Nebulisasi cairan salin hipertonik sering dilakukan untuk tata laksana bronkiolitis tetapi sebenarnya efektivitasnya belum didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Penelitian lebih lanjut masih dilakukan untuk mengevaluasi manfaat dan profil keamanan tindakan ini pada anak-anak yang mengalami bronkiolitis.[1]
Bronkiolitis merupakan penyakit saluran napas bawah yang paling sering ditemukan pada bayi berusia <1 tahun dan sering berkaitan dengan kejadian infeksi respiratory syncytial virus (RSV). Hingga kini, aspek diagnostik dan terapeutik bronkiolitis masih memberikan tantangan yang cukup besar bagi klinisi sebab penyakit ini belum memiliki pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosisnya. Penatalaksanaan biasanya juga hanya bersifat suportif.[1]
Ada beberapa terapi yang umum dilakukan oleh tenaga medis untuk mengurangi gejala bronkiolitis, seperti pemberian oksigen, pemberian bronkodilator, dan nebulisasi cairan salin hipertonik. Namun, meskipun secara teoretis berbagai terapi ini dapat meredakan keparahan bronkiolitis, penggunaannya dalam praktik klinis masih belum didukung oleh bukti ilmiah yang berkualitas baik.[2]
Bukti Efektivitas Nebulisasi Cairan Salin Hipertonik pada Kasus Bronkiolitis
Nebulisasi cairan salin 3% pada bayi dengan bronkiolitis didasarkan pada teori yang menyebutkan bahwa garam hipertonik mampu menginduksi pergerakan osmotik air ke dalam lapisan mukus dan menyebabkan rehidrasi jalan napas, yang bisa memperbaiki bersihan mukosilier. Selain itu, cairan salin hipertonik juga diduga mengurangi edema jalan napas dengan cara menyerap air dari lapisan mukosa dan submukosa.[3]
Suatu uji klinis di Inggris pada tahun 2014 membandingkan 158 bayi bronkiolitis yang mendapatkan nebulisasi salin hipertonik 3% tiap 6 jam dan 159 bayi bronkiolitis yang mendapatkan terapi standar saja. Studi tidak menemukan perbedaan durasi perawatan di rumah sakit yang bermakna antara kedua grup tersebut. Studi ini menyimpulkan bahwa nebulisasi salin hipertonik bukan merupakan terapi yang cost-effective.[4]
Tinjauan sistematik yang juga termasuk dalam protokol studi tersebut menunjukkan bahwa nebulisasi cairan salin hipertonik 3% bisa mengurangi rerata durasi perawatan sebanyak -0,36 hari, tetapi tingkat heterogenitas antar studi yang tinggi membuat hasil studi perlu dimaknai secara hati-hati.[4]
Meta analisis Zhang, et al. tentang efek nebulisasi salin hipertonik pada bronkiolitis bayi juga menemukan sedikit pemendekan durasi rawat inap. Dari 17 uji klinis (total 3.105 pasien) yang dianalisis, ditemukan bahwa bayi dengan bronkiolitis akut yang dirawat di rumah sakit dan mendapat nebulisasi salin hipertonik memiliki durasi perawatan yang lebih pendek 0,41 hari bila dibandingkan bayi yang mendapat nebulisasi salin 0,9%.[5]
Menurut meta analisis tersebut, nebulisasi cairan salin hipertonik juga mengurangi skor keparahan klinis setelah inhalasi bila dibandingkan dengan nebulisasi cairan salin 0,9% pada 3 hari pertama perawatan.[5]
Hasil lain dari analisis Zhang, et al. yang cukup menarik adalah dampak nebulisasi salin hipertonik terhadap jumlah pasien yang perlu dirawat inap di rumah sakit. Nebulisasi salin hipertonik menurunkan tingkat opname hingga 14% bila dibandingkan salin 0,9% pada pasien bronkiolitis yang dirawat di poliklinik rawat jalan dan unit gawat darurat. Hasil analisis ini didapat dari delapan studi yang melibatkan 1.723 bayi.[5]
Temuan tersebut menandakan adanya potensi manfaat nebulisasi salin hipertonik untuk mengurangi jumlah bayi yang dirawat di RS akibat bronkiolitis akut. Namun, belum ada kriteria klinis yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok pasien yang akan mendapat manfaat lebih baik dengan nebulisasi di unit rawat jalan dan pasien yang mungkin lebih baik mendapat perawatan di unit rawat inap.[5]
Risiko Nebulisasi Salin Hipertonik pada Kasus Bronkiolitis
Everard, et al. melaporkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian efek samping yang bermakna antara kelompok intervensi yang mendapat nebulisasi salin hipertonik dan kelompok kontrol (24,6% vs 23,5%). Namun, meskipun nebulisasi salin hipertonik secara teori tidak memiliki dampak sistemik yang buruk pada pasien bronkiolitis akut, efek samping dan risiko terapi ini tetap perlu diwaspadai.[4]
Contoh efek samping serius yang mungkin berkaitan dengan nebulisasi salin hipertonik adalah desaturasi dan bradikardia saat nebulisasi. Ada 1 kasus bradikardia dan desaturasi selama nebulisasi dalam penelitian Everard, et al., yang kemudian membaik 1 hari setelahnya. Namun, walaupun berpotensi serius, mekanisme yang menyebabkan desaturasi dan bradikardia ini belum diketahui dengan pasti.[4]
Dalam meta analisis Zhang, et al., mayoritas uji klinis belum mempelajari efek samping nebulisasi salin hipertonik secara rinci. Ada empat dari 28 uji klinis yang menjadi sampel tetapi tidak menyajikan data keamanan nebulisasi salin hipertonik. Dari 24 studi yang melaporkan efek samping, 13 studi tidak menemukan efek samping signifikan pada total 1.363 bayi bronkiolitis yang menerima nebulisasi salin, sedangkan 11 studi lainnya (2.360 bayi) hanya melaporkan efek samping yang ringan.[5]
Besarnya variasi cara pelaporan efek samping pada seluruh studi yang menjadi sampel meta analisis menyebabkan analisis data keamanan sulit dilakukan. Namun, ringkasan naratif efek samping nebulisasi cairan salin hipertonik menemukan efek samping ringan yang umum berupa eksaserbasi batuk, peningkatan laju napas, dan peningkatan frekuensi menangis. Sementara itu, takikardia, bradikardia, dan bronkospasme adalah efek samping yang cukup berat tetapi sangat jarang ditemukan.[5]
Kesimpulan
Bukti klinis mengenai manfaat dan risiko nebulisasi cairan salin hipertonik pada kasus bronkiolitis saat ini masih tidak konklusif. Pasien bronkiolitis yang mendapat nebulisasi salin hipertonik tampaknya dapat mengalami pemendekan durasi rawat inap di rumah sakit. Namun, beberapa studi menyatakan bahwa pemendekan durasi ini tidak terlalu signifikan dan mungkin tidak cost-effective.
Nebulisasi cairan salin hipertonik pada pasien bronkiolitis juga mungkin mengurangi jumlah pasien yang perlu dirawat inap di rumah sakit. Namun, saat ini belum ada kriteria klinis yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk membedakan pasien yang akan mendapat manfaat lebih baik dengan nebulisasi di unit rawat jalan dan pasien yang mungkin lebih baik mendapat perawatan di unit rawat inap.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui cara mengoptimalkan terapi nebulisasi salin hipertonik dan membuktikan apakah manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Efek samping yang mungkin muncul akibat nebulisasi cairan salin hipertonik adalah eksaserbasi batuk, peningkatan laju napas, bradikardia, atau takikardia.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur