Penanganan TB-HIV

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Penanganan koinfeksi TB-HIV sangat penting. Hal ini karena penderita HIV/AIDS merupakan kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (TB), sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Sebaliknya, setiap pasien TB harus mengetahui status HIV, terutama di populasi risiko tinggi.[1-3]

Sementara itu, penanganan koinfeksi TB-HIV memberikan tantangan tersendiri bagi klinisi, di mana manajemen penyakit menjadi lebih rumit dibandingkan manajemen tuberkulosis tanpa HIV. Pasien koinfeksi TB-HIV berisiko menghadapi berbagai risiko dalam pengobatan, seperti interaksi obat, toksisitas kumulatif, immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS), kadar obat dalam plasma yang rendah, hingga risiko resistensi obat meskipun kepatuhan pengobatan baik.[1,3]

Di Indonesia, dari 271.000.000 penduduk diperkirakan terdapat 543.100 ODHA pada tahun 2020, di mana sekitar 19.000 penderita TB juga mengidap HIV pada tahun 2019. Selain itu, dari +96.000 kematian karena TB diperkirakan 4.700 orang diantaranya merupakan pasien TB dengan HIV positif.[1]

Referensi