Panduan Klinis Evaluasi Batuk Kronik

Oleh :
dr. Alicia Pricelda

Evaluasi batuk kronis bisa menyulitkan klinisi karena ada banyak sekali kemungkinan etiologi yang mendasari, termasuk tuberkulosis paru dan asma. Secara umum, batuk kronis didefinisikan sebagai batuk yang bertahan selama 8 minggu atau lebih. Pada dasarnya batuk merupakan mekanisme protektif tubuh, tetapi batuk yang terus menerus bisa menandakan adanya mekanisme patologis signifikan yang memerlukan intervensi medis.[1,2]

Identifikasi karakteristik batuk melalui anamnesis, serta mengenali manifestasi spesifik pada pemeriksaan fisik merupakan langkah awal dalam evaluasi batuk kronis yang baik. Evaluasi lanjutan, seperti rontgen dada atau uji respons terapi empiris, dilakukan dengan disesuaikan terhadap usia dan konteks klinis pasien.[3]

Panduan Klinis Evaluasi Batuk Kronis

Diagnosis Banding yang Perlu Dipikirkan Saat Mengevaluasi Batuk Kronik

Salah satu cara yang bisa digunakan dalam mengevaluasi batuk kronis adalah dengan mengidentifikasi cough pointers. Cough pointers bisa membantu mengarahkan klinisi pada kemungkinan penyebab spesifik dari batuk kronis. Contoh cough pointers adalah hemoptisis, penurunan berat badan, atau suara napas mengi.[3]

Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan saat mengevaluasi pasien dengan batuk kronis di Indonesia adalah tuberkulosis paru, asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan bronkitis kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), serta bronkiektasis.[2]

Infeksi Tuberkulosis

Individu yang terinfeksi tuberkulosis paru bisa mengalami batuk produktif yang berkepanjangan. Gejala lain dapat meliputi nyeri dada pleuritik, demam ringan, hemoptisis, kelelahan, kehilangan nafsu makan, keringat malam, dan penurunan berat badan.

Untuk mengidentifikasi tuberkulosis paru pada pasien dengan batuk kronis, anamnesis perlu mencakup riwayat paparan tuberkulosis, gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, serta penilaian terhadap faktor risiko seperti imunosupresi. Pemeriksaan penunjang meliputi rontgen toraks untuk mendeteksi lesi khas tuberkulosis seperti infiltrat apikal atau kavitas, serta pemeriksaan dahak untuk deteksi Mycobacterium tuberculosis.

Diagnosis pasti ditegakkan bila terdapat bukti mikrobiologis, seperti pada pewarnaan BTA (bakteri tahan asam), tes cepat molekuler, atau kultur. Namun, pada kasus dengan gambaran klinis dan radiologis kuat, terapi empiris dapat dimulai sembari menunggu hasil pemeriksaan konfirmasi.[4]

Asma

Pada asma dengan varian asma batuk, biasanya batuk merupakan satu-satunya gejala dan tidak memiliki gejala asma lain yang khas seperti mengi atau sesak napas. Pada asma tipe ini saluran napas menjadi hiperresponsif terhadap berbagai faktor pencetus. Batuk bisa berlangsung lama atau timbul di saat-saat tertentu seperti pagi atau malam hari.

Restriksi jalan napas yang reversible dengan bronkodilator merupakan fitur diagnostik pada asma. Peningkatan FEV1 setelah pemberian bronkodilator menjadi ≥12% dari baseline atau setidaknya 200 ml akan mengonfirmasi diagnosis asma.[2,5]

PPOK dan Bronkitis Kronik

PPOK dan bronkitis kronis perlu dicurigai pada pasien batuk kronis dengan faktor risiko seperti riwayat merokok jangka panjang, serta gejala batuk produktif menetap, sesak napas progresif, dan napas berbunyi. Diagnosis bisa ditegakkan secara objektif melalui spirometri yang menunjukkan obstruksi aliran udara persisten.

Bronkitis kronis, sebagai salah satu fenotipe PPOK, didefinisikan secara klinis dengan batuk berdahak hampir setiap hari selama ≥3 bulan dalam 2 tahun berturut-turut, tanpa penyebab lain yang jelas. Pemeriksaan tambahan seperti rontgen toraks bisa digunakan untuk alat bantu diagnosis, dan bisa menjadi pemeriksaan awal untuk menilai apakah ada penyebab batuk kronis lain, seperti keganasan paru.[1,6]

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Pasien dengan GERD juga bisa mengalami batuk kronis. Batuk disebabkan oleh efek iritasi esofagus proksimal dan area laringofaring oleh asam lambung. Iritasi ini memicu refleks batuk sebagai respon protektif untuk membersihkan saluran napas. Isi lambung juga dapat mengiritasi esofagus distal sehingga mengakibatkan batuk.[2]

GERD perlu dicurigai jika batuk kronis disertai dengan rasa terbakar di dada (heartburn), regurgitasi asam, atau rasa asam di mulut, meskipun pada sebagian pasien batuk dapat menjadi satu-satunya gejala (silent reflux). Pemeriksaan penunjang seperti kuesioner terstandar (misalnya Reflux Symptom Index) dapat membantu mengidentifikasi kemungkinan refluks sebagai pemicu batuk.

Pemeriksaan pH metry 24 jam atau impedans manometri esofagus bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosis, terutama pada kasus dengan gejala tidak khas. Namun, dalam praktik klinis, uji terapi empiris dengan penggunaan penghambat pompa proton (PPI) selama 8 minggu dapat dijadikan pendekatan awal untuk menilai kemungkinan hubungan antara GERD dan batuk.[2,7]

Efek Samping Obat

Batuk juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan. Salah satu yang paling umum berkaitan dengan efek batuk adalah penggunaan ACE inhibitor seperti captopril, enalapril, lisinopril, perindopril, dan ramipril pada pasien hipertensi.

Batuk akibat ACE inhibitor biasanya bersifat kering, persisten, dan tidak terkait waktu penggunaan obat, serta dapat muncul setelah penggunaan jangka panjang. Bila efek samping obat dicurigai sebagai penyebab batuk kronis, penggantian obat bisa dipertimbangkan. Diagnosis ditegakkan bila batuk membaik dalam beberapa minggu setelah penghentian obat.[2]

Bronkiektasis

Bronkiektasis ditandai dengan dilatasi bronkus yang abnormal dan ireversibel. Bronkiektasis dapat dicurigai pada pasien dengan batuk kronis produktif yang berulang, sering disertai eksaserbasi infeksi saluran napas bawah, hemoptisis, atau napas berbunyi. Diagnosis dikonfirmasi melalui high-resolution CT (HRCT) toraks yang menunjukkan dilatasi bronkus abnormal dan tanda klasik seperti tram-track atau signet-ring sign.[1-3]

Idiopatik

Batuk yang terus menerus tanpa penyebab yang mendasari disebut batuk kronis yang tidak dapat dijelaskan (unexplained chronic cough). Batuk kronis idiopatik ditegakkan sebagai diagnosis eksklusi setelah seluruh penyebab lain telah disingkirkan melalui evaluasi klinis dan penunjang yang memadai.

Pasien umumnya menunjukkan batuk persisten tanpa temuan abnormal pada pemeriksaan fisik, radiologi, dan fungsi paru, serta tidak merespons terapi konvensional. Pada kondisi seperti ini, batuk kronis mungkin disebabkan oleh gangguan neurosensorik.[1,2,8]

Kanker Paru

Batuk kronik tanpa penyebab yang jelas dan disertai dengan hemoptisis, penurunan berat badan, dan faktor risiko seperti merokok, riwayat keluarga dengan kanker paru, atau riwayat kanker lainnya bisa mengindikasikan kanker paru. Rontgen paru digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk menilai adanya kanker paru pada pasien dengan kecurigaan klinis dan faktor risiko.[1,8]

Evaluasi Batuk Kronis

Evaluasi pada pasien dengan batuk kronik harus dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detail. Evaluasi klinis tersebut bisa mengarahkan dokter pada beberapa diagnosis banding yang paling mungkin. Pemeriksaan penunjang awal yang bisa dilakukan sesuai indikasi adalah rontgen toraks dan tes fungsi paru. CT scan toraks tidak direkomendasikan secara rutin kecuali ada indikasi kuat, seperti pada kasus di mana keganasan dicurigai.

Rontgen toraks juga bisa digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk mendeteksi tuberkulosis paru aktif, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mengidentifikasi infeksi laten. Untuk konfirmasi tuberkulosis aktif, pemeriksaan mikroskopik dari sampel dahak merupakan metode diagnosis yang dianjurkan. Meski begitu, kultur dan pemeriksaan mikroskopik lain akan memerlukan waktu periksa yang lama, sehingga dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.

Selain langkah pemeriksaan tersebut, adanya respon terhadap percobaan terapi, misalnya pemberian bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi pada kecurigaan asma, atau pemberian PPI pada kecurigaan GERD, juga merupakan strategi diagnostik yang bisa digunakan.[1-3]

Kesimpulan

Untuk mengevaluasi batuk kronis, dokter perlu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari manifestasi-manifestasi klinis yang mengarah pada suatu diagnosis banding spesifik (cough pointers). Sebagai contoh, adanya batuk kronis produktif yang disertai keringat malam hari dan penurunan berat badan atau riwayat paparan tuberkulosis, bisa mengarahkan diagnosis dan pemeriksaan lanjutan ke arah tuberkulosis paru.

Pemeriksaan penunjang dipilih sesuai indikasi dan skenario klinis masing-masing pasien. Rontgen toraks umumnya bermanfaat sebagai pemeriksaan inisial. Rontgen toraks bisa mengidentifikasi lesi tuberkulosis aktif, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), maupun keganasan paru.

Pada pasien dengan kecurigaan asma, spirometri atau uji provokasi bronkus bisa dilakukan. Strategi diagnostik lain adalah menilai respon pasien terhadap percobaan terapi asma dengan inhalasi bronkodilator dan kortikosteroid. Jika batuk dicurigai berkaitan dengan GERD, percobaan pemberian penghambat pompa proton bisa dilakukan.

Referensi