Konsumsi paracetamol saat hamil dikhawatirkan berhubungan dengan kejadian hyperactivity disorder (ADHD) dan autisme pada anak dari beberapa studi. Saat ini, paracetamol masih merupakan drug of choice untuk mengelola demam atau nyeri selama kehamilan. Hal ini perlu diperhatikan, karena persentase penggunaan paracetamol oleh ibu hamil mencapai 46 sampai 56%.[2-4]
Mekanisme Kerja Paracetamol
Paracetamol bekerja melalui mekanisme penurunan sintesis prostaglandin dimana hasil metabolit akhirnya adalah N-acetyl-p-benzoquinone-imine (NAPQI) dan p-benzoquinone (p-BQI) yang dimetabolisme oleh sel hepatosit CYP450, isoform CYP2E1, yang diekspresikan di otak dan di tulang belakang. Paracetamol ini dapat menembus sawar plasenta sehingga dapat berisiko mempengaruhi perkembangan otak janin.[1]
Hubungan Paracetamol pada saat Kehamilan dengan ADHD dan Autis
Berbagai studi mengenai efek penggunaan paracetamol prenatal dengan kejadian attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan autis telah dilakukan.
Studi Meta Analisis oleh Kwot et al.
Studi meta analisis yang dilakukan oleh Kwok et al., menemukan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan paracetamol saat hamil dengan kejadian ADHD autism spectrum disorder (ASD). Risiko ini juga ditemukan meningkat pada penggunaan lebih dari 28 hari.[2]
Selain itu, dari studi ini didapatkan, bahwa kemungkinan risiko ADHD dipengaruhi dosis dan usia kehamilan saat mengkonsumsi paracetamol, dimana trimester ketiga adalah yang paling berisiko. Hal ini mungkin karena pemberian paracetamol perinatal mengganggu proses perkembangan dan diferensiasi jaringan otak yang pesat pada trimester ketiga.[2]
Akan tetapi, studi ini memiliki beberapa keterbatasan seperti tidak ada kesamaan kriteria dalam penegakan ADHD, bervariasinya durasi pemberian paracetamol, usia kehamilan saat mendapat paparan paracetamol tidak homogen, dan lamanya pemantauan usia anak yang berbeda-beda. Selain itu, usia ibu, gangguan psikiatri ibu, riwayat autisme serta ADHD keluarga, dan alasan penggunaan paracetamol baik karena infeksi yang menyebabkan demam dan analgesik juga mempengaruhi hasil penelitian.[2]
Studi Kohort Retrospektif oleh Masarwa R, et al.
Studi kohort retrospektif oleh Masarwa R, et al di Israel yang melibatkan 132.738 pasang ibu dan anak yang dipantau selama 3 sampai 11 tahun menemukan bahwa konsumsi paracetamol pada kehamilan berhubungan dengan meningkatnya risiko ADHD, autis, dan gejala hiperaktif. Risk ratio (RR) terjadinya ADHD adalah sebesar 1,34, sedangkan autis sebesar 1,19, sementara gejala hiperaktif sebesar 1,24.[3]
Akan tetapi, pada studi ini, ibu dengan penyakit komorbid dan demam adalah kelompok terbanyak yang menggunakan paracetamol. Keadaan ini sendiri sebenarnya sudah meningkatkan risiko gangguan neurodevelopmental fetus.[3]
Studi Meta Analisis oleh Alemany S, et al.
Studi meta analisis yang melibatkan 6 studi kohort di Eropa dengan total 73.881 pasangan ibu dan anak yang dipantau sampai 18 bulan menunjukan hubungan yang signifikan juga antara pemberian paracetamol pada saat kehamilan dengan kejadian autis dan ADHD.[4]
Paparan terhadap paracetamol terjadi pada kurang lebih 19 sampai 21% kehamilan dimana anaknya berisiko 0,9 sampai 12,9% autis dan 1,2 sampai 12,2% berisiko ADHD. Akan tetapi, pada studi ini, ibu yang konsumsi paracetamol saat prenatal lebih banyak dilakukan oleh ibu yang berusia >30 tahun, multipara, indeks massa tubuh (IMT) yang lebih tinggi, mengkonsumsi alkohol, merokok, serta memiliki masalah kesehatan mental. Hal-hal ini tentunya juga merupakan faktor kehamilan risiko tinggi.[4]
Pengaruh Heterogenisitas dan Faktor Pengganggu dalam Hasil Studi
Ahlqvist et al. tahun 2024 di Swedia melakukan studi yang melibatkan hampir 2,5 juta anak, mengevaluasi luaran autisme, ADHD, dan disabilitas intelektual pada anak-anak yang terpapar parasetamol selama kehamilan, berdasarkan rekam medis antenatal dan data resep.
