Pedoman Pencegahan dan Manajemen Delirium pada Setting Rawat Intensif – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ

Pedoman untuk pencegahan, diagnosis, dan penatalaksanaan delirium di unit rawat intensif pasca operasi dipublikasikan oleh The Scientific Committee of the Spanish Society of Anaesthesiology, Resuscitation and Pain Therapy pada tahun 2025. Pedoman ini adalah implementasi dari Zero Delirium Project di unit rawat intensif di Spanyol.

Pedoman ini mengajukan beberapa rekomendasi untuk kasus delirium di setting rawat intensif. Pedoman ini tidak hanya memberikan rekomendasi untuk tata laksana delirium, tapi rekomendasi penggunaan berbagai instrumen untuk diagnosis dan evaluasi delirium di ruang rawat intensif, dan rekomendasi untuk pencegahan delirium secara nonfarmakologi dan farmakologi di ruang rawat intensif, serta tata laksana delirium secara komprehensif.[1]

Pedoman Pencegahan dan Manajemen Delirium pada Setting Rawat Intensif

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Penyakit Delirium
Tipe Pencegahan, diagnosis, evaluasi, dan tata laksana delirium di ruang rawat intensif pasca operasi
Yang Merumuskan The Scientific Committee of the Spanish Society of   Anaesthesiology, Resuscitation and Pain Therapy
Tahun 2025
Negara Asal Spanyol
Dokter Sasaran Klinisi yang menangani pasien di unit rawat intensif pasca operasi

Penentuan Tingkat Bukti

Pedoman ini disusun oleh sebuah panel dokter anestesi di Spanyol dan ditinjau oleh The Scientific Committee of the Spanish Society of Anaesthesiology, Resuscitation and Pain Therapy. Pedoman ini disusun berdasarkan literatur dari tinjauan sistematik dan naratif, editorial, meta analisis, randomized controlled trials, dan uji observasional. Literatur diambil dari basis data PubMed, the Cochrane library, Scopus, the ISI Web of Knowledge, dan Embase.

Penilaian kualitas publikasi yang digunakan untuk pengembangan pedoman ini didasarkan pada the Appraisal of Guidelines for Research and Evaluation (AGREE II). Publikasi yang ditemukan kemudian digunakan untuk menyusun rekomendasi klinis. Setiap rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan kekuatan dan kualitas buktinya menurut kriteria Grading of Recommendations, Assessment, Development and Evaluation (GRADE).[1]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Perubahan dalam pedoman ini adalah adanya rekomendasi diagnosis dan evaluasi delirium, serta rekomendasi untuk pencegahan delirium yang dilengkapi dengan penggunaan berbagai instrumen, bukan hanya rekomendasi untuk tata laksana delirium dan spesifik pada setting rawat intensif untuk pasien dewasa pasca operasi.

Berbeda dengan pedoman tata laksana delirium oleh American Psychiatric Association (APA), pedoman ini secara luas memberikan berbagai rekomendasi untuk mencegah timbulnya delirium pada semua pasien di rawat intensif dengan target zero delirium. Sementara itu, pada pedoman APA, pencegahan hanya spesifik pada pasien yang sudah teridentifikasi berisiko atau pada pasien yang telah mengalami delirium. Namun, pedoman ini tidak sedetail pedoman NICE dan APA.[2,3]

Rekomendasi Diagnosis dan Evaluasi Delirium

Rekomendasi pertama adalah mengenai diagnosis dan evaluasi delirium yang mencakup:

  • Rekomendasi untuk penggunaan instrumen skrining secara rutin setiap hari untuk semua pasien atau pasien dengan perubahan status kognitif
  • Rekomendasi penggunaan instrumen untuk menilai tingkat keparahan delirium
  • Rekomendasi penggunaan instrumen Clinical Dementia Rating (CDR) atau AD8 untuk identifikasi dan diagnosis demensia pada pasien dengan delirium
  • Rekomendasi untuk perawat menggunakan skala Delirium-O-meter, Nu-DESC atau 4AT untuk skrining sebelum penegakan diagnosis medis
  • Rekomendasi pemeriksaan platelet-lymphocyte ratio (PLR) atau EEG pada pasien dewasa untuk mengidentifikasi delirium sebelum penggunaan skala untuk konfirmasi diagnosis.[1]

Rekomendasi Pencegahan Delirium Secara Nonfarmakologi

Pedoman ini juga membahas rekomendasi mengenai pencegahan delirium secara nonfarmakologi. Rekomendasi yang diberikan adalah untuk antisipasi delirium, yakni mencakup:

  • Lakukan skrining faktor risiko dan faktor presipitasi delirium pada baseline. Gunakan skala prediktif delirium untuk menilai kemungkinan timbulnya delirium
  • Lakukan trakeostomi lebih awal untuk menurunkan kebutuhan sedasi dan meningkatkan kemampuan pasien berkomunikasi
  • Gunakan analgesik non-opioid untuk mengurangi kebutuhan penggunaan opioid. Hindari penggunaan sedasi farmakologi dan utamakan sleep hygiene.

  • Lakukan pencegahan lebih awal dan manajemen sindrom putus zat akibat penggunaan obat sebelum pasien masuk ke unit intensif atau ketika proses admisi
  • Lakukan mobilisasi lebih awal dengan sesi latihan fisik pasif dan aktif, serta batasi waktu bed rest.

Selain itu, untuk pencegahan delirium pedoman ini juga merekomendasikan penggunaan alat bantu untuk pasien yang mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan, serta untuk memastikan kecukupan asupan nutrisi dan cairan. Pedoman ini juga merekomendasikan untuk sebisa mungkin menghindari penggunaan kateter urin, serta pemantauan tanda-tanda retensi urin, konstipasi, dan impaksi fekal.

Rekomendasi pada pedoman ini juga mencakup pencegahan self-harm atau kecelakaan dengan memastikan pasien selalu ada yang menjaga atau menemani. Lebih lanjut, pedoman ini juga menganjurkan untuk menghindari penggunaan restrain fisik.[1]

Rekomendasi Pencegahan Delirium Secara Farmakologi

Beberapa rekomendasi terkait pencegahan delirium secara farmakologi adalah:

  • Hindari penggunaan premedikasi rutin dengan benzodiazepine
  • Gunakan protokol sedasi dan skala pengukuran agitasi-sedasi yang valid
  • Gunakan dexmedetomidine untuk sedasi pada pasien dengan ventilasi mekanis.[1]

Rekomendasi Tata Laksana Farmakologi dan Nonfarmakologi Delirium

Untuk penatalaksanaan nonfarmakologi, pedoman ini merekomendasikan:

  • Penggunaan komunikasi dan orientasi yang efektif, serta menjaga siklus tidur pasien
  • Hindari atau sebisa mungkin mengurangi penggunaan kateter urin, kateter vaskular, dan restrain fisik
  • Lakukan pencegahan malnutrisi dan konstipasi, serta mobilisasi lebih awal.

Untuk penatalaksanaan farmakologi delirium, rekomendasi dalam pedoman ini mencakup:

  • Penggunaan haloperidol atau antipsikotik atipikal dosis rendah
  • Hindari penggunaan benzodiazepine pada pasien lansia dan pasien dengan penyakit paru
  • Gunakan benzodiazepine atau clomethiazole untuk pasien yang mengalami gejala putus zat akibat alkohol
  • Pertimbangkan penggunaan melatonin pada pasien yang mengalami insomnia yang tidak merespon modalitas lainnya.[1]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Pedoman tata laksana delirium yang banyak digunakan di Indonesia adalah pedoman dari APA. Meski demikian, umumnya terdapat Pedoman Praktik Klinis yang dikembangkan oleh masing-masing rumah sakit dan institusi kesehatan berdasarkan publikasi internasional.

Pedoman lain yang umum dijadikan acuan di Indonesia adalah Pedoman Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama yang diterbitkan oleh PB IDI. Namun, pedoman ini hanya mencakup penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang untuk delirium, tidak secara spesifik memaparkan pencegahan dan manajemen dalam setting perawatan intensif.[4]

Kesimpulan

Pedoman pencegahan dan manajemen delirium di setting perawatan intensif dipublikasikan oleh The Scientific Committee of the Spanish Society of Anaesthesiology, Resuscitation and Pain Therapy pada tahun 2025. Beberapa rekomendasi utama dalam pedoman klinis ini adalah:

  • Lakukan skrining delirium secara rutin pada semua pasien ICU menggunakan instrumen terstandar (misalnya 4AT, Nu-DESC, Delirium-O-meter), termasuk penilaian tingkat keparahan dan identifikasi komorbid (misalnya demensia dengan CDR atau AD8).
  • Terapkan pencegahan delirium secara menyeluruh (zero-delirium approach) untuk semua pasien ICU, dengan fokus pada intervensi nonfarmakologi seperti optimalisasi tidur, mobilisasi dini, mengurangi bed rest, penggunaan alat bantu sensorik, serta pencegahan dehidrasi, malnutrisi, konstipasi, dan retensi urin.
  • Minimalkan sedasi dan penggunaan opioid, termasuk menghindari benzodiazepine sebagai premedikasi rutin. Gunakan analgesik non-opioid jika memungkinkan, serta gunakan protokol sedasi yang terstandar.
  • Hindari penggunaan kateter dan restrain fisik sebisa mungkin. Pastikan pula untuk melakukan pengawasan untuk mencegah self-harm atau kecelakaan, serta pertahankan orientasi dan komunikasi terapeutik.
  • Gunakan terapi farmakologi secara selektif, terutama haloperidol atau antipsikotik atipikal dosis rendah untuk delirium. Gunakan benzodiazepine hanya untuk gejala putus zat akibat alkohol, dan pertimbangkan dexmedetomidine untuk sedasi pada pasien dengan ventilasi mekanis serta melatonin untuk insomnia yang tidak responsif terhadap intervensi lain.

Referensi