Beberapa ahli mempercayai bahwa overdiagnosis merupakan salah satu faktor penyebab adanya peningkatan kasus attention-deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Meski begitu, ada pula ahli yang mengemukakan bahwa peningkatan diagnosis terjadi dikarenakan perubahan konsep ADHD berdasarkan pedoman diagnosis.
Kejadian ADHD dalam komunitas disebut semakin mengalami peningkatan, dengan prevalensi mencapai 7,6% pada anak usia 3-12 tahun dan mencapai 5,6% pada remaja usia 12-18 tahun. Peningkatan diagnosis ADHD juga bisa timbul akibat peningkatan kewaspadaan dokter dan masyarakat melalui skrining dan penyebaran informasi, serta peningkatan kemampuan deteksi dini yang dimiliki oleh guru, orangtua, atau layanan kesehatan.[1-3]
Pertimbangan Diagnosis Attention-Deficit and Hyperactivity Disorder
Diagnosis attention-deficit and hyperactivity disorder (ADHD) dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria diagnosis dari DSM-5. Secara garis besar, pasien bisa dikatakan ADHD apabila terdapat pola inatensi atau hiperaktif-impulsif persisten yang mengganggu fungsi atau perkembangan, dimana gejala menetap selama 6 bulan. Gejala yang muncul akan berdampak negatif pada aktivitas akademik atau pekerjaan secara langsung.
Adanya gejala inatensi atau hiperaktif-impulsif ini bisa disampaikan oleh guru, orangtua, maupun dilihat secara objektif oleh dokter saat observasi. Sebagai contoh, pasien ADHD bisa kesulitan mempertahankan perhatian dalam tugas atau aktivitas permainan, atau dikatakan sering kehilangan barang penting untuk tugas seperti materi sekolah atau alat tulis. Pasien juga biasanya mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulus dari luar, atau mengalami kesulitan memenuhi tenggat waktu atau janji temu.[4]
Diagnosis Banding Attention-Deficit and Hyperactivity Disorder
Sebelum mendiagnosis seseorang mengalami ADHD, dokter perlu memikirkan terlebih dulu berbagai kemungkinan diagnosis banding agar tidak terjadi misdiagnosis. Berikut ini merupakan beberapa diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan berdasarkan pedoman DSM-5.[4]
Autism Spectrum Disorder:
Tantrum pada anak dengan spektrum autis terjadi akibat ketidakmampuan mentolerasi perubahan dari kejadian yang diperkirakan, sedangkan pada ADHD merupakan bagian dari perilaku impulsif atau ketidakmampuan mengontrol diri. Gejala spektrum autis secara umum muncul pada usia anak 2-3 tahun dengan atau tanpa keterlambatan bicara yang juga berhubungan dengan keterlambatan tumbuh kembang atau penurunan kemampuan bahasa atau sosial.[5]
Specific Learning Disorder:
Pasien ADHD sering mengalami gangguan dalam proses belajar yang perlu dibedakan dengan specific learning disorder. Inatensi pada kondisi ini disebabkan frustasi, kurang minat atau kemampuan terbatas dalam memahami konsep belajar namun tidak mempengaruhi situasi di luar pendidikan. Di sisi lain, pada ADHD pasien cenderung kesulitan fokus dalam aktivitas yang membutuhkan ketenangan.[6]
Intellectual Disability (Intellectual Developmental Disorder):
Pada kondisi disabilitas intelektual harus didapatkan bukti adanya ketidakmampuan dalam mengerjakan tugas, apabila disertai inatensi atau hiperaktif maka masuk dalam kategori berat sesuai usia mental yang dimiliki. Misdiagnosis menyebabkan timbulnya pengobatan yang kurang tepat indikasi.[7]
Gangguan Cemas:
Gangguan cemas ditandai dengan rasa khawatir, takut, dan berpikiran negatif sepanjang waktu, sedangkan ADHD tidak berhubungan dengan kekhawatiran dan ruminasi. Meski begitu, ADHD dan gangguan cemas bisa muncul bersamaan, dengan gejala berupa ketakutan, inatensi, keterampilan sosial buruk, serta perburukan working memory.[8-10]
Oppositional Defiant Disorder (ODD):
Pada ODD, perilaku ditandai dengan sikap negatif, hostilitas, dan menentang. Sikap menentang tersebut bukan bagian dari keengganan bersekolah, ketidakmampuan mempertahankan perhatian, mudah lupa instruksi yang diberikan, dan impulsif seperti halnya pada ADHD.[11]
Intermittent Explosive Disorder:
Kejadian intermittent explosive disorder sangat jarang pada masa anak. Pada kondisi ini, fokus perhatian terletak pada perilaku impulsif dan agresif terhadap orang lain yang lebih berat dibandingkan ADHD.[12]
Gangguan Kepribadian:
Pada remaja dan dewasa, gejala gangguan kepribadian borderline, narsisistik dan gangguan kepribadian lain harus dibedakan dengan ADHD dikarenakan kemiripan dalam kondisi disorganisasi, intrusif, serta disregulasi emosi dan kognitif. ADHD tidak ditandai dengan rasa takut akan pengabaian, melukai diri sendiri, ataupun ambivalensi berat. Namun, apabila ADHD terjadi bersama dengan kepribadian borderline, dapat menimbulkan disregulasi emosi berat.[13]
Gangguan Psikotik:
Apabila inatensi dan hiperaktif merupakan bagian dari gejala psikotik, maka tidak diperkenankan mendiagnosis ADHD. Komorbiditas ADHD dan spektrum psikotik menyebabkan perburukan gejala psikotik namun tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif.[14]
Benarkah Terdapat Overdiagnosis Attention-Deficit and Hyperactivity Disorder?
Dalam sebuah tinjauan sistematik yang diterbitkan oleh Journal of the American Medical Association atau JAMA (2021), dilakukan evaluasi terhadap 334 studi untuk menilai ada tidaknya bukti overdiagnosis ADHD pada anak dan remaja.
Dalam tinjauan ini, ditemukan bahwa diagnosis ADHD mengalami peningkatan sebagaimana dibuktikan oleh 45 studi. Selain itu, 25 studi yang dianalisis mengindikasikan bahwa kasus yang baru didiagnosis memiliki tingkat keparahan yang lebih ringan. Tinjauan ini juga mengungkapkan bahwa bukti dari 83 penelitian menunjukkan peningkatan pengobatan farmakologis untuk ADHD.
Temuan tinjauan tersebut mendukung adanya overdiagnosis dan pengobatan ADHD pada anak dan remaja. Mereka juga mencatat adanya kesenjangan bukti, khususnya mengenai manfaat dan bahaya jangka panjang dari diagnosis dan pengobatan ADHD pada remaja dengan gejala yang lebih ringan.[3]
Kondisi Di Indonesia
Prevalensi pasti ADHD di Indonesia belum diketahui. Saat ini juga belum didapatkan suatu kajian khusus yang membahas besaran overdiagnosis ADHD di Indonesia. Studi mengenai ADHD di Indonesia lebih banyak berfokus pada faktor risiko, polimorfisme, peran pola asuh, efek perilaku maladaptif, dan maternal parenting stress terhadap kejadian ADHD.[15-18]
Kerugian dari Overdiagnosis Attention-Deficit and Hyperactivity Disorder
Diagnosis ADHD yang semakin cepat akan bermanfaat dalam meningkatkan kesehatan mental, tumbuh kembang anak, dan optimalisasi akademik. Diagnosis dini juga dapat meningkatkan pemahaman orangtua mengenai ADHD beserta beberapa kemungkinan gangguan pola perilaku yang diakibatkannya. Pemahaman orangtua yang meningkat juga bisa menurunkan ketegangan dan rasa bersalah.[19-21]
Meski demikian, overdiagnosis ADHD akan membawa beberapa kerugian, terutama pada kasus dengan tingkat keparahan yang lebih ringan. Adanya stigma yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus (terkait label atau identitas diri) dapat membentuk pengalaman negatif di lingkungan sekolah dan sosial. Stigma ini juga bisa membentuk perasaan terisolasi, berbeda dari anak normal, tereksklusi, atau rasa malu.[20-25]
Selain itu, konsumsi medikamentosa yang digunakan untuk anak ADHD dapat memaparkan anak pada efek samping yang tidak perlu. Efek samping ini mencakup gangguan kardiovaskular, peningkatan risiko psikosis, tics, dan juga keracunan.[3]
Kesimpulan
Dokter perlu lebih cermat dalam mendiagnosis seseorang, terutama anak, sebagai pasien attention-deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Pastikan bahwa diagnosis sudah sesuai dengan kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh DSM-5 dan pastikan juga bahwa seluruh kemungkinan diagnosis banding sudah berhasil disingkirkan dengan yakin. Pertimbangkan juga dengan seksama manfaat dan risiko sebelum memberikan farmakoterapi pada pasien ADHD, terutama mereka dengan tingkat keparahan gejala yang lebih ringan.