Nalfurafine Hidroklorida untuk Pruritus Persisten pada Penyakit Ginjal dan Hati Kronis

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,Finasim,IDF-Fellow

Nalfurafine hidroklorida diduga efektif mengatasi pruritus persisten pada penyakit ginjal dan hati kronis. Pruritus yang persisten banyak dijumpai pada penyakit ginjal kronis (CKD) tahap lanjut, khususnya pada pasien yang sudah menjalani hemodialisis. Kondisi ini dikenal dengan CKD-associated pruritus (CKD-aP) atau uremic pruritus. Pruritus persisten terjadi pula pada penyakit hati kronis (CLD), yang mana keparahan pruritus linear dengan perburukan fungsi hati.[1-6]

Seiring pruritus menjadi parah dan persisten, kualitas hidup pasien akan menurun, menyebabkan gangguan tidur, ansietas, depresi, bahkan kerusakan kulit dan infeksi akibat dari garukan. Penanganan pruritus secara efektif khususnya pada penyakit kronis sistemik masih menjadi tantangan klinis yang signifikan. Nalfurafine hidroklorida, agonis reseptor kappa-opioid (KOR) selektif, menyediakan opsi targeted therapeutic untuk penanganan pruritus yang persisten.[2]

Nalfurafine Hidroklorida untuk Pruritus

Mekanisme Terjadinya Pruritus pada Penyakit Ginjal dan Hati Kronis

Terjadinya pruritus pada CKD dan CLD diduga melibatkan interaksi antara sistem saraf, imun, serta disregulasi sistem opioid endogen. Pada CKD-aP, teori utama mencakup ketidakseimbangan antara aktivasi reseptor μ-opioid yang bersifat pruritogenik, dan penurunan aktivitas κ-opioid yang bersifat antipruritogenik. Mekanisme lain yang diduga terlibat meliputi disregulasi imun dan inflamasi, neuropati uremik yang meningkatkan sensitivitas saraf, akumulasi toksin uremik, serta xerosis pada pasien dialisis.

Sementara itu, pruritus pada CLD melibatkan akumulasi asam empedu. Mekanisme lain yang diduga terlibat adalah adanya disfungsi sistem opioid dengan dominasi aktivitas μ-opioid reseptor, disregulasi serotonin sentral, serta peran lysophosphatidic acid (LPA) sebagai mediator pruritus yang dihasilkan oleh enzim autotaxin. Kadar LPA dan autotaxin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien kolestasis dan dihubungkan dengan intensitas pruritus.[3,5,6]

Mekanisme Kerja Nalfurafine Hidroklorida

Efek antipruritik nalfurafine hidroklorida berkaitan dengan kemampuannya mengaktivasi secara selektif KOR yang terlibat pada supresi sensasi gatal khususnya yang terletak di sistem saraf pusat. Dengan menstimulasi KOR, nalfurafine menetralkan efek pemicu pruritus yang dimediasi oleh μ-opioid receptor system, sehingga merestorasi keseimbangan sistem opioid endogen dan akhirnya mengurangi rasa gatal.[1,2,4,6]

Data Percobaan Klinis Nalfurafine Hidroklorida pada Uremic Pruritus

Nalfurafine hidroklorida telah menjalani studi untuk terapi CKD-aP khususnya pada pasien hemodialisis. Uji klinis fase III di Jepang terhadap 337 pasien hemodialisis dengan CKD-aP menunjukkan efikasi maupun keamanan yang baik. Pasien mendapatkan dosis 2,5 ɥg atau 5 ɥg/hari dibandingkan plasebo selama 2 minggu. Hasil menunjukkan penurunan signifikan pada pruritus yang dinilai dengan visual analogue scale (VAS) untuk grup nalfurafine.[1]

Uji klinis fase III lainnya dilakukan secara multisenter, buta ganda, di Cina pada 141 pasien hemodialisis dengan CKD-aP refrakter. Hasil uji klinis ini mengonfirmasi hasil studi sebelumnya dengan dosis yang serupa untuk durasi pemberian yang sama (14 hari).[4]

Selain itu, efikasi dan keamanan jangka panjang pemberian nalfurafine dilaporkan pada studi label terbuka yang diberikan selama 52 minggu untuk pasien hemodialisis. Dalam studi ini, didapatkan efikasi penurunan pruritus yang signifikan, dengan tingkat tolerabilitas yang baik, tanpa ada tanda ketergantungan fisik maupun psikologis.[1,2]

Ada pun efek samping nalfurafine hidroklorida yang dilaporkan pada percobaan umumnya bersifat ringan dan transien. Efek samping yang paling umum adalah insomnia, konstipasi, dan pusing.[2,4,7]

Data Percobaan Klinis Nalfurafine Hidroklorida pada Penyakit Hati Kronis

Sebagaimana pada CKD-aP, nalfurafine telah menjalani percobaan untuk penanganan pruritus terkait CLD. Uji klinis acak terkontrol buta-ganda di Jepang terhadap 318 pasien pruritus terkait cholestatic liver disease yang mendapatkan nalfurafine 2,5 atau 5 ɥg/hari selama 84 hari menunjukkan perbaikan signifikan pruritus menurut skala VAS jika dibandingkan dengan plasebo.[8]

Data lain didapat dari studi real world retrospektif multisenter yang mengevaluasi efikasi nalfurafine pada 326 pasien pruritus terkait CLD. Pasien mendapat 2,5 ɥg/hari selama 12 minggu. Hasil studi menunjukkan penurunan pruritus secara signifikan yang dinilai dengan skor VAS dan skor pruritus Kawashima. Durasi pruritus (sebelum mendapat nalfurafine) yang lebih singkat dan tahap fibrosis yang lebih ringan (Child-Pugh A atau B) ditemukan memengaruhi respons obat nalfurafine.[9]

Posisi Nalfurafine Hidroklorida Menurut Regulator Perizinan Obat

Nalfurafine hidroklorida telah disetujui penggunaannya di Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Meski begitu, obat ini belum mendapat persetujuan di Amerika Serikat dan Eropa, mungkin karena basis bukti dianggap belum lengkap atau adanya perbedaan pada ambang acuan regulasi.[10-13]

Di Indonesia, nalfurafine telah mendapat izin edar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak bulan Agustus tahun 2024.[14]

Kesimpulan

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa nalfurafine hidroklorida memiliki efikasi dan tingkat tolerabilitas yang baik untuk digunakan pada pasien dengan pruritus persisten yang berkaitan dengan penyakit ginjal kronis atau penyakit hati kronis. Di Indonesia, obat ini juga sudah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sehingga sudah bisa digunakan pada populasi pasien tersebut.

Referensi