Modalitas Transcranial Magnetic Stimulation sebagai Tata Laksana Depresi

Oleh :
dr. Zuhrotun Ulya, Sp.KJ, M.H.

Penggunaan transcranial magnetic stimulation (TMS) dalam penanganan depresi masih banyak diiringi oleh keraguan mengenai efikasi dan keamanannya. TMS merupakan modalitas terapi non-invasif yang memanfaatkan stimulasi area otak via modulasi eksitabilitas korteks melalui produksi medan magnet. Pada depresi, TMS digunakan pada pasien dewasa yang gagal mendapatkan perbaikan klinis bermakna setelah pemberian antidepresan.[1,2]

Di Amerika Serikat, meskipun TMS telah disetujui oleh FDA, masih banyak kontroversi terkait penggunaannya. Bukti ilmiah yang tersedia masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda, terutama mengenai pasien seperti apa yang akan mendapat manfaat paling banyak dari modalitas tata laksana ini.[4-6]

TMS sebagai Tata Laksana Depresi

Secara klinis, TMS telah dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai kondisi medis, termasuk depresi, demensia Alzheimer, gangguan obsesif kompulsif, gangguan cemas, dan gangguan stress pasca trauma.[2-4]

Hasil Bukti Ilmiah Terkait Efikasi Transcranial Magnetic Stimulation pada Penanganan Depresi Masih Berbeda-beda

Dalam sebuah penelitian retrospektif (2020) yang melibatkan 153 pasien rawat inap di Australia, dilakukan evaluasi pada pasien depresi yang menjalani TMS sebanyak 20 sesi dalam 4 minggu. Studi ini menemukan bahwa TMS efektif dalam mengobati depresi, dengan 54% pasien menunjukkan respons dan 28% mencapai remisi berdasarkan Hamilton Depression Rating Scale (HAMD-17), serta 53% respons dan 16% remisi berdasarkan Depression, Anxiety and Stress Scale (DASS-21).[7]

Studi lain (2020) mengevaluasi 3 uji klinis terkontrol dan 12 uji klinis tidak terkontrol. Hasil tinjauan sistematik ini menunjukkan bahwa TMS efektif dalam penanganan depresi yang resisten terhadap pengobatan, tetapi efek yang paling signifikan dicapai ketika TMS dikombinasikan dengan obat antidepresan.[8]

Hasil berbeda ditunjukkan oleh sebuah tinjauan payung (2023) yang melakukan analisis ulang terhadap 29 tinjauan sistematik dan 15 meta analisis. Tinjauan payung ini menunjukkan bahwa penggunaan TMS mungkin tidak seefektif yang diperkirakan penelitian terdahulu. Hasil analisis menunjukkan adanya variasi yang luas dalam efek pengobatan, mengindikasikan bahwa luaran klinis TMS bisa berbeda-beda tergantung kondisi pasien.[9]

Dalam suatu tinjauan sistematik lain (2024), TMS dilaporkan efektif dalam memperbaiki gejala depresi meskipun efikasinya tidak ditemukan berbeda signifikan dengan antidepresan. Tinjauan ini mengevaluasi 4 uji klinis acak terkontrol dan 10 before-after controlled studies. Selain itu, tinjauan ini juga mengindikasikan bahwa TMS memiliki efek pemeliharaan jangka panjang, meskipun studi lanjutan dengan periode follow-up lebih lama masih diperlukan untuk memastikan hasil tersebut.[10]

Keterbatasan Penggunaan Transcranial Magnetic Stimulation

Beberapa efek samping telah dilaporkan akibat penggunaan TMS. Efek samping ringan yang sudah diketahui antara lain sakit kepala, migrain, nyeri di tempat stimulasi TMS, nyeri badan, paresthesia, gangguan tidur, mual, cemas, iritabilitas, dan kejang. Efek samping berat yang telah dilaporkan mencakup kebutuhan rawat inap psikiatri, peningkatan ide bunuh diri, terlepasnya vitreus posterior, dan robekan retina.[11-13]

Selain efek samping, beberapa peringatan berikut perlu diperhatikan selama penggunaan TMS:

  • Pada pasien yang menggunakan implan medis, seperti alat pacu jantung, coil TMS sebaiknya tidak teraktivasi terlalu dekat (<10 cm) untuk menghindari accidental firing.

  • Pada pasien pengguna implan koklea, terapi TMS sebaiknya tidak dikerjakan.
  • Hati-hati penggunaan TMS pada pasien dengan riwayat atau risiko kejang, karena efek samping kejang akibat TMS pernah dilaporkan
  • Penggunaan TMS pada populasi anak dan wanita hamil tidak disarankan karena belum adanya basis bukti manfaat dan keamanan pada populasi ini.[12]

Kesulitan dalam Aplikasi Transcranial Magnetic Stimulation Secara Klinis

Di Indonesia, beberapa faktor masih menghalangi penerapan penggunaan TMS di praktik. Faktor yang mungkin paling berpengaruh adalah kesiapan layanan kesehatan untuk menghadirkan operator yang mampu menggunakan alat, kesiapan ruangan, serta dukungan finansial dalam pengadaan dan perawatan alat. Adanya hasil bukti ilmiah yang saling bertentangan dan hipotesis bahwa TMS hanya memberi efek plasebo juga masih menghalangi penggunaannya secara luas.[14-17]

Selain itu, penggunaan TMS di praktik juga memakan banyak waktu dan sering dianggap kurang praktis. Di layanan kesehatan yang telah rutin menggunakan TMS, satu sesi bisa memakan durasi sekitar 45 menit, yang diulang selama 5 hari dalam 1 pekan, serta dilakukan selama 4-6 pekan.[18,19]

Kesimpulan

Bukti ilmiah yang tersedia saat ini belum bisa memberikan kepastian yang meyakinkan mengenai efikasi dari transcranial magnetic stimulation (TMS) untuk penanganan depresi. Meski ada beberapa studi terdahulu yang menunjukkan bahwa TMS efektif, sebuah tinjauan payung mengindikasikan bahwa efikasi tersebut mungkin tidak sebesar yang diperkirakan dan sangat tergantung dengan karakteristik klinis masing-masing pasien.

Selain itu, beberapa efek samping telah ditemukan berkaitan dengan penggunaan TMS pada depresi, termasuk kejang, peningkatan ide bunuh diri, dan robekan retina. Penggunaan TMS juga memakan waktu, sumber daya, serta kerap dianggap kurang praktis sehingga menghalangi penggunaannya secara luas pada praktik klinis.

Referensi