Pemilihan Analgesik untuk Ibu Menyusui

Oleh :
dr.Danar Dwi Anandika SpN

Pemilihan analgesik untuk ibu menyusui harus mempertimbangkan aspek keamanan pada bayi yang disusui. Bukti menunjukkan bahwa ASI mempunyai berbagai manfaat dibandingkan susu formula dan mengandung enzim yang dapat membantu pencernaan serta penyerapan nutrisi. Oleh sebab itu, ketika ibu menyusui membutuhkan analgesik, pemilihan analgesik yang aman berperan penting agar pemberian ASI dapat dilanjutkan secara aman bagi bayi.[1-3]

ASI memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap penyakit infeksi, seperti diare, otitis media, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi saluran kemih. Selain itu, ASI juga berhubungan dengan tingkat alergi yang lebih rendah pada bayi. Pemberian ASI juga memperkuat ikatan antara ibu dan bayi. Oleh karena pentingnya ASI, penghentian pemberian ASI hanya dilakukan jika benar-benar perlu.[1-3]

Pemilihan Analgesik untuk Ibu Menyusui

Pertimbangan Ketika Memilih Analgesik untuk Ibu Menyusui

Bila ibu menyusui memiliki indikasi yang membutuhkan analgesik, pilih analgesik yang hanya diekskresikan ke dalam ASI secara minimal dan telah digunakan secara luas tanpa ada laporan efek merugikan pada bayi. Analgesik diberikan dalam dosis terendah yang efektif terlebih dahulu. Umumnya, untuk nyeri ringan hingga moderat, paracetamol atau OAINS menjadi pilihan. Sementara itu, untuk nyeri yang lebih berat, opioid dapat dipertimbangkan.[4,5]

Apabila ibu membutuhkan analgesik dalam jangka waktu lama, strategi pemberian ASI secara interuptus dapat menjadi solusi untuk mengurangi akumulasi konsentrasi obat dalam serum bayi.[4,5]

Pertimbangan terkait Paracetamol pada Ibu Menyusui

Paracetamol merupakan salah satu analgesik dan antipiretik yang paling umum dipakai oleh wanita hamil dan menyusui. Dosis maksimal paracetamol dalam ASI diperkirakan <5% dari dosis maternal. Sebagai contoh, jika ibu menggunakan dosis maksimal harian 4 g, bayi akan mendapatkan dosis 2,8 mg/kgBB atau sekitar 5% dosis terapeutik bayi (60 mg/kg/hari).[4,5]

Oleh sebab itu, pajanan paracetamol terhadap bayi melalui ASI pada sebagian besar kasus relatif kecil dan tidak menimbulkan efek samping. Terdapat suatu penelitian yang melaporkan bahwa bayi usia 2 bulan mengalami rash (ruam kulit) setelah pajanan paracetamol tetapi ruam dapat menghilang setelah paracetamol dihentikan.[4]

Pertimbangan terkait Aspirin pada Ibu Menyusui

Aspirin umumnya dipakai untuk menangani nyeri ringan dan demam. Dosis maksimal aspirin yang bisa diekskresikan ke dalam ASI adalah sekitar 8,1% dari dosis maternal. Kadar yang lebih tinggi bisa saja dijumpai bila aspirin dikonsumsi dalam jangka panjang karena eliminasi waktu paruh aspirin pada bayi lebih lama daripada orang dewasa. Aspirin harus digunakan secara hati-hati pada ibu menyusui terutama bila dosis harian >2,4 g dan bila diberikan dalam jangka panjang.[4,5]

Suatu penelitian melaporkan bayi berusia 16 hari mengalami asidosis metabolik dengan konsentrasi serum salisilat 240 mg/L setelah ibunya mengonsumsi aspirin 3,9 g. Selain itu, trombositopenia purpura juga dilaporkan pada bayi yang terpajan dengan salisilat melalui ASI. Untuk mengurangi risiko terhadap bayi, sebaiknya hindari pemberian ASI dalam jam-jam awal setelah penggunaan aspirin.[4]

Pertimbangan terkait Diklofenak pada Ibu Menyusui

Diklofenak merupakan salah satu OAINS. Obat golongan ini umumnya digunakan untuk nyeri ringan hingga moderat. Diklofenak tidak terdeteksi dalam ASI pada ibu yang mengonsumsi dosis 100 mg/hari. Namun, pada ibu yang mengonsumsi diklofenak 150 mg/hari, ditemukan ada 100 μg/L diklofenak dalam ASI-nya.[4,5]

Karena diklofenak memiliki eliminasi waktu paruh yang pendek (1-2 jam pada orang dewasa), tidak memiliki metabolit yang aktif, dan hanya diekskresikan dalam jumlah sangat kecil ke dalam ASI, diklofenak dianggap aman diberikan pada ibu menyusui.[4]

Pertimbangan terkait Ibuprofen pada Ibu Menyusui

Sebagai OAINS, ibuprofen umumnya digunakan untuk nyeri ringan hingga moderat. Obat ini memiliki eliminasi waktu paruh sekitar 2 jam. Suatu penelitian melaporkan bahwa pemberian ibuprofen 400 mg setiap 6 jam menghasilkan konsentrasi dalam ASI <1.0 mg/dL (di bawah batas yang bisa terdeteksi). Dalam penelitian lain, pemberian ibuprofen 400 mg 2 kali sehari selama 3 minggu menghasilkan konsentrasi maternal 18,2 mg/L tetapi konsentrasi ASI <0,5 mg/L (di bawah batas yang bisa terdeteksi).[4,5]

Karena eliminasi waktu paruh yang pendek dan ekskresi dalam ASI yang sangat sedikit serta belum pernah adanya efek samping yang dijumpai pada bayi, maka ibuprofen dinilai aman digunakan untuk ibu menyusui.[4]

Pertimbangan terkait Indomethacin pada Ibu Menyusui

Indomethacin juga merupakan OAINS yang umumnya digunakan untuk nyeri ringan dan moderat. Indomethacin memiliki eliminasi waktu paruh sekitar 4-5 jam pada orang dewasa. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian indomethacin 75-300 mg/hari menghasilkan konsentrasi serum plasma di atas batas yang bisa terdeteksi pada 1 dari 7 anak, tetapi tidak menimbulkan efek samping.[4,5]

Dalam studi lain, bayi berumur 1 minggu yang disusui oleh ibu yang mengonsumsi indomethacin 200 mg/hari selama 3 hari mengalami kejang. Pelaku studi tersebut menyarankan agar indomethacin sebaiknya tidak digunakan pada ibu menyusui.[4]

Pertimbangan terkait Piroxicam pada Ibu Menyusui

Piroxicam juga merupakan salah satu OAINS. Obat ini memiliki eliminasi waktu paruh yang panjang (20–70 hari pada orang dewasa). Piroxicam tidak terdeteksi dalam serum bayi pada ibu yang mengonsumsi piroxicam 20 mg sehari sekali selama 4 bulan.[4]

Bukti saat ini menunjukkan bahwa piroxicam relatif aman untuk digunakan oleh ibu menyusui karena sangat sedikit yang diekskresikan melalui ASI. Namun, dokter perlu mempertimbangkan untuk memberikan OAINS lain dengan eliminasi waktu paruh yang lebih singkat bila akan memberikan OAINS dalam waktu yang lama.[4]

Pertimbangan terkait Codeine pada Ibu Menyusui

Codeine merupakan analgesik opioid yang umumnya digunakan untuk nyeri moderat hingga berat. Konsentrasi morfin (hasil metabolisme codeine) dalam plasma bayi setelah pemberian codeine pada ibu adalah maksimal sekitar 2-4% dari dosis yang dianggap toksik untuk bayi. Selain itu, konsentrasi tersebut hanya mewakili 8-18% dosis minimal efektif yang dianjurkan pada bayi, sehingga codeine dianggap dapat digunakan oleh ibu menyusui.[4,5]

Akan tetapi, kemungkinan efek pada bayi akibat penggunaan jangka panjang oleh ibu belum diketahui, sehingga harus berhati-hati. Selain itu, penggunaan jangka panjang oleh ibu juga berisiko menyebabkan ibu mengalami ketergantungan.[4,5]

Pertimbangan terkait Morfin pada Ibu Menyusui

Morfin juga merupakan analgesik opioid yang umumnya digunakan untuk nyeri moderat hingga berat. Bila dibandingkan dengan pethidine, pemberian morfin dianggap lebih baik pada ibu menyusui. Dalam suatu penelitian, bayi dengan pajanan morfin memiliki tingkat alertness yang lebih baik daripada kelompok pethidine 3-4 hari setelah terpajan. Tidak ditemukan efek samping serius akibat pemberian morfin pada ibu menyusui.[4,5]

Akan tetapi, fungsi hati dan ginjal bayi belum sempurna, sehingga penggunaan dalam jangka waktu lama tetap harus diperhatikan karena meningkatkan konsentrasi morfin secara signifikan dalam plasma dan berpotensi menimbulkan efek samping. Selain itu, penggunaan jangka panjang pada ibu berisiko menyebabkan ketergantungan.[4,5]

Kesimpulan

Pemilihan analgesik pada ibu menyusui memerlukan pertimbangan terkait keamanan pada bayi yang disusui. Dokter direkomendasikan untuk memilih analgesik yang hanya diekskresikan ke dalam ASI secara minimal dan telah digunakan secara luas tanpa ada laporan merugikan pada bayi.

Analgesik diberikan dalam dosis efektif terendah terlebih dahulu. Umumnya, untuk nyeri ringan hingga moderat, paracetamol atau OAINS menjadi pilihan. Sementara itu, untuk nyeri moderat hingga berat, opioid dapat dipertimbangkan.

Paracetamol merupakan analgesik yang paling umum digunakan dan memiliki laporan keamanan yang baik. Untuk OAINS, diklofenak dan ibuprofen juga dinilai cukup aman untuk ibu menyusui. Indomethacin kurang dianjurkan dan piroxicam dinilai memiliki waktu paruh eliminasi yang terlalu panjang. Untuk analgesik opioid seperti codeine dan morfin, pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk nyeri parah tetapi aspek keamanan jangka panjangnya belum diketahui dengan pasti.

Referensi