Peneliti membandingkan anak-anak yang terpapar dengan yang tidak terpapar, kemudian mengulangi studi tersebut dengan membandingkan saudara kandung dari orang tua yang sama (satu terpapar, yang lain tidak) untuk mengontrol faktor genetik dan lingkungan. Luaran utama studi ini adalah diagnosis autisme, ADHD, atau disabilitas intelektual pada anak.[8]
Temuan Tanpa Kontrol Saudara Kandung (Model Standar)
Pada analisis konvensional, studi ini menunjukkan sedikit peningkatan risiko: autisme (HR 1,05), ADHD (HR 1,07), dan disabilitas intelektual (HR 1,05). Ini berarti risiko relatifnya sekitar 5-7% lebih tinggi pada kelompok yang terpapar parasetamol.
Meski demikian, risiko absolutnya pada usia 10 tahun tetap sangat kecil. Sebagai contoh, perbedaan persentase antara kelompok yang terpapar dan tidak terpapar hanya sebesar 0,2% untuk autisme, 0,4% untuk ADHD, dan 0,1% untuk disabilitas intelektual. Sederhananya, dari 1.000 anak, hanya ada tambahan sekitar 2 hingga 4 kasus autisme atau ADHD pada kelompok yang terpapar.[8]
Temuan dengan Kontrol Saudara Kandung (Uji Kausalitas yang Lebih Kuat)
Ketika membandingkan saudara kandung dari keluarga yang sama (satu terpapar parasetamol selama kehamilan, yang lain tidak), tidak ditemukan peningkatan risiko untuk autisme, ADHD, maupun disabilitas intelektual. Hasil ini menunjukkan bahwa korelasi kecil yang terlihat sebelumnya kemungkinan besar disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan dalam keluarga, bukan oleh efek langsung parasetamol.
Analisis dosis-respons lebih lanjut juga menegaskan temuan ini. Bahkan pada dosis resep yang lebih tinggi, tidak ada pola peningkatan risiko yang terlihat dalam perbandingan antar saudara kandung.[8]
Interpretasi
Peningkatan risiko yang kecil pada analisis standar kemungkinan besar disebabkan oleh faktor pengganggu, seperti kondisi kesehatan ibu atau faktor genetik keluarga, bukan karena efek langsung parasetamol.
Saat peneliti menggunakan perbandingan saudara kandung, metode yang efektif untuk mengontrol faktor genetik dan lingkungan yang sama, korelasi tersebut menghilang. Oleh karena itu, studi skala besar ini tidak menemukan hubungan sebab-akibat antara penggunaan parasetamol saat hamil dan risiko autisme, ADHD, atau disabilitas intelektual.[8]
Korelasi Lain Paparan Paracetamol selama Kehamilan terhadap Bayi
Selain gangguan neurodevelopmental, ADHD, dan autistik, berbagai studi lain juga menemukan adanya korelasi penggunaan paracetamol prenatal, terutama jangka panjang atau >28 hari, dengan risiko terjadinya penyakit lainnya terhadap bayi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain palsi serebral terutama unilateral spastik, gangguan motorik kasar, dan gangguan perilaku.[6]
Beberapa outcome lain yang berhubungan dengan penggunaan jangka panjang paracetamol selama kehamilan diantaranya keterlambatan bicara, kejadian infertilitas, kejadian asma atau atopi, berkurangnya sel stem pada sumsum tulang, dan aktifitas janin.[6]
Rekomendasi Penggunaan Paracetamol pada Ibu Hamil
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan bahwa, paracetamol masih dapat digunakan pada ibu hamil mengingat efeknya yang diperlukan untuk mengatasi demam atau nyeri.
Penggunaan sebaiknya diberikan dengan dosis serendah mungkin dengan durasi sesingkat mungkin. Penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi harus di bawah pengawasan ahli dan sangat dibatasi.[7]
Kesimpulan
Konsumsi parasetamol pada saat kehamilan memiliki korelasi dengan kejadian autis, ADHD, dan masalah lainnya pada anak terutama pada penggunaan jangka panjang, yaitu >28 hari. Akan tetapi, hasil studi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor maternal yang menyebabkan responden penelitian masuk dalam kelompok kehamilan risiko tinggi.
Hingga saat ini, tidak ada hubungan sebab-akibat yang ditemukan antara penggunaan parasetamol selama kehamilan dan autisme, ADHD, atau disabilitas intelektual.
Studi-studi sebelumnya yang menunjukkan kemungkinan korelasi antara penggunaan parasetamol pranatal dan autisme atau ADHD kemungkinan besar disebabkan oleh faktor pengganggu. Dalam sebuah studi besar yang melibatkan hampir 2,5 juta anak, korelasi tersebut menghilang ketika faktor genetik dan lingkungan diperhitungkan.
Sehingga, berdasarkan bukti ilmiah terkini, parasetamol aman dikonsumsi oleh ibu hamil.
Penulisan pertama oleh: dr. Gisheila Ruth Anggita
Direvisi oleh: dr. Eurena Maulidya Putri