Overuse Pemeriksaan CRP pada Pasien Pediatri

Oleh :
dr. Ferdinand Sukher

Pemeriksaan C-reactive protein (CRP) rutin dilakukan pada pasien pediatrik yang dicurigai mengalami infeksi. Pemeriksaan CRP sering dipakai untuk membedakan infeksi virus dari bakteri atau memantau respon terhadap antibiotik, seperti pada anak dengan demam atau neonatus dengan dugaan sepsis.[1,2]

Meski begitu, beberapa bukti ilmiah mengenai kegunaan tes CRP mengindikasikan adanya variasi yang besar dalam sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif tes ini, yang menimbulkan keraguan terhadap akurasi diagnostiknya. Selain itu, pemeriksaan CRP juga bukan pemeriksaan yang murah dan kurang tersedia di layanan kesehatan di Indonesia.[2,3]

Overuse Pemeriksaan CRP

Peran C-Reactive Protein dalam Kasus Infeksi

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang termasuk dalam acute phase reactants (APR). APR adalah sejumlah penanda yang meningkat jika terdapat inflamasi. Jika terjadi inflamasi, hepar akan mengeluarkan CRP melalui IL-6 yang akan berikatan dengan sel yang mengalami gangguan. CRP berfungsi dalam membantu menandai sel bakteri atau sel tubuh yang rusak, mengaktivasi sistem komplemen, dan membantu fagositosis.[1,2,4]

Penggunaan Klinis Pemeriksaan C-Reactive Protein

Pemeriksaan CRP dilakukan dengan mengambil sampel darah. Pemeriksaan CRP sering digunakan dalam membedakan infeksi bakteri dan virus, serta memandu penggunaan antibiotik, dimana kadar CRP yang sangat tinggi dianggap berkaitan dengan infeksi bakteri. Kadar CRP dianggap dalam batas normal jika di bawah 0,3 mg/dL. Kadar CRP dianggap meningkat bermakna jika melebihi 8-10 mg/dL.[1,2]

Pemeriksaan CRP sering dijadikan pemeriksaan laboratorium rutin jika terdapat tanda infeksi atau inflamasi, seperti demam, nyeri sendi, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, dan masalah sistemik lain. Pada awalnya, pemeriksaan ini direkomendasikan penggunaannya dengan tujuan untuk mengurangi peresepan berlebihan dari antibiotik. Meski demikian, dalam perkembangannya pemeriksaan CRP sering dilakukan secara universal tanpa kemudian mempengaruhi keputusan klinis.[1,3,5,6]

Overuse Pemeriksaan C-Reactive Protein

Perlu diketahui bahwa pemeriksaan CRP tidak secara spesifik menunjukkan adanya infeksi bakteri pada anak, melainkan berbagai studi telah menunjukkan korelasi yang kuat antara kadar CRP yang tinggi dengan infeksi bakteri jika dibandingkan infeksi virus. Oleh sebab itu, pemeriksaan CRP sering dijadikan dasar bagi tenaga medis dalam menentukan terapi.[3,7]

Sayangnya, berbagai bukti menunjukkan bahwa pemeriksaan CRP memiliki variasi akurasi diagnostik yang luas. Berbagai bukti juga menunjukkan bahwa, meskipun kerap dilakukan secara rutin pada seluruh anak dengan keluhan yang mengindikasikan infeksi, hasil pemeriksaan CRP jarang mempengaruhi pengambilan keputusan klinis oleh dokter ataupun luaran klinis pasien.[3,5,6,8]

American Association of Pediatricians (AAP) menyorot rutinnya pemeriksaan CRP yang dilakukan di perawatan intensif neonatal (NICU). Menurut AAP, penggunaan pemeriksaan CRP yang berulang meningkat hingga 2 kali lipat sejak diperkenalkannya pedoman early onset sepsis. AAP menyatakan bahwa rekomendasi untuk meningkatkan pengujian CRP pada neonatus justru memperbanyak penggunaan pengujian yang lebih invasif dan memperpanjang durasi rawat inap tanpa adanya efek peningkatan luaran klinis.[8,9]

Basis Bukti Adanya Overuse Pemeriksaan C-Reactive Protein

Sebuah studi menyelidiki dampak hasil pemeriksaan CRP terhadap pengambilan keputusan dalam kasus infeksi bakteri pada anak. Penelitian ini melakukan tinjauan retrospektif terhadap pasien anak yang dirawat di bangsal atau NICU di American University of Beirut Medical Center, mencakup pasien dengan infeksi akut atau sepsis neonatal sebagai diagnosis masuk.

Peneliti mengumpulkan data dari catatan rumah sakit, termasuk usia, diagnosis masuk rumah sakit, diagnosis akhir, jumlah tes CRP yang dilakukan, lama rawat inap di rumah sakit, dampak hasil CRP terhadap pengambilan keputusan atau manajemen klinis, tes laboratorium tambahan atau pengobatan yang dilakukan berdasarkan hasil CRP, dan keseluruhan tagihan rumah sakit saat keluar.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari hasil tes CRP yang mempengaruhi pengambilan keputusan klinis. Hanya 12,9% tes CRP yang dilakukan pada neonatus dengan dugaan sepsis neonatal dan 29,9% tes yang dilakukan pada anak demam dengan dugaan infeksi bakteri yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Selain itu, pemeriksaan CRP rutin untuk anak yang menderita infeksi ditemukan menyebabkan peningkatan biaya kesehatan yang tidak perlu.[6]

Keraguan dalam Akurasi Diagnostik Pemeriksaan C-Reactive Protein

Bukti ilmiah yang ada menunjukkan variasi yang luas dalam hal performa diagnostik pemeriksaan CRP. Dalam sebuah studi di Asia Tenggara yang melibatkan 1372 pasien demam, CRP dilaporkan memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 67% dalam hal membedakan infeksi bakteri dengan virus apabila digunakan batasan 20 mg/dL. Apabila batasan yang digunakan adalah 10 mg/dL, maka sensitivitas dilaporkan sebesar 95%, tetapi spesifisitas menurun menjadi 49%.[10]

Dalam studi lain yang melibatkan 428 pasien dengan demam non-severe non-malaria, pemeriksaan CRP ditemukan memiliki manfaat terbatas untuk mengidentifikasi anak dengan infeksi bakteri. Berdasarkan studi ini, CRP memiliki sensitivitas 37,5% untuk pneumonia dan 57,1% untuk infeksi saluran kemih, dengan spesifisitas 78% untuk kedua penyakit tersebut. Negative predictive values dilaporkan di atas 80%, dengan positive predictive values kurang dari 35%.[11]

Berbagai studi lain juga menunjukkan hasil serupa, yakni akurasi diagnostik dari pemeriksaan CRP sangat bervariasi antar studi dan setting klinis. Selain itu, ambang batas yang berlaku secara universal untuk menyatakan mana yang mengarah kepada infeksi bakteri sulit ditentukan. Hal lain yang juga perlu dicatat adalah kadar CRP juga meningkat pada kasus non infeksi bakteri, misalnya dalam kasus infeksi malaria.[3]

Cara Menghindari Overuse Pemeriksaan C-Reactive Protein

Seperti telah disebutkan di atas, penggunaan pemeriksaan CRP awalnya ditujukan untuk membantu dokter mengurangi peresepan antibiotik yang tidak perlu. Beberapa studi telah melaporkan bahwa kadar CRP merupakan biomarker yang bermanfaat sebagai rapid point-of care test, serta aman dan efektif dalam mengurangi peresepan antibiotik. Oleh sebab itu, jika digunakan dengan bijak, pemeriksaan ini akan membawa manfaat klinis bagi dokter dan pasien.[3]

Seleksi Pasien

Salah satu cara terpenting untuk menghindari overuse dari pemeriksaan CRP adalah dengan seleksi pasien yang tepat. Menurut sebuah uji klinis yang melibatkan 2773 anak di praktik pribadi di Belgia, pemeriksaan CRP dapat bermanfaat apabila digunakan pada anak dengan risiko tinggi (ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis).

Dalam studi ini, pasien berisiko tinggi adalah mereka yang diidentifikasi memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi serius, antara lain pasien dengan suhu ≥ 40 °C, usia 12-30 bulan, diare, ataupun sesak napas.

Menurut studi ini, membatasi pengujian CRP pada anak yang diidentifikasi memiliki risiko klinis dilaporkan akan mengurangi jumlah anak yang menjalani pemeriksaan hingga hampir 80%. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa kadar CRP di bawah 5 mg/dL dapat menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi serius, sehingga dokter umum dapat menghindari rujukan ke rumah sakit yang tidak perlu.[12]

Kesimpulan

Pemanfaatan pengujian laboratorium yang berlebihan merupakan hal yang umum dalam praktik klinis. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan pasien, meningkatkan biaya layanan kesehatan, menyia-nyiakan sumber daya kesehatan, dan mempengaruhi kualitas layanan.

Dalam hal CRP, pemeriksaan ini sangat sering dilakukan untuk semua pasien anak yang mengeluhkan gejala yang mengarah pada infeksi, misalnya demam, batuk, atau diare. Padahal, berbagai studi mengindikasikan bahwa pemeriksaan CRP memiliki akurasi diagnostik dalam membedakan infeksi bakteri dari virus yang tergantung setting klinis, serta hasil pemeriksaan ini jarang mempengaruhi pengambilan keputusan klinis oleh dokter.

Untuk mengurangi overuse pemeriksaan CRP pada pasien pediatrik, dokter dapat melakukan seleksi pasien. Pemeriksaan CRP sebaiknya hanya dilakukan jika hasilnya memang dianggap akan mengubah manajemen klinis pada pasien.

Referensi