Pencegahan dan Tata Laksana pada Alergi Kontras Radiologi

Oleh :
dr.Wendy Damar Aprilano

Strategi pencegahan dan tata laksana alergi kontras radiologi penting diketahui untuk meminimalkan risiko dan memastikan keamanan prosedur radiologi diagnostik maupun intervensional. Pada kondisi tertentu, reaksi alergi terhadap kontras radiologi bisa bermanifestasi berat dan mengancam nyawa.

Media kontras beriodium intravena (iodinated contrast media/ICM) sangat sering digunakan di praktik. Sebagai contoh, dari 80 juta pemindaian CT Scan yang dilakukan di Amerika Serikat setiap tahun, diperkirakan 37,5% di antaranya menggunakan ICM. Reaksi alergi terjadi pada 1-3% injeksi ICM, yang mana bisa terjadi segera setelah paparan atau tertunda.

Pencegahan dan Tata Laksana pada Alergi Kontras Radiologi

Insiden reaksi yang terjadi diketahui telah mengalami penurunan ketika media kontras berosmolalitas tinggi (high-osmolality contrast media/HOCM) digantikan dengan media kontras berosmolalitas rendah (low-osmolality contrast Media/LOCM), dengan tingkat reaksi akut yang dilaporkan sebesar 0,2% hingga 0,7%. Namun, panduan terkait pencegahan dan tata laksana reaksi alergi terhadap ICM tetap diperlukan.[1-3]

Perlu Tidaknya Premedikasi pada Penggunaan Kontras Radiologi

Reaksi hipersensitivitas adalah respons merugikan yang dimediasi sistem imun dan dapat muncul secara langsung (dalam 1 jam) atau tertunda (lebih dari 1 jam) setelah paparan. Reaksi langsung terhadap ICM dapat berupa hipotensi, takikardia, bradikardia, dan bronkokonstriksi. Meski begitu, sulit membedakan apakah reaksi yang terjadi benar-benar dimediasi oleh sistem imun atau memiliki penyebab lain.

Oleh karena itu, pencatatan terhadap semua gejala, waktu timbul reaksi, pengobatan yang diberikan, serta durasi pemantauan sangat penting dan idealnya dicatat dalam laporan radiologi. Jika ada ketidakpastian, gejala sebaiknya ditangani sebagai reaksi hipersensitivitas akut terlebih dahulu, dengan evaluasi lebih lanjut setelah pasien stabil.[1-3]

Pertimbangan Perlu-Tidaknya Premedikasi Sebagai Strategi Pencegahan

Studi awal tentang pencegahan reaksi alergi langsung terhadap kontras menggunakan premedikasi dengan glukokortikoid dan antihistamin H1, dengan atau tanpa antihistamin H2 dan efedrin. Pemberian premedikasi ini bertujuan menekan pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya.

Dalam praktiknya, glukokortikoid memerlukan beberapa jam untuk bekerja, sehingga protokol ini biasanya dilakukan sebelum pemeriksaan radiologi. Namun, penggunaan media kontras LOCM telah terbukti menurunkan risiko reaksi alergi secara signifikan, dan tidak ada bukti kuat bahwa premedikasi kortikosteroid efektif mencegah reaksi berulang pada pasien yang menerima LOCM.

Di lain pihak, risiko premedikasi kortikosteroid biasanya kecil. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah hiperglikemia sementara, leukositosis, gangguan tidur, perubahan suasana hati, dan potensi peningkatan risiko infeksi. Premedikasi antihistamin, seperti diphenhydramine, dapat menimbulkan efek antikolinergik dan sedatif, yang berpotensi mengganggu aktivitas pasien.

Selain itu, waktu yang diperlukan untuk pemberian premedikasi dapat menunda pelaksanaan pemeriksaan diagnostik. Oleh karena itu, manfaat premedikasi harus dipertimbangkan secara hati-hati dibandingkan dengan risikonya.[1,3]

Bukti dan Rekomendasi Klinis

Analisis yang dilakukan oleh Joint Task Force on Practice Parameters menyatakan bahwa pemberian premedikasi tidak memberi manfaat signifikan dalam mencegah reaksi langsung pada pasien yang memiliki riwayat reaksi sebelumnya. Panel ahli tersebut menyarankan untuk tidak memberikan glukokortikoid atau premedikasi antihistamin secara rutin.

Konsensus dari American College of Radiology (ACR) juga menyatakan hal serupa. Panel ahli ACR menemukan bahwa premedikasi bisa dipertimbangkan untuk reaksi moderat, tetapi basis bukti pendukungnya rendah dan tidak dapat memprediksi tingkat keparahan reaksi di masa depan. Menurut ACR, premedikasi hanya direkomendasikan pada pasien dengan riwayat reaksi berat terhadap ICM ketika pemeriksaan alternatif tidak memungkinkan.[1,3]

Pendekatan untuk Reaksi Tertunda dan Ringan

Pada pasien dengan riwayat reaksi tertunda terhadap ICM, tidak ada bukti yang mendukung premedikasi sebagai strategi pencegahan. Pasien dengan riwayat reaksi berat sebaiknya benar-benar menghindari penggunaan ICM di masa depan.

Di sisi lain, untuk pasien dengan riwayat reaksi ringan atau moderat, keputusan untuk menggunakan kontras atau tidak dibuat atas hasil diskusi pasien dengan dokter yang merawat, berdasarkan kebutuhan pemeriksaan yang dilakukan dan seberapa berat riwayat reaksi yang terjadi.[1,3,4]

Penatalaksanaan Reaksi Alergi Kontras Radiologi

Reaksi berat terhadap media kontras radiologi ditandai oleh gejala yang sering mengancam nyawa dan dapat menyebabkan morbiditas permanen atau kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Reaksi ini biasanya memenuhi kriteria anafilaksis.

Selain reaksi berat, terdapat reaksi yang tidak dimediasi oleh sistem imun atau termasuk intoleransi fisiologis. Reaksi fisiologis ini umumnya ringan dan tidak memerlukan pengobatan, seperti mual atau muntah terisolasi tanpa gejala sistemik lain, menggigil, sakit kepala, perubahan indera pengecap, atau pusing ringan tanpa hipotensi.

Ada pula reaksi yang membutuhkan perhatian medis oleh tenaga terlatih, misalnya reaksi vasovagal, hipertensi, nyeri dada, aritmia, dan kejang. Karena reaksi ini bukan reaksi imunologis, premedikasi tidak diperlukan. Penanganan untuk reaksi langsung ringan hingga sedang atau reaksi non-imunologis bervariasi tergantung gejala dan kondisi klinis pasien.[1,3-5]

Reaksi Anafilaksis

Anafilaksis adalah reaksi alergi sistemik akut yang mengancam jiwa. Dalam konteks media kontras intravena, anafilaksis harus dipertimbangkan ketika timbulnya gejala akut terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian ICM, tanpa adanya pemicu lain yang jelas. Anafilaksis kemungkinan terjadi jika dua atau lebih dari kriteria berikut terpenuhi:

  • Keterlibatan kulit atau jaringan mukosa
  • Gangguan pernapasan
  • Penurunan tekanan darah atau disfungsi organ akhir terkait
  • Muntah signifikan atau diare berat.

Penanganan utama pada anafilaksis ICM adalah menghentikan infus kontras yang sedang berlangsung dan pemberian epinefrin intramuskular sebagai terapi lini pertama. Pada kasus anafilaksis berkepanjangan, epinefrin intravena mungkin diperlukan.

Dosis intramuskular yang dianjurkan adalah 0,01 mg/kg dengan konsentrasi 1:1.000 (1 mg/mL), dengan dosis maksimum tunggal 0,5 mg untuk berat badan di atas 50 kg. Pemberian epinefrin tidak memiliki kontraindikasi absolut, termasuk pada pasien dengan penyakit jantung atau usia lanjut. Dosis epinefrin intramuskular bisa diulang jika gejala masih ada atau memburuk.

Selain epinefrin, resusitasi cairan diperlukan pada pasien hipotensi, dengan posisi terlentang atau Trendelenburg. Oksigen tambahan dapat diberikan pada pasien dengan gejala pernapasan. Terapi tambahan seperti antihistamin, glukokortikoid, dan bronkodilator sebaiknya diberikan setelah pasien stabil.[1,3,5]

Observasi dan Edukasi Pasien

Pasien harus diberi edukasi mengenai kemungkinan terjadinya anafilaksis bifasik. Anafilaksis bifasik terjadi ketika gejala awal anafilaksis sembuh total tetapi kemudian muncul kembali hingga 72 jam kemudian, dengan rata-rata waktu rekurensi 11 jam.

Berdasarkan bukti yang ada, sebaiknya observasi diperpanjang hingga 6 jam atau lebih pada pasien dengan anafilaksis berat atau membutuhkan pengobatan yang lebih agresif (misalnya: pasien yang memerlukan satu atau lebih dosis epinefrin) untuk potensi kejadian bifasik setelah tanda dan gejala sembuh total. Tanpa memandang tingkat keparahan, semua pasien perlu diobservasi hingga tanda dan gejala anafilaksis hilang total.[1,3,5]

Kesimpulan

Penggunaan media kontras beriodium intravena (iodinated contrast media/ICM) bisa menyebabkan reaksi alergi. Meski begitu, insiden reaksi ICM telah dilaporkan menurun sejak penggunaan low-osmolality contrast media (LOCM) menggantikan high-osmolality contrast media (HOCM).

Dalam konteks pencegahan alergi kontras radiologi, penggunaan premedikasi secara rutin sudah tidak dianjurkan. Premedikasi bisa dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat reaksi berat terhadap ICM jika memang penggunaan kontras tidak bisa dihindari dan tidak ada pilihan pemeriksaan diagnostik lainnya.

Reaksi ringan–sedang sering kali bukan reaksi imunologis dan tidak memerlukan premedikasi. Di lain pihak, anafilaksis merupakan reaksi paling serius yang dapat terjadi, serta harus ditangani secara cepat dengan menghentikan kontras dan memberikan epinefrin intramuskular. Resusitasi cairan dan oksigenasi suplemental juga diperlukan sesuai indikasi.

Pada pasien yang mengalami reaksi alergi berat, observasi pasca reaksi dilakukan selama ≥6 jam untuk mengantisipasi anafilaksis bifasik. Lakukan edukasi pasien dan pencatatan reaksi dalam rekam medis untuk pencegahan reaksi alergi ulang di kemudian hari.

Referensi