peningkatan risiko kardiovaskular seperti hipertensi, aritmia, dan penyakit jantung koroner. Oleh sebab itu, pemantauan terkait komorbiditas kardiovaskular perlu dilakukan berkesinambungan dengan perawatan PPOK.[1]

Pembaruan Rekomendasi Terkait Penatalaksanaan

  • Pasien dengan PPOK dianjurkan untuk mendapatkan semua vaksinasi yang direkomendasikan dan relevan dengan pedoman lokal di negaranya, termasuk vaksin influenza dan vaksin pneumokokus.
  • Semua pasien PPOK non-eksaserbasi yang datang pertama kali dengan sesak napas dapat diberikan monoterapi berupa 1 jenis obat bronkodilator dari golongan LABA atau LAMA. Jika keluhan belum mereda dan memiliki eosinofil < 300 sel/μl, bisa menggunakan dual therapy kombinasi LABA+LAMA.
  • Ensifentrine dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah menggunakan LABA+LAMA tetapi masih mengalami gejala bermakna.

Pada pasien eksaserbasi akut, rekomendasi dari GOLD adalah:

  • Pasien PPOK eksaserbasi akut yang keluhannya tidak mereda dengan monoterapi bronkodilator dan memiliki eosinofil ≥ 300 sel/μl, dapat berganti menjadi triple therapy berupa LABA+LAMA+ inhaled corticosteroid (ICS).
  • Pasien PPOK dengan eksaserbasi akut yang keluhannya tidak mereda dengan monoterapi bronkodilator dan memiliki eosinofil < 300 sel/μl dapat dilanjutkan dengan kombinasi LABA+LAMA.
  • Bila sesak napas belum reda dan pasien memiliki eosinofil < 100 sel/μl, dapat dipertimbangkan antibiotik golongan makrolida, seperti azithromycin (bila pasien bukan perokok). Jika FEV1 < 50%, memiliki riwayat merokok, memiliki riwayat bronkitis kronik, maka dapat ditambahkan penggunaan roflumilast.
  • Bila kombinasi LABA+LAMA masih belum berhasil meredakan sesak napas dan pasien diketahui memiliki eosinofil > 100 sel/μl, dapat diubah menjadi kombinasi LABA+LAMA+ICS.

Bila kombinasi LABA+LAMA+ICS tersebut masih belum berhasil meredakan eksaserbasi atau pasien diketahui memiliki eosinofil < 100 sel/μl, dapat dipertimbangkan beberapa hal berikut:

  • Pada pasien dengan eosinofil ≥ 300 sel/μl dan mengalami gejala bronkitis, dapat ditambahkan dupilumab.
  • Pada pasien yang tidak merokok, dapat ditambahkan azithromycin
  • Jika FEV1 < 50%, memiliki riwayat merokok, memiliki riwayat bronkitis kronik maka dapat ditambahkan penggunaan roflumilast.

Anjuran terkait program rehabilitasi dan tata laksana mandiri adalah:

  • Program rehabilitasi paru dianjurkan 2 kali dalam seminggu, selama 6 minggu, baik secara tatap muka secara langsung atau melalui telemedicine.
  • Adapun edukasi yang harus diberikan adalah mengenali gejala gawat darurat dan memahami waktu yang tepat untuk mencari pertolongan. Pasien juga diberikan informasi terkait dampak serius dari asap rokok agar dapat menghindari paparan asap rokok, baik akibat perokok aktif maupun pasif.

Anjuran terkait terapi oksigen adalah:

  • Terapi suplementasi oksigen berupa long term oxygen therapy (LTOT) yakni selama > 15 jam per hari dianjurkan pada pasien PPOK dengan PaO2 resting  ≤ 55mmHg atau < 60 mmHg yang disertai cor pulmonale atau polisitemia

  • Pada kondisi berat dimana pasien mengalami peningkatan derajat sesak napas pada eksaserbasi akut, target saturasi oksigen saat pemberian terapi suplemental oksigen adalah ≥ 90%. Evaluasi dalam 60-90 hari untuk memastikan apakah terapi oksigen masih dibutuhkan.[1]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), memiliki persamaan dengan pedoman GOLD 2025, yakni penggunaan terapi bronkodilator bertahap. Terapi dimulai dengan monoterapi LABA atau LAMA, serta dapat ditambahkan menjadi kombinasi LABA+LAMA, atau LABA+LAMA+ICS sesuai dengan respon klinis pasien.[2]

Kesimpulan

Pedoman penanganan PPOK atau penyakit paru obstruktif kronis oleh GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2025 merupakan pembaruan dari pedoman sebelumnya. Beberapa pembaruan rekomendasi yang perlu diperhatikan adalah:

  • Kriteria spirometri untuk diagnosis PPOK tetap menggunakan rasio FEV1/FVC pasca-bronkodilator ≤ 0,7.
  • Pasien PPOK mengalami peningkatan risiko kardiovaskular, sehingga penilaian dan pengelolaan penyakit kardiovaskular, termasuk hipertensi, penyakit arteri koroner, dan aritmia penting dilakukan.
  • Terapi dilakukan bertahap, dimulai dengan monoterapi LABA atau LAMA, kemudian dapat ditingkatkan menjadi dual therapy LABA+LAMA.
  • Pemberian ensifentrine dipertimbangkan pada pasien yang sudah menggunakan LABA+LAMA tetapi masih mengalami gejala sesak bermakna.
  • Penggunaan dupilumab dapat dipertimbangkan pada pasien dengan eosinofil ≥300 sel/µL dan bronkitis kronis yang masih mengalami eksaserbasi setelah terapi LABA+LAMA+ICS.

Referensi