Penggunaan ganja, disebut juga cannabis atau marijuana, dianggap berkontribusi terhadap terjadinya gangguan depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh ganja terhadap pengendalian suasana hati. Ganja dapat memberikan efek sementara peningkatan mood. Namun, beberapa studi mengindikasikan bahwa penggunaan jangka panjang berpotensi mengganggu keseimbangan neurotransmitter otak yang meningkatkan risiko gangguan mental.[1-4]
Peran Neuromodulasi dari Ganja
Ganja atau cannabis mempengaruhi sistem saraf dalam empat domain utama, yakni suasana hati, persepsi, somatisasi, dan kognisi.[5]
Suasana Hati
Sistem endokannabinoid (SEC) memainkan peran penting dalam mengatur suasana hati. Cannabinoid endogen, seperti anandamida dan 2-arachidonoylglycerol (2-AG), diproduksi di otak dan mempengaruhi berbagai mekanisme, termasuk pelepasan neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin. Penelitian menunjukkan bahwa aktivasi SEC dapat memiliki efek modulasi terhadap suasana hati.[5,6]
Persepsi
SEC juga mempengaruhi persepsi sensorik dan persepsi waktu ruang. Reseptor endokannabinoid, seperti reseptor CB1, terdapat di berbagai area otak yang terlibat dalam pengolahan sensorik dan pengaturan waktu. Oleh karena itu, ganja atau senyawa-senyawa cannabinoidnya dapat memengaruhi persepsi sensorik, termasuk persepsi rasa, bau, dan pengalaman sensorik lainnya.[5,6]
Gejala Somatik
Pengaruh cannabis pada gejala somatik terutama terkait dengan sifat analgesiknya. Cannabinoid memiliki kemampuan untuk mengurangi persepsi rasa sakit melalui aktivasi reseptor endokannabinoid. Cannabis bekerja pada jalur pengurangan rasa sakit dalam sistem saraf pusat dan juga menghambat transmisi sinyal nyeri di sistem saraf perifer.[5,6]
Gangguan Kognitif
Penggunaan cannabis dengan kadar THC tinggi dapat mempengaruhi kognisi, termasuk memori jangka pendek, pembelajaran, dan fungsi eksekutif. THC atau delta-9-tetrahidrokanabinol, merupakan senyawa kimia yang terdapat secara alami dalam tanaman ganja. THC adalah komponen utama yang bertanggung jawab atas efek psikoaktif yang terkait dengan penggunaan ganja.[5,6]
Hubungan Ganja dengan Gangguan Depresi Mayor
Selama bertahun-tahun, bukti klinis mengarah pada hipotesis adanya hubungan antara kelainan pada sistem endocannabinoid dan depresi. Secara khusus, dalam kondisi basal, kadar serum dari dua endocannabinoid primer, anandamide (AEA) dan 2-arachidonoylgliserol (2-AG), ditemukan berkurang pada seseorang dengan gangguan depresi, yang menunjukkan adanya defisit aktivitas endocannabinoid perifer. Selain itu, penurunan kadar 2-AG serum berkorelasi kuat dengan durasi episode depresi.[3,7]
Pada meta analisis yang dilakukan oleh Botsford et al (2020), didapatkan 3 penelitian prospektif yang menunjukkan bahwa penggunaan ganja berkaitan dengan peningkatan risiko diagnosis depresi di masa depan, dan 1 penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ganja dikaitkan dengan diagnosis depresi berat.[8]
Hubungan Ganja dengan Gangguan Bipolar
Beberapa pasien bipolar melaporkan penggunaan ganja untuk meredakan gejala manik dan depresi dan menyatakan bahwa cannabis lebih efektif daripada obat konvensional atau membantu meringankan efek samping obat tersebut. Meski begitu, klaim tersebut tidak didukung bukti ilmiah.
Terdapat meta analisis yang menunjukkan bahwa pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar tipe I dan diobati dengan Cannabidiol (CBD) dengan dosis oral awal 600-1200 mg/hari tidak mengalami efek pengurangan gejala manik. Selain itu, penggunaan ganja juga telah ditemukan dapat memperburuk terjadinya gejala manik pada pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar dan mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko timbulnya gejala manik yang baru.[3]
Dalam sebuah kohort berbasis populasi di Denmark (2023) yang melibatkan lebih dari 6 juta individu, penggunaan ganja pada pasien dengan cannabis use disorder dilaporkan berkaitan signifikan dengan peningkatan risiko gangguan bipolar psikotik dan non-psikotik. Dalam studi ini, risiko gangguan bipolar meningkat hampir 3 kali lipat pada pria, dan 2,5 kali lipat pada wanita. Secara khusus, gangguan bipolar psikotik meningkat hingga 4 kali lipat pada pria.[9]
Hubungan Ganja dengan Skizofrenia
Penggunaan ganja dikaitkan dengan peningkatan risiko skizofrenia pada individu yang rentan dan memicu gejala psikotik pada pasien skizofrenia. Selain itu, pasien skizofrenia yang mengonsumsi ganja memiliki kadar anandamida (AEA) yang lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mengonsumsi ganja, sehingga menghambat efek protektif yang dimiliki oleh endocannabinoid ini.[3]
Dalam sebuah studi randomisasi Mendelian, penggunaan rokok ganja ditemukan berkaitan signifikan dengan peningkatan risiko skizofrenia. Di sisi lain, dalam sebuah tinjauan sistematik yang mengevaluasi 12 studi, peneliti melaporkan 10 studi yang menunjukkan efek kausatif ganja terhadap skizofrenia, serta ada 8 studi yang menunjukkan efek eksaserbasi ganja terhadap skizofrenia.[10,11]
Penggunaan Ganja sebagai Terapi pada Depresi, Gangguan Bipolar, dan Skizofrenia
Dalam pengobatan gangguan depresi mayor, terdapat bukti kuat yang mendukung penggunaan antidepresan termasuk Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI), Tricyclic Antidepressants (TCA), dan Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI). Sementara itu, pengobatan lini pertama untuk pasien dengan gangguan bipolar adalah penggunaan mood stabilizer seperti lithium, sedangkan antipsikotik merupakan pilihan untuk skizofrenia.[12,13]
Penggunaan ganja sebagai terapi untuk gangguan depresi mayor, gangguan bipolar, dan skizofrenia belum menunjukkan hasil yang meyakinkan. Agonis cannabinoid seperti dronabinol dan nabilone, telah dieksplorasi manfaatnya, tetapi bukti mengenai efikasinya tidak konsisten. Masih butuh penelitian dan evaluasi lebih lanjut perihal efikasi dan keamanan penggunaan ganja untuk gangguan psikiatri.[12,14]
Kesimpulan
Berbagai bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa konsumsi ganja berkaitan dengan peningkatan risiko mengalami depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia, serta perburukan dan kesulitan pengendalian gejala pada kondisi tersebut. Atas dasar ini, dokter perlu peka dan mempertimbangkan adanya penyalahgunaan ganja pada pasien yang datang dengan tanda dan gejala klinis gangguan mental, atau pada kasus dimana perbaikan sulit dicapai. Apabila pasien tidak secara eksplisit mengakui penggunaan ganja, maka ada baiknya dokter melakukan pemeriksaan objektif, misalnya pemeriksaan urin untuk deteksi THC (delta-9-tetrahidrokanabinol).