Seiring dengan keluarnya guideline baru dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2019, penanganan asthma-chronic obstructive lung disease (COPD) overlap (ACO) perlu diperhatikan. Diagnosis banding asma pada dewasa berbeda pada anak, di mana pada dewasa, diagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dijadikan sebagai salah satu diagnosis banding asma.
Penyingkiran diagnosis banding asma dan PPOK merupakan tantangan tersendiri pada beberapa jenis pasien, seperti perokok dan pasien usia lanjut. Pada beberapa pasien, terutama pasien dengan usia lanjut, tanda dan gejala asma dan PPOK ditemukan secara bersamaan. Pada pasien yang memiliki tanda dan gejala asma dan PPOK, keterbatasan saluran nafas lebih persisten meskipun dengan terapi bronkodilatasi yang adekuat.
Sekilas Mengenai Asthma-COPD Overlap
Untuk memahami asthma-COPD overlap (ACO), definisi masing-masing penyakit perlu diketahui. Menurut GINA 2019, asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran nafas, dengan riwayat gejala pernafasan seperti mengi, sesak nafas, rasa berat di dada, dan batuk yang berbeda berdasarkan waktu dan intensitas, bersamaan dengan adanya tanda keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2019, PPOK (COPD) merupakan penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati dengan karakteristik berupa gejala pernafasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh gangguan saluran nafas dan/atau alveolus akibat paparan partikel atau gas berbahaya. GINA 2019 mendeskripsikan ACO sebagai penyakit dengan karakteristik keterbatasan aliran udara persisten dengan beberapa tanda terkait asma dan PPOK.[1-3]
Adanya gambaran pasien dengan asma dan PPOK menyebabkan GINA dan GOLD mengeluarkan pedoman diagnosis asthma-COPD overlap syndrome (ACOS) pada tahun 2014. Guideline ini memberikan gambaran penyingkiran diagnosis asma, PPOK dan ACOS. Istilah ACOS kini tidak lagi digunakan dalam menggambarkan keadaan pasien dengan tanda dan gejala asma dan PPOK. GINA 2019 merekomendasikan diagnosis ACOS menjadi asthma-COPD overlap (ACO), karena istilah ACOS sering dianggap sebagai suatu penyakit tunggal.[1,3,4]
Penegakan Diagnosis Asthma-COPD Overlap
Manajemen asthma-COPD overlap (ACO) dilakukan dalam berbagai tahap, seperti penegakan diagnosis, spirometri, hingga tatalaksana. Tahap pertama dalam manajemen ACO adalah penentuan adanya penyakit saluran nafas kronis. Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, antara lain:
Anamnesis
Pada anamnesis perlu dipertanyakan tanda dan gejala yang berkaitan dengan ACO, seperti:
- Riwayat batuk berulang atau kronik, berdahak, dispnea, mengi, atau infeksi saluran nafas berulang
- Adanya riwayat tegak diagnosis asma atau PPOK
- Riwayat penggunaan obat-obatan inhalasi
- Riwayat merokok
- Paparan terhadap hazard lingkungan, seperti paparan polusi udara pada pekerjaan maupun domestik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat ditemukan pada pasien dengan ACO, adalah sebagai berikut:
- Dapat normal
- Adanya hiperventilasi atau tanda penyakit paru kronik dan insufisiensi pernafasan lain
- Kelainan pada auskultasi (ronkhi dan/atau wheezing)
Radiologi
Temuan radiologi yang didapatkan pada pasieng dengan ACO adalah sebagai berikut:
- Dapat normal
- Terdapat kelainan pada pencitraan dengan rontgen atau CT, termasuk hiperinflasi, penebalan dinding saluran nafas, air trapping, hiperlusen, bula, atau gambaran enfisema lain[1,3,5]
Setelah tahap pertama dilakukan, tahap kedua adalah menentukan diagnosis pasien berupa asma, PPOK, dan ACO. Tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan tanda dan gejala yang membantu diagnosis asma, PPOK, dan ACO, membandingkan tanda dan gejala tersebut, dan menentukan apakah arah diagnosis pasien lebih ke asma, PPOK, atau ACO. Tahap kedua dapat dilakukan dengan checklist yang tersedia pada GINA 2019. Kedua tahap awal ini tidak berbeda dengan guideline diagnosis ACOS oleh GINA dan GOLD pada tahun 2014.[1,5]
Tahap ketiga dalam penegakan diagnosis adalah pemeriksaan spirometri. Pada ACO, dapat ditemukan variabel spirometri yang khas pada asma dan PPOK, antara lain:
- FEV1/FVC post bronkodilator < 0,7, FEV1 post bronkodilator ≥ 80%
- FEV1 post bronkodilator < 80% (indikator prognosis)
- peningkatan FEV1 post bronkodilator lebih dari 12% dan 400ml dari batas bawah
GINA 2019 merekomendasikan pengukuran spirometri pada satu kali kunjungan pasien tidak dapat dijadikan dasar penegakan diagnosis. Variabel spirometri ini berbeda dengan guideline diagnosis ACOS 2014, di mana nilai FEV1 tidak berasal dari nilai spirometri post bronkodilator, namun variabel ini tidak berbeda dengan guideline GINA 2018.[1,4,5]
Pendekatan Terapi Asthma-COPD Overlap
Memulai terapi merupakan tahap keempat dalam manajemen ACO. Manajemen ACO dibagi menjadi 3 kategori. Manajemen ACO mengarah asma maupun ACO mengarah ke PPOK.
Manajemen ACO Mengarah Asma
Bila penegakan diagnosis dari tahap sebelumnya cenderung mengarahkan diagnosis ke arah asma sebagai diagnosis tunggal, gunakan guideline GINA 2019 dalam tatalaksana asma. Berdasarkan GINA 2019, manajemen asma terbagi menjadi 5 langkah dalam penentuan controller dan reliever berdasarkan gejala, antara lain:
- Langkah pertama merupakan pemberian kombinasi Inhaled Corticosteroid Steroid (ICS)-formoterol dosis rendah sebagai reliever atau ICS dosis rendah setiap pemberian SABA sebagai reliever pada pasien dengan gejala kurang dari dua kali per bulan dan tidak memiliki risiko eksaserbasi
- Langkah kedua merupakan pemberian ICS dosis rendah sebagai controller dan Short-acting beta agonist (SABA) sebagai reliever atau kombinasi ICS-formoterol dosis rendah sebagai reliever
- Langkah ketiga merupakan pemberian kombinasi ICS- Long-acting beta agonist (LABA) dosis rendah sebagai controller dan SABA sebagai reliever atau kombinasi ICS-formoterol dosis rendah sebagai controller dan reliever.
- Langkah keempat merupakan pemberian kombinasi ICS-formoterol dosis rendah sebagai controller dan reliever atau kombinasi ICS-LABA dosis sedang sebagai controller dan SABA sebagai reliever
- Langkah kelima merupakan perujukan untuk pemeriksaan fenotip dengan atau tanpa pemberian terapi tambahan seperti anti-IgE[1]
Manajemen ACO Mengarah PPOK
Bila penegakan diagnosis dari tahap sebelumnya cenderung mengarahkan diagnosis ke arah PPOK sebagai diagnosis tunggal, gunakan guideline GOLD 2019 dalam tatalaksana PPOK. Manajemen PPOK meurut GOLD 2019 diawali dengan assessment gejala dan risiko serta penentuan grading nilai FEV1 spirometri (GOLD 1 – 4) dan grouping gejala (grup A – D) PPOK. Terapi inisial PPOK ditentukan berdasarkan grup gejala PPOK, yaitu:
- Grup A dengan pemberian bronkodilator, baik kerja cepat maupun kerja lambat
- Grup B dengan pemberian bronkodilator kerja lambat (LABA atau LAMA)
- Grup C dengan pemberian LAMA
- Grup D dengan pemberian LAMA, kombinasi LAMA dan LABA pada PPOK highly symptomatic, atau kombinasi ICS dan LABA pada PPOK dengan eosinofil ≥ 300[2]
Manajemen Asthma-COPD Overlap
Bila penegakan diagnosis dari tahap sebelumnya cenderung mengarah ke diagnosis banding seimbang antara asma dan PPOK atau ACO, terapi yang tepat dimulai dengan tatalaksana asma terlebih dahulu sembari melakukan pemeriksaan lain yang diperlukan. Terapi ini sama dengan guideline GINA 2018 di mana peran pemberian kortikosteroid inhalasi sangat penting dalam pencegahan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan asma tidak terkontrol, walaupun dengan gejala eksaserbasi yang ringan.
Pemberian ICS dosis rendah atau sedang pada kasus ACO, seperti beclomethasone, budesonide, ciclesonide, fluticasone, mometasone, dan triamcinolone, diberikan sesuai dengan panduan dosis ICS pada asma menurut GINA 2019. Pemberian dosis ICS disesuaikan dengan keparahan gejala dan risiko efek samping yang dapat terjadi. Seperti GINA 2018, GINA 2019 merekomendasikan untuk mengindari pemberian monoterapi LABA tanpa pemberian ICS pada kasus ACO. [1,6]
Seperti penyakit keterbatasan aliran udara kronis pada umumnya, pasien dengan ACO perlu mendapatkan terapi di luar medikamentosa, antara lain:
- Modifikasi gaya hidup, termasuk berhenti merokok
- Tatalaksana komorbiditas
- Strategi non-farmakologi, seperti aktifitas fisik, rehabilitasi paru, dan vaksinasi
- Strategi self-management
- Kontrol rutin [1,2,6]
Penerapan Manajemen Asthma-COPD Overlap Di Indonesia
Asma dan PPOK merupakan penyakit tidak menular yang telah lama menjadi masalah di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat prevalensi asma berkisar pada 4,5% dari total populasi dan prevalensi PPOK berkisar pada 3,7% dari total populasi. Meskipun asma tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, semakin rendah tingkat pendidikan suatu kelompok, angka kejadian PPOK cenderung semakin tinggi Hal ini diikuti dengan rerata proporsi perokok di Indonesia mencapai 29,3%.[7]
Meskipun belum ada data pasti mengenai kejadian ACO di Indonesia, kejadian ACO bukan tak mungkin ditemukan dalam praktik kedokteran Indonesia, mengingat tingginya prevalensi asma dan PPOK. Penegakan diagnosis ACO dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tidak rumit, seperti radiologi dan spirometri, sehingga penegakan diagnosis ACO sebaiknya dapat diselesaikan pada tingkat pelayanan primer sesuai dengan rekomendasi GINA 2019. ICS sebagai terapi ACO juga dapat diberikan pada tingkat pelayanan primer, mengingat adanya budesonid dalam golongan obat antiasma yang tersedia di Puskesmas menurut Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). [1,8]
Kesimpulan
Seiring dengan keluarnya guideline GINA 2019, beberapa perubahan dibuat dalam tatalaksana asma, salah satunya manajemen asthma-COPD overlap (ACO). ACO merupakan penyakit dengan karakteristik keterbatasan aliran udara persisten dengan beberapa tanda terkait asma dan PPOK. Manajemen ACO terdiri dari penegakan diagnosis dan terapi. Tahap pertama merupakan penentuan adanya penyakit saluran nafas kronis yang dapat diketahui dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tahap kedua berupa menentukan arah diagnosis lebih ke asma, PPOK atau ACO. Kedua tahap awal manajemen ACO ini tidak berbeda dengan guideline GINA 2018.
Tahap ketiga manajemen ACO berupa pemeriksaan spirometri untuk menemukan variabel spirometri yang sesuai dengan karakteristik ACO. Terdapat perbedaan mengenai penilaian variabel spirometri untuk ACO pada GINA 2019 dan GINA 2018, yaitu nilai FEV1 pada GINA 2019 berasal dari nilai spirometri post bronkodilator. Terapi ACO lebih mengarah pada terapi asma sebagai terapi pertama. GINA 2019 merekomendasikan penggunaan ICS dan menghindari penggunaan monoterapi LABA dalam terapi ACO. Rekomendasi ini tidak berubah dari guideline GINA 2018.
Di Indonesia, penemuan kasus ACO pada praktik sehari-hari dapat terjadi, mengingat tingginya prevalensi asma, PPOK, dan penggunaan tembakau. Manajemen awal ACO sebaiknya dilakukan pada tingkat pelayanan primer, karena penegakan diagnosis ACO tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang yang rumit dan terapi awal ACO, yaitu ICS (seperti budesonid) tersedia di Puskesmas menurut DOEN.