Menghadapi permintaan pasien untuk pemeriksaan penunjang yang tidak diperlukan terkadang membuat dokter kesulitan. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis pasti. Walaupun pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis yang akurat, tetapi bila berlebihan akan menjadi tidak efektif bahkan bisa merugikan pasien juga dokter.[1,2]
Hubungan antara dokter dengan pasien merupakan hubungan yang terjalin berdasarkan kepercayaan untuk mencapai tujuan bersama yakni kesembuhan. Salah satu aspek penting dalam praktek klinis adalah otonomi pasien dalam pengambilan keputusan klinis. Akan tetapi, dengan semakin mudahnya akses informasi kesehatan di internet dan sumber lainnya, dokter perlu lebih bijaksana dalam menyikapi otonomi pasien yang serba tahu. Permintaan pasien terhadap jenis pemeriksaan penunjang maupun obat tetap harus sesuai dengan standar praktik klinis yang dipelajari oleh dokter.[3,4]
Etika Kedokteran vs Otonomi Pasien
Pasien datang ke dokter dengan anggapan bahwa dokter merupakan tenaga ahli yang mampu membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang dialaminya. Dokter sebaiknya mendorong diskusi koheren dengan pasien dalam setiap proses pengambilan keputusan klinis. Dokter sebaiknya tidak melakukan tindakan tanpa penjelasan kepada pasien. Namun, dokter juga jangan hanya menuruti permintaan pasien, sehingga dokter yang baik harus memiliki integritas profesi dengan berpegang pada standar intelektual dan etik yang baik.[3,4]
Defensive Medicine
Seringkali dokter terjebak dalam kondisi dilema etik, seperti bila pasien menuntut pemeriksaan penunjang yang tidak diperlukan. Berdasarkan studi, bila terjadi kondisi tersebut kebanyakan dokter menerapkan defensive medicine.
Studi di Amerika Serikat pada tahun 2010 menganalisa 1231 survei terhadap dokter umum dan spesialis. Hasil studi menunjukkan bahwa 91% dokter mempraktekkan defensive medicine, yaitu memberikan pemeriksaan penunjang yang tidak dibutuhkan hanya untuk melindungi diri mereka dari tuntutan hukum di kemudian hari. Mayoritas dokter setuju bahwa diperlukan perlindungan terhadap tuntutan malpraktek yang tidak beralasan untuk mengurangi pemeriksaan penunjang yang tidak perlu.[4,6]
Studi sebelumnya, pada tahun 2005 dan melibatkan 824 dokter, memberikan hasil bahwa 93% subjek mempraktekkan defensive medicine baik saat memberikan pemeriksaan penunjang maupun saat merujuk pasien untuk konsultasi. Studi ini juga menyebutkan 43% subjek menggunakan teknologi pencitraan dalam keadaan klinis yang tidak perlu.[1]
Evidence-Based Medicine
Dokter yang berpraktek harus paham evidence-based medicine (EBM) dan mampu mengkomunikasikan hal ini dengan baik kepada pasien. EBM merupakan guideline dokter saat memberikan layanan klinis agar sesuai dengan standar medis.
Dokter tidak berkewajiban memberikan layanan klinis yang tidak sesuai dengan standar medis. Informed consent berperan penting dalam menjembatani komunikasi pasien dan dokter. Kemampuan komunikasi yang baik dari seorang dokter dapat diwujudkan bila dokter memiliki pengetahuan yang luas tentang pemeriksaan penunjang serta keterbatasan yang dimiliki dari pemeriksaan tersebut.[3,4]
Otonomi Pasien
Terkadang dalam praktik prinsip dokter bertentangan dengan otonomi pasien. Disini kebijaksanaan dokter dalam bersikap sangat diperlukan, yaitu menghormati keputusan pasien tanpa mengabaikan prinsip kedokteran.
Beneficence adalah kewajiban moral dokter untuk melakukan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain sesuai profesionalismenya. Otonomi pasien saat berdiskusi dengan dokter terdiri dari 3 komponen utama, yakni niat, pemahaman, dan tidak adanya pengaruh yang mengendalikan keputusan.[1,3,4]
Komponen Niat:
Komponen pertama ini menunjukan bahwa keputusan yang dibuat sebaiknya dengan kesadaran penuh, bukan sebuah spontanitas belaka.[1]
Komponen Pemahaman:
Kemampuan pasien untuk memahami secara rasional dan menyeluruh tentang alasan serta konsekuensi dari keputusan klinis yang dibuat. Dokter berperan dalam menjelaskan pilihan yang tersedia dimiliki. Disini kemampuan komunikasi dokter akan diuji karena pasien seringkali mendapatkan informasi dari sumber lain dan ingin mendiskusikannya. Pengetahuan mendalam tentang evidence-based medicine akan sangat berguna.[1,4,5]
Komponen Tidak Ada Pengaruh yang Mengendalikan Keputusan:
Komponen terakhir ini sering disalahartikan oleh dokter dengan membiarkan pasien bertanggung jawab penuh terhadap keputusan klinis yang dibuat. Namun, studi menunjukkan bahwa pasien lebih suka bila mampu berbagi tanggung jawab dengan dokter dalam menentukan keputusan klinisnya. Karena itu, dokter berperan penting dalam mengarahkan pasien terhadap pilihan klinis yang dimiliki, tanpa membatasi pilihan yang diinginkan oleh pasien.[1,2,4]
Risiko Pemeriksaan Penunjang yang Tidak Diperlukan
Praktik penggunaan pemeriksaan penunjang secara berlebihan sering disebut sebagai over-testing. Salah satu bentuk over-testing adalah melakukan screening pada pasien yang tidak memiliki keluhan spesifik. Selain itu, tuntutan dari pasien seringkali menjadi faktor penyebab praktik overtesting. Praktik klinis seperti ini dapat merugikan pasien karena berpotensi menghasilkan risiko positif palsu, efek samping dari pemeriksaan, serta kesalahan intervensi maupun tata laksana selanjutnya.[1,2]
Risiko Hasil Positif Palsu
Pemeriksaan penunjang yang tidak bersifat disease specific dapat berisiko memberikan hasil positif palsu, yang bisa menimbulkan kecemasan pada pasien. Pemeriksaan laboratorium di desain memiliki nilai referensi yang diturunkan dari hasil uji normalitas populasi sehat dengan rentang akurasi 95%. Dengan kata lain, 5% dari hasil abnormal merupakan hasil positif palsu. Kemungkinan hasil positif palsu bisa berkurang bila pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi yang tepat.[7]
Risiko Efek Samping
Pemeriksaan penunjang seringkali tidak menghasilkan temuan yang diharapkan, tetapi pasti memaparkan pasien terhadap risiko efek samping. Menurut ahli neurologi dari Universitas Michigan, dari 100 pasien dengan keluhan sakit kepala yang dilakukan pemeriksaan radiologi, mungkin hanya ditemukan 1 pasien dengan tumor otak. Sedangkan sisanya terpapar radiasi yang tidak diperlukan. Risiko lain dari radiologi adalah hipersensitivitas bila diberikan kontras intravena. Terlebih bila pemeriksaan ini dikerjakan pada pasien dengan kondisi khusus, seperti ibu hamil dan anak yang berisiko lebih berbahaya.[8,9]
Risiko Kesalahan Intervensi dan Tata Laksana
Hasil positif palsu dari pemeriksaan penunjang yang tidak diperlukan dapat menyebabkan intervensi dan tata laksana yang kurang tepat.
Terkait hal ini, terdapat sebuah studi kasus mengenai pemeriksaan panel reumatologi pada pasien laki-laki dengan keluhan nyeri dan morning stiffness pada lutut bilateral tanpa bukti kelainan autoimun lain yang jelas. Pemeriksaan memberikan hasil titer Antinuclear Antibody (ANA) yang tinggi sehingga pasien dianjurkan untuk pemeriksaan imunologi lebih lanjut. Akan tetapi, konfirmasi oleh spesialis reumatologi menyatakan bahwa pasien sebenarnya menderita osteoarthritis dan hasil ANA menunjukkan hasil positif palsu.[7,10]
Contoh kasus lain, seorang pasien laki-laki dengan keluhan diare tanpa riwayat minum antibiotik sebelumnya dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) pada sampel fesesnya. Ditemukan positif DNA bakteri Clostridium difficile sehingga pasien mendapatkan terapi metronidazole yang ternyata menyebabkan drug eruption.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa pemeriksaan penunjang yang dilakukan tanpa memperhatikan temuan klinis secara seksama hanya akan menimbulkan intervensi atau pemeriksaan tambahan dan tata laksana yang tidak efektif.[7,10]
Upaya Mencegah Pemeriksaan Penunjang yang Tidak Diperlukan
Salah satu cara untuk mencegah overtesting adalah dokter harus membekali diri dengan pengetahuan mendalam tentang evidence-based medicine (EBM) dan menerapkannya dalam pemilihan pemeriksaan penunjang. Dokter harus merekomendasikan pemeriksaan penunjang sesuai EBM yang juga ditunjang oleh pengalaman klinis yang sudah dimiliki selama ini. Dokter harus mampu tetap menyajikan semua pilihan klinis yang ada secara transparan.[7,11]
Kumpulan pertanyaan berikut dapat membantu dokter dalam menghadapi permintaan pasien untuk pemeriksaan penunjang yang tidak diperlukan:
- Apakah prosedur yang diminta dapat memenuhi kebutuhan medis pasien?
- Apa saja keuntungan yang bisa didapatkan pasien dari pemeriksaan yang diminta?
- Apa saja risiko yang bisa dialami pasien dari pemeriksaan yang diminta?
- Apakah dokter sudah berusaha memahami motivasi, alasan, harapan, dan ketakutan yang menjadi dasar permintaan pasien?
- Apakah penjelasan yang diberikan dokter dapat dipahami oleh pasien secara adekuat sehingga pasien dapat memberikan informed consent?
- Apakah alternatif pemeriksaan penunjang lain yang noninvasif dan berisiko lebih rendah sudah ditawarkan kepada pasien?
- Apakah diperlukan konsultasi dengan kolega sebelum permintaan pemeriksaan diberikan kepada pasien?
Pemahaman yang baik dari seorang dokter terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu menjembatani keinginan pasien dengan rasionalisasi klinis dokter.[7,11]
Kesimpulan
Pemeriksaan penunjang merupakan bagian penting dari praktik klinis. Namun, penggunaan pemeriksaan penunjang secara berlebihan tidak berarti lebih baik. Perlu pemahaman yang komprehensif tentang kondisi pasien berdasarkan evidence based medicine (EBM).
Dokter akan memiliki kemampuan komunikasi bila memiliki pengetahuan yang luas tentang pemeriksaan penunjang serta keterbatasan yang dimiliki dari pemeriksaan tersebut. Dokter tidak berkewajiban memberikan layanan klinis yang tidak sesuai dengan EBM.[3,4]
Selain itu, upaya untuk mencegah dokter memberikan pemeriksaan yang tidak diperlukan adalah mencegah praktik defensive medicine. Dokter harus memiliki jaminan keamanan dari tuntutan malpraktek yang tidak beralasan, agar tidak memberikan tindakan klinis hanya untuk melindungi diri mereka dari tuntutan hukum di kemudian hari.[3,5]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri