Challenging the View that Lack of Fibre Causes Childhood Constipation
Tappin D, Grzeda M, Joinson C, Heron J. Challenging the view that lack of fibre causes childhood constipation. Archives of Disease in Childhood. 2020 Sep;105(9):864-868. PMID: 32156695.
Abstrak
Tujuan: Untuk menilai adekuat tidaknya bukti-bukti yang mendukung bahwa kekurangan serat menyebabkan konstipasi pada anak.
Desain: Triangulasi untuk menilai tiga bukti ilmiah, yaitu tinjauan sistematik terhadap pedoman NICE CG99 yang mengevaluasi efektivitas peningkatan asupan serat, studi kohort ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang menilai apakah konstipasi (atau tinja keras) dapat mendahului asupan serat saat masa penyapihan, dan pencarian literatur pada anak kembar untuk melihat faktor hereditas.
Metode: CG99 meninjau literatur mengenai efektivitas peningkatan asupan serat. Studi ALSPAC menanyakan kepada orang tua tentang ada tidaknya tinja keras pada usia 4 minggu, 6 bulan, dan 2,5 tahun, konstipasi pada usia 4–10 tahun, dan asupan serat pada usia 2 tahun. Pencarian studi pada anak kembar dan data dari ALSPAC akan digabung untuk menilai kesesuaian konstipasi dengan membandingkan pasangan anak kembar monozigot dan dizigot.
Partisipan: CG99 melaporkan 6 uji acak terkendali. ALSPAC mendapatkan data tentang tinja keras pada 6796 anak di usia 4 minggu, 9828 anak di usia 6 bulan, dan 9452 anak di usia 2,5 tahun, serta data mengenai konstipasi pada 8401 anak di usia 4–10 tahun. Kedua data ini dibandingkan dengan asupan serat saat usia 2 tahun. Pencarian studi pada anak kembar didapatkan 338 dan 93 pasang anak kembar dengan penambahan data dari ALSPAC sebanyak 45.
Hasil: Peningkatan asupan serat tidak secara efektif menatalaksana konstipasi. Tinja keras pada usia 4 minggu mendahului asupan serat dan tinja keras pada usia 6 bulan memprediksi asupan serat rendah pada usia 2 tahun (p=0,003). Adanya aspek herediter pada konstipasi adalah sekitar 59%.
Kesimpulan: Uji-uji klinis acak terkendali menemukan bahwa peningkatan asupan serat bukan merupakan tata laksana yang efektif untuk konstipasi pada anak. Adanya tinja yang keras dapat mendahului dan memprediksi asupan serat di kemudian hari. Faktor genetik memiliki peran pada sebagian besar konstipasi pada anak. Tata laksana jangka panjang dengan pencahar dapat memperbaiki asupan serat dan membatasi dampak jangka panjang dari konstipasi.
Ulasan Alomedika
Studi ini membahas apakah asupan serat yang rendah menjadi penyebab terjadinya konstipasi pada anak. Pelaku studi ini berpendapat bahwa adanya anggapan bahwa diet rendah serat merupakan penyebab konstipasi dapat memperlambat pemberian laksatif yang merupakan tata laksana utama konstipasi pada anak. Studi ini dibuat dengan metode triangulasi untuk memperkuat bukti dari beberapa metode penelitian terkait hubungan kausal antara diet rendah serat dengan konstipasi pada anak.
Ulasan Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah triangulasi dari beberapa penelitian, yaitu uji acak terkendali yang telah dirangkum dalam panduan dari NICE CG99, uji kohort dari data ALSPAC, dan studi pada anak kembar.
Panduan NICE CG99 merangkum 6 uji acak terkendali untuk menjawab pertanyaan apakah meningkatkan asupan serat dapat menjadi tata laksana pada konstipasi idiopatik kronik. Pertanyaan ini kurang tepat dari tujuan utama penelitian yang ingin mengetahui apakah asupan rendah serat dapat menyebabkan konstipasi. Studi yang digunakan pun tidak tercantum di dalam jurnal sehingga kesahihan jurnal tidak dapat dinilai.
Metode kedua adalah studi kohort yang menilai asupan serat pada usia 2 tahun dan kejadian tinja keras pada usia 4 minggu, 6 bulan, dan 2,5 tahun serta kejadian konstipasi pada usia 4 – 10 tahun. Frekuensi tinja keras pada usia 4 minggu dibagi menjadi 4 kategori (selalu, sering, kadang, dan tidak pernah), sementara frekuensi pada usia 6 bulan dan 2,5 tahun dibagi menjadi 3 kategori (sering, kadang, dan tidak pernah).
Studi kohort tersebut mencakup jumlah sampel yang besar dan sudah memasukkan beberapa faktor perancu seperti kondisi sosio-ekonomi, durasi menyusu, dan usia pemberian makanan pertama. Akan tetapi, penilaian asupan serat kurang tepat. Pada penelitian, asupan dinilai dari seberapa sering makanan yang berserat dikonsumsi, mulai dari tidak pernah sampai >7 kali dalam satu pekan. Penilaian ini kurang tepat karena kecukupan serat lebih baik dilihat dari berapa gram serat yang dikonsumsi per hari. Definisi tinja keras juga tidak dipaparkan secara spesifik.
Metode ketiga melihat adanya faktor hereditas dari konstipasi dengan melihat kejadian konstipasi pada anak kembar dan sudah membedakan antara anak kembar monozigot dengan heterozigot.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran utama studi ini ingin menilai apakah asupan rendah serat memiliki hubungan kausalitas dengan konstipasi pada anak. Studi dari panduan NICE CG99 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung pemberian makanan tinggi serat dapat menjadi tata laksana efektif saat konstipasi dan penambahan serat pada diet seimbang dapat menyebabkan gejala konstipasi memberat.
Pemberian suplementasi serat sebagai tata laksana konstipasi idiopatik juga tidak memiliki bukti yang cukup. Hasil penelitian ini tidak menjawab pertanyaan penelitian apakah asupan rendah serat menyebabkan konstipasi. Namun, hasil ini menegaskan bahwa penambahan serat tidak dapat digunakan sebagai tata laksana. Pemberian laksatif tetap menjadi tata laksana utama konstipasi pada anak. Setelah tinja dapat dievakuasi, pengaturan diet setelahnya perlu ditinjau kembali.
Hasil dari studi kohort ALSPAC menemukan bahwa 1% bayi berusia 4 minggu selalu mengalami tinja keras, 12% bayi berusia 6 bulan sering mengalami tinja keras, dan 28% anak berusia 2,5 tahun sering mengalami tinja keras. Adanya tinja keras pada usia 4 minggu dan 6 bulan ini dihubungkan dengan asupan serat pada usia 2 tahun dengan teori bahwa anak yang memiliki tinja keras akan memiliki nafsu makan yang rendah.
Dengan menggunakan regresi multinomial, didapatkan bahwa adanya tinja keras pada usia 6 bulan berhubungan dengan asupan serat pada usia 2 tahun (nilai p = 0,003 setelah disesuaikan dengan faktor perancu). Walaupun secara statistik bermakna, hubungan ini hanya memprediksi asupan serat saat usia 2 tahun sebanyak 5,58% (R2 = 0,0558) yang berarti masih banyak faktor lain yang menyebabkan rendahnya asupan serat saat berusia 2 tahun.
Luaran lain yang dinilai dari kohort ini adalah hubungan asupan serat pada usia 2 tahun dengan adanya tinja keras pada usia 2,5 tahun dan konstipasi pada usia 4–10 tahun. Studi ini menemukan adanya hubungan yang kuat antara asupan serat dengan adanya tinja keras pada usia 2,5 tahun dengan nilai p<0,001 dan OR 0,817 (0,744–0,897) dan konstipasi persisten dengan nilai p=0,002 dan OR 0,748 (0,643–0,869).
Hal ini menjelaskan bahwa tinja keras merupakan prediktor konstipasi di kemudian hari karena dapat mendahului pemberian serat dan memprediksi asupan serat. Namun, untuk menarik kesimpulan tersebut sebaiknya hubungan yang dinilai adalah hubungan antara adanya tinja keras pada usia 4 minggu, 6 bulan, dan 2,5 tahun dengan kejadian konstipasi pada usia 4–10 tahun. Dengan demikian, faktor penyebab konstipasi lain selain asupan serat dapat dipikirkan dan intervensi lebih dini pada bayi juga dapat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya konstipasi pada masa anak-anak.
Hasil studi ketiga pada data anak kembar di Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris menunjukkan hasil yang serupa, yaitu kejadian konstipasi pada anak kembar monozigot lebih banyak dibandingkan kembar heterozigot. Hal ini dapat menjelaskan faktor herediter memiliki kemungkinan 59% untuk menyebabkan konstipasi pada anak. Hal ini serupa dengan kelainan gastrointestinal fungsional lain.
Kelebihan Penelitian
Studi ini menggabung analisis tiga metode penelitian untuk menjawab satu pertanyaan sehingga dapat mengeliminasi bias antar metode. Ketiga penelitian yang dimasukkan mencakup kualitas desain penelitian yang baik untuk menjawab hubungan kausalitas, yaitu uji acak terkendali dan uji kohort.
Studi yang dilakukan mencakup jumlah sampel yang besar, yakni hampir mencapai 10.000. Beberapa faktor perancu juga sudah diidentifikasi, seperti faktor sosiodemografi yang memengaruhi asupan serat, durasi menyusu, dan waktu pertama kali ketika ibu memperkenalkan makanan selain ASI.
Kelebihan lain dari penelitian ini adalah luaran yang sesuai, yaitu kejadian konstipasi pada anak usia 4–10 tahun yang banyak ditemukan di praktik klinis. Selain itu, studi ini juga berhasil menemukan faktor lain selain asupan serat yang diduga berkontribusi terhadap terjadinya konstipasi pada anak, seperti kejadian tinja keras pada masa bayi dan adanya faktor herediter.
Limitasi Penelitian
Beberapa limitasi dari penelitian ini adalah kondisi sosiodemografi dan kebiasaan konsumsi serat yang berbeda dengan Indonesia. Penelitian ini lebih banyak mengambil data di Amerika dan Eropa dan pemberian makan sudah dimulai sejak usia 4 bulan (tahun 1990 sesuai dengan uji kohort). Uji di Asia hanya dilakukan di Jepang pada studi mengenai faktor hereditas.
Pengambilan data tentang asupan serat yang dikonsumsi juga menggunakan frekuensi konsumsi serat dan bukan menggunakan jumlah serat yang dikonsumsi setiap hari, sehingga dapat menimbulkan kesulitan saat mengekstrapolasikan data dengan kondisi asupan serat pada anak Indonesia.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Walaupun terdapat beberapa limitasi, hasil dari penelitian ini tetap dapat diaplikasikan di Indonesia. Pemberian serat yang tinggi bukan merupakan tata laksana konstipasi pada anak. Dokter harus segera melakukan evakuasi tinja dengan memberi laksatif sebagai langkah pertama.
Setelah tinja yang keras dapat dievakuasi, pengaturan ulang diet dengan memenuhi kebutuhan serat harian perlu dilakukan. Namun, pemberian suplemen serat maupun menambahkan jumlah serat lebih banyak pada diet yang sudah seimbang tidak dapat menghasilkan luaran yang lebih baik.
Selain itu, meskipun ada hubungan antara asupan serat dan konstipasi, faktor-faktor lain seperti hereditas dan tinja keras pada masa bayi juga perlu menjadi perhatian. Penumpukan tinja akan menurunkan nafsu makan di kemudian hari yang memprediksi asupan serat yang rendah dan menjadi konstipasi di kemudian hari. Dengan demikian, hal ini memberikan gambaran baru bahwa intervensi dini pada saat bayi mengalami tinja keras dengan menggunakan laksatif perlu dipertimbangkan.