Chronic post surgical pain atau nyeri kronis setelah operasi perlu diidentifikasi dan ditangani dengan baik karena dapat menurunkan kualitas hidup penderita secara signifikan. Penanganan nyeri kronis setelah operasi ini dilakukan dengan melibatkan terapi farmakologis multimodal dan terapi nonfarmakologis berupa psikoterapi dan transcutaneus electrical nerve stimulation. Sayangnya, modalitas penanganan nyeri kronis yang tersedia masih terbatas dengan efektivitas yang rendah.
Chronic post surgical pain atau nyeri kronis setelah operasi adalah nyeri yang timbul setelah operasi dan bertahan sampai setidaknya enam bulan, dan penyebab reversible lain telah ditata laksana secara adekuat.
Nyeri kronis setelah operasi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, baik dari segi fungsional fisik maupun kesehatan emosional pasien. Sayangnya, penanganan yang ada saat ini masih terbatas dan banyak pasien yang mengalami nyeri refrakter bahkan setelah diterapi.[1-3]
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa prevalensi nyeri kronis ditentukan oleh jenis operasi yang dijalani, dengan prevalensi paling besar pada pasien yang menjalani amputasi atau thorakotomi. Walau demikian, hanya sebagian kecil, yaitu sekitar 5%, pasien yang melaporkan nyeri berat.[4]
Etiologi Nyeri Kronis Setelah Operasi
Etiologi pasti dari nyeri kronis setelah operasi masih belum diketahui. Kerentanan terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor genetik, riwayat nyeri, dan faktor psikologis. Faktor genetik yang banyak dilaporkan berhubungan dengan nyeri setelah operasi mutasi pada gen COMT. Nyeri kronis setelah operasi cenderung dialami oleh pasien yang berusia muda, telah menderita nyeri kronis sebelum operasi, dan pasien yang mengalami nyeri berat setelah operasi.[5,6]
Faktor Prediktor yang Berhubungan dengan Pasien
Beberapa faktor diperkirakan menjadi prediktor bagi timbulnya nyeri kronis setelah operasi. Prediktor nyeri kronis setelah operasi di antaranya adalah
- Ambang batas nyeri yang rendah. Ambang batas nyeri bisa diperiksa dengan menggunakan stimulus termal, elektrik, atau tekanan
- Nyeri akut setelah operasi
- Kebutuhan analgesik yang berlebihan setelah operasi
- Riwayat mengonsumsi analgesik secara rutin dalam 3 tahun sebelum operasi
- Perempuan lebih sering mengalami nyeri kronis setelah operasi dibandingkan laki-laki
- Indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi
- Tingkat pendidikan yang lebih tinggi
- Riwayat kurangnya aktivitas fisik sebelum operasi
- Riwayat atau adanya gangguan psikiatri, seperti kecemasan, depresi, atau post traumatic stress disorder[3,6,7]
Faktor Prediktor yang Berhubungan dengan Operasi
Selain hal-hal yang telah disebutkan, terdapat juga faktor risiko yang berhubungan dengan tindakan operasi itu sendiri:
- Jenis dan lokasi anatomis operasi: jenis operasi tertentu diasosiasikan dengan nyeri setelah operasi yang lebih tinggi, misalnya mastektomi, torakotomi, atau herniorrhaphy inguinal
- Teknik operasi yang digunakan: operasi terbuka memiliki tingkat nyeri setelah operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi minimal invasif
- Jejas pada jaringan saraf akibat tindakan
- Iskemia jaringan
- Teknik dan jenis anestesi yang digunakan[3,7]
Diagnosis Nyeri Kronis Setelah Operasi
Saat ini belum ada konsensus untuk menetapkan nyeri kronis setelah operasi. Beberapa menyatakan bahwa nyeri kronis setelah operasi adalah nyeri yang timbul pada 2-6 bulan setelah operasi. Namun secara umum kriteria yang digunakan untuk menegakkan nyeri kronis setelah operasi adalah
- Nyeri yang muncul pada periode setelah operasi
- Nyeri terus menerus timbul setidaknya selama dua bulan setelah operasi
- Penyebab nyeri kronis lainnya bisa disingkirkan
- Nyeri tidak berhubungan dengan sindrom nyeri lain yang dialami pasien sebelum operasi[3,7]
Kualitas nyeri yang dirasakan oleh pasien umumnya digambarkan sebagai nyeri terbakar, nyeri tertusuk, atau seperti tersetrum listrik. Adanya tanda-tanda klinis hiperalgesia dan alodinia juga bisa dijadikan sebagai penanda adanya nyeri kronis setelah operasi.[3]
Penanganan Nyeri Kronis Setelah Operasi
Terdapat pilihan modalitas farmakologis dan nonfarmakologis untuk nyeri kronis setelah operasi, tetapi banyak pasien yang tetap mengalami nyeri refrakter bahkan setelah terapi.
Prinsip Penanganan Nyeri Kronis Setelah Operasi
Penanganan nyeri kronis setelah operasi harus dilakukan secara patient and family-centered, dengan memberikan edukasi yang dibuat secara tailor-made. Pemilihan terapi dan tujuan pengobatan harus didiskusikan bersama pasien dan keluarga, mempertimbangkan kondisi klinis dan preferensi pasien.
Manajemen Farmakologis
Salah satu prediktor paling kuat nyeri kronis setelah operasi adalah nyeri akut setelah operasi. Manajemen nyeri akut setelah operasi secara efektif secepatnya dapat menurunkan risiko nyeri kronis setelah operasi.[7]
Pencegahan nyeri dilakukan secara multimodal dan menggunakan kombinasi rute pemberian, baik praoperasi, intraoperasi, maupun setelah operasi. Kombinasi rute pemberian yang disarankan adalah oral, intravena, rektal, dan topikal. Rute intramuskuler tidak disarankan karena menyebabkan nyeri yang signifikan dan memiliki tingkat absorpsi yang bervariasi.
Golongan obat dan contoh obat yang dapat digunakan adalah:
- Analgesik: morfin, fentanyl, tramadol, ketorolac
- Agen anestesi: lidocaine, bupivacaine
- Antikonvulsan: gabapentin, pregabalin
- Antidepresan: golongan trisiklik seperti amitriptyline atau selective serotonin reuptake inhibitor seperti fluoxetine
- Antagonis n-methyl-d-aspartate (antagonis NMDA) seperti memantine, amantadine, atau ketamine
- Alfa-2 agonis: clonidine, metildopa [3,8]
Penggunaan obat golongan opioid secara jangka panjang berbahaya, karena meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Penggunaan opioid jangka panjang juga berhubungan dengan risiko terjadinya opioid use disorder. Lebih disarankan untuk memberikan opioid oral dibandingkan intravena.[8]
Manajemen Nonfarmakologis
Transcutaneous electrical nerve stimulation direkomendasi dari American Pain Society pada tahun 2016 sebagai terapi ajuvan untuk terapi setelah operasi yang diberikan. American Pain Society juga mendukung penggunaan psikoterapi sebagai bagian dari terapi multimodal untuk mengatasi nyeri. Jenis psikoterapi yang sering dipilih untuk mengatasi nyeri kronis adalah cognitive behavioral therapy (CBT).[6,8,9]
Hingga saat ini, masih belum terdapat bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan terapi lainnya seperti akupuntur, pijat, atau cold therapy.
Kesimpulan
Nyeri kronis setelah operasi dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Meskipun belum ada diagnosis klinis yang disepakati, tetapi nyeri kronis setelah operasi banyak didefinisikan sebagai nyeri yang muncul setelah operasi, terus menerus selama setidaknya dua bulan, penyebab nyeri lainnya bisa disingkirkan, dan tidak berhubungan dengan sindrom nyeri yang dialami pasien sebelum operasi.
Manajemen nyeri kronis setelah operasi terdiri dari manajemen farmakologis secara multimodal dan kombinasi beberapa rute dengan menggunakan obat analgetik, anestesi, antikonvulsan, antidepresan, antagonis NMDA, dan agonis alfa-2. Metode non farmakologis yang direkomendasikan adalah cognitive behavioral therapy (CBT) dan transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS). Walau demikian, tingkat efektivitas terapi yang ada masih rendah, sehingga banyak pasien yang mengalami nyeri refrakter.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra