Penatalaksanaan Melioidosis
Penatalaksanaan melioidosis bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien, mengatasi infeksi aktif akibat Burkholderia pseudomallei, dan mencegah rekurensi. Tata laksana diberikan dalam 2 fase, yaitu fase intensif dan dilanjutkan dengan fase eradikasi.[1-3]
Fase Intensif
Fase ini bertujuan untuk mencapai stabilitas klinis, resolusi demam, dan penurunan kadar C-reactive protein (CRP) secara signifikan. Tata laksana pada fase ini meliputi pemberian antibiotik, perawatan intensif pada sepsis, drainase bedah pada abses yang besar dan dapat diakses, dan kontrol terhadap kondisi predisposisi seperti diabetes melitus, penyakit ginjal, dan imunosupresi. Durasi fase intensif bervariasi antara 2-8 minggu atau lebih, tergantung respons klinis pasien.[1-3]
Pilihan antibiotik yang direkomendasikan pada fase intensif adalah meropenem dan ceftazidime. Meropenem diberikan secara intravena dengan dosis dewasa 1 g/8 jam untuk pasien kritis atau 2 g/8 jam bila ada keterlibatan sistem saraf pusat. Dosis anak adalah 25 mg/kg dengan dosis maksimal 1 g. Meropenem terutama direkomendasikan pada melioidosis tipe septikemia akut dan tipe subakut, di mana bukti laboratorium biasanya belum tersedia dan diagnosis banding sangat luas. Terapi antibiotik dimulai tanpa menunggu bukti laboratorium.[1-3]
Opsi lain adalah ceftazidime yang diberikan dengan dosis dewasa 2 g/6–8 jam secara injeksi intravena atau melalui infus kontinu 24 jam. Dosis anak adalah 50 mg/kg dengan dosis maksimal 2 g. Ceftazidime terutama direkomendasikan pada melioidosis tipe kronis dan laten, di mana antibiotik biasanya dimulai setelah diagnosis mikrobiologis ditegakkan.[1-3]
Jika terdapat infeksi fokal non-pulmonal, antibiotik oral diberikan sebagai tambahan, dengan regimen yang sama dengan fase eradikasi (cotrimoxazole, co-amoxiclav, atau doxycycline). Perpindahan ke fase eradikasi harus dilakukan secara hati-hati, karena masa transisi merupakan periode kritis untuk potensi kekambuhan.[1,2]
Fase Eradikasi
Fase eradikasi bertujuan untuk mencegah rekurensi infeksi dan biasanya berlangsung selama 3–6 bulan atau lebih.[1-3]
Salah satu rekomendasi adalah cotrimoxazole/trimethoprim-sulfamethoxazole dengan dosis dewasa 320 mg:1600 mg per 12 jam, ditambah asam folat 5 mg/hari untuk mencegah toksisitas antifolat. Sementara itu, dosis anak adalah 6 mg/kg:30 mg/kg dengan dosis maksimal 240 mg:1200 mg, ditambah asam folat 0,1 mg/kg dengan dosis maksimal 5 mg.[1-3,10]
Opsi lain adalah co-amoxiclav/amoxicillin-clavulanic acid dengan dosis dewasa 500:125 mg/8 jam. Dosis anak adalah 20 mg/kg:5 mg/kg terbagi dalam 3 dosis dengan dosis maksimal 60 mg/kg:15 mg/kg.[1-3,11]
Opsi lain yang juga dapat dipilih adalah doxycycline dengan dosis dewasa 100 mg sekali sehari atau setiap 12 jam. Dosis anak adalah 4,4 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal atau 2 dosis terbagi pada hari pertama, dilanjutkan 2,2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal atau 2 dosis terbagi.[1-3,12]
Efektivitas terapi fase eradikasi tergantung pada kepatuhan pasien untuk pengobatan jangka panjang. Penghentian terapi secara prematur dapat menyebabkan kekambuhan dini atau relaps dalam 1-2 tahun.[1,3]
Pemantauan dan Tindak Lanjut
Pemantauan (monitoring) bertujuan untuk mengevaluasi respons pasien terhadap terapi, mendeteksi kemungkinan efek samping obat, dan menyesuaikan dosis antibiotik terutama jika ada gangguan fungsi ginjal selama pengobatan. Pemeriksaan berkala yang direkomendasikan adalah kadar urea dan kreatinin, kadar elektrolit, fungsi hati, pemeriksaan darah lengkap, dan CRP.[2,3]
Selama fase intensif, demam dapat bertahan >1 minggu dan kultur darah mungkin masih menunjukