Alo Dr. Pukovisa P Sp.S(K), Selamat siang dokter, ijin bertanya dok, jika kami bekerja di klinik kecantikan, untuk mendapatkan trust pasien, diperlukan iklan...
Klinik Kecantikan - Etika Kedokteran Ask The Expert - Diskusi Dokter
general_alomedikaDiskusi Dokter
- Kembali ke komunitas
Klinik Kecantikan - Etika Kedokteran Ask The Expert
Alo Dr. Pukovisa P Sp.S(K),
Selamat siang dokter, ijin bertanya dok, jika kami bekerja di klinik kecantikan, untuk mendapatkan trust pasien, diperlukan iklan yang baik dari tindakan yang dilakukan sampai dengan dokter? Bagaimana pendapat dokter untuk hal tersebut?
Terima kasih dokter
Setahu saya SKDI itu baku standar nasional untuk kompetensi tindakan dan terapi yang boleh dilakukan atau diberikan oleh dokter umum.
Jika didalam SKDI tidak ada tulisan boleh menangani tindakan dan kasus estetik.
Artinya ya tidak boleh menangani kasus.
Kursus, seminar, dll tidak bisa menggantikan sekolah formal.
Buktinya kasus komplikasi sudah banyak sekali ya.
Apakah kita mau tambah lagi korban nya?
Selalu mencari cara, alasan atau pembenaran untuk bisa praktek diluar kompetensi yang diberikan.
Tentunya tidak perlu lagi ada aturan lain.
Sudah pasti nantinya akan dilanggar juga kan?
Tidak ada yang rancu. Aturan cuma satu
Tinggal dokternya mau ikut aturan atau membenarkan diri sendiri dengan alasan merasa rancu.
Kompetensi dokter umum itu sudah banyak
Tidak harus jadi dokter estetik kan ya?
Jika memang dokter umum, mohon diperhatikan baik2 list kompetensi dokter umum itu apa saja.
Jika tidak ada kompetensinya, tidak punya ijazahnya, sebaiknya tidak memberikan terapi kepada pasien, baik itu berupa obat ataupun tindakan.
Supaya kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Misalnya: kerusakan kulit pasien dan komplikasi akibat obat yang diberikan/ tindakan yang dilakukan.
Mgkn ijin untuk meluruskan pernyataan sebelumnya Dok 🙂
Kalau saya pribadi ditanya, apakah setuju seorang dokter umum membuka klinik kecantikan atau pelayanan jasa estetik? Jawaban saya, tidak.
Kalau ditanya lg, memilih melakukan perawatan terkait estetik di dokter umum kecantikan atau dokter kulit?
Jawaban saya, pasti ke dokter kulit.
Karena saya pribadi cukup tau batasan dari keilmuan, hingga SKDI dokter umum yg memang dlm hal estetika, sama sekali bukan kompetensi nya. Bahkan memang tdk ada mata kuliah estetik atau kecantikan dlm kurikulum dokter umum.
Namun, ketika sejawat dokter umum membuka klinik kecantikan, dan dia bisa mendapatkan ijin tanpa adanya batasan tindakan, apakah saya akan menyalahkan sejawat dokter umum tsb?
Jawabannya tentu tidak, karena mereka berpraktek estetik legal dan sdh berijin.
Terlepas dari apakah dia nantinya, berpraktek sesuai atau tdk dgn SKDI sbg dokter umum.
Sehingga mksdnya, klo memang estetik bukan dlm ranahnya dokter umum sedari awal, seharusnya tdk semudah itu seorang dokter umum membuka praktek klinik kecantikan.
Misalnya, diberlakukan peraturan dari Persatuan Dokter Kulit Indonesia, seperti yg disebutkan, klo mau buka klinik kecantikan, supervisi nya harus seorang dokter kulit, wlwpun yg melakukan tindakan merupakan dokter umum (dlm pengawasan dokter kulit).
Wlwpun dlm hal ini, bukan dlm kewenangan saya jg membuat aturan tsb. 🙇♀️
Sehingga harapan saya pribadi ke depannya, tdk semakin banyak praktek estetik yg hanya dipegang oleh dokter umum yg basic nya hanya dari seminar dan pelatihan saja.
Karena jujur, saya pun risih sbg seorang dokter umum, meliat sejawat dokter umum yg sepertinya sdh sangat menjaring menjadi dokter kecantikan saat ini. Pdhl itu bukan sama sekali kompetensi mereka.
Itu saja pendapat yg ingin saya sampaikan Dok, mohon maaf skli lg klo pendapat saya kurang berkenan. 🙇♀️
Mhn maaf bila ada kekurangan.
Yang ada itu perbedaan jenjang pendidikan ya.
Yang sudah pasti akan berimbas ke perbedaan tingkat pengetahuan, keterampilan, ijazah, standar kompetensi, dan wewenang medis yang diberikan untuk setiap profesi.
Itu kelompok seminat saja.
Bidang spesialisasinya juga banyak.
Sampe ada bedah plastik juga.
Seperti nya juga tidak berhak mengatur soal kompetensi kan ya Dok?
Sebaiknya dokter lebih banyak berinvestasi atau perlu mengalokasikan lebih banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari hal tersebut ya.
Misalnya: Melalui sekolah spesialisasi kulit dan kelamin.
Supaya ilmu dan keterampilannya betul2 memadai untuk mengobati pasiennya.
Dan tidak berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada para pasien nya.
Jika hanya sekedar kursus, webinar dan seminar. Itu sifat nya hanya pengetahuan umum. Tidak cukup untuk disebut sebagai peningkatan kompetensi. Apalagi sampai dibawa praktek.
Misal kami sebagai dokter spesialis itu ikut seminar, webinar, kursus atau bahkan sampai ikut program fellowship sekalipun . Tentunya hal ini tidak serta merta membuat kami berhak mencantumkan gelar spesialis konsultan atau buka praktek dengan label spesialis ahli/ konsultan kan ya?
Menurut saya, semua itu sudah ada jalurnya, yang diatur untuk keselamatan dokter dan pasien nya.
Kabar baiknya: kita tinggal ikuti jalur itu saja.
Jangan mencari cara untuk keluar jalur
Karena akibatnya bisa muncul banyak korban ya.
Atau dr. Novia mau buat sendiri standar kompetensi nya, sesuai apa yang diinginkan?
Itu kan standar SKDI dibuat dengan sangat hati-hati oleh para ahlinya ya.
Mari kita hargai dan patuhi saja aturan yang sudah ada. Tidak usah ribut kepingin bikin aturan baru, hanya karena kepingin praktik estetik.
Kepingin praktik estetik itu boleh.
Ayo sekolah spesialisasi DV. Nanti kita ajari cara praktik estetik yang betul.
Supaya pasien nya tidak babak belur ya.
Jangan setelah menerima kasus yang bukan kompetensi nya, berani memberikan terapi, melakukan tindakan,
Tapi jika ada efek samping yang parah, tidak bisa mengatasi lalu baru kasus komplikasinya nya lari ke dokter spesialis.
Bukan begitu cara praktik yang etis.
Itu baru namanya pelanggaran etika ya Dok.
Tapi itu jatuhnya sudah pelanggaran hukum.
Itu sebabnya para dokter wajib dan harus baca baik-baik, kalo perlu ya hapal list kompetensi di SKDI nya.
Jika sudah sesuai SKDI sih nggak papa lho.
Yang repot itu kan dokter umum ngobatin Melasma atau Acne sedang sampai berat atau kasus lain yang memang tidak ada di SKDI nya.
Itu bahaya.
Dan rawan komplikasi ya.
Kami berbagi ilmu agar para teman kami bisa mengenali gejala penyakit. Dan menerangkan kemungkinan terapi nya. Lalu dirujuk jika tidak ada kompetensinya di SKDI. Jadi pasien nya tidak menuduh dokter umum tidak tahu apa-apa.
Misalnya dokter umum tahu bahwa psoriasis bisa diobati dengan metotrexat atau infliximab kan bukan berarti boleh meresepkan metotrexat atau infliximab? Iya kan?
Kenapa coba? Karena jika terjadi komplikasi, dokter umum nya nggak bisa mengatasi.
Gitu lho.
Mgkn tntg dokter umum dan klinik kecantikan tdk hanya perlu berdasar SKDI saja ya. Di mana pd kenyataannya sendiri, ketika suatu klinik dibuka, maka diperlukan perijinan praktek dll. Nah, di mana saat ini perijinan tsb yg bisa didapatkan oleh dokter umum sehingga bisa berpraktek.
Sehingga klo memang dokter umum tdk boleh buka klinik kecantikan berdasarkan SKDI, tp kenapa perijinan tsb bisa didapatkan?
Dan pun, tdk termasuk dlm pelanggaran etika ketika dokter umum membuka atau melakukan tindakan estetik.
Mgkn di sini titik dari rancunya Dok, tentang batasan apa saja yg bisa dilakukan oleh dokter umum terkait tindakan dlm bidang estetik. 🙇♀️
Sehingga mgkn peraturan tentang praktek klinik kecantikan sendiri, perlu diperjelas yg mana boleh dan tdk boleh, selain berdasarkan SKDI.
Agar tdk ada jg kesenjangan antar sejawat dokter umum klinik kecantikan dgn dokter Sp. DV sendiri. 🙇♀️
Namun kompetensi semua dokter dalam hal memberikan terapi dan melakukan tindakan medis kepada pasien, sudah diatur dalam standar kompetensi masing-masing.
Untuk dokter umum pedoman baku dan peraturan nya cuma satu. Yaitu SKDI.
Tidak masalah berpraktik estetik namun kasus yang ditangani dan tindakan yang dilakukan tidak boleh keluar dari SKDI (sesuai kompetensi dokter umum).
Saran saya: Jika sampai ada klinik/praktik estetik yang tidak kepalai atau disupervisi oleh Sp.KK/Sp.DV didalamnya,
Harus betul2 memilih kasus yang sesuai SKDI.
Tindakan medis yang dilakukan juga harus sesuai dengan SKDI. Hati2 jgn melenceng dari SKDI karena jika sampai ada komplikasi atau efek samping dari terapi atau tindakan medis yang diberikan
Lalu sampai ada tuntutan atau gugatan hukum dari pasien sebagai korban,
Maka yang akan dijadikan sebagai patokan betul atau salahnya terapi atau tindakan itu dikerjakan oleh dokter umum adalah standar kompetensi dokter umum (SKDI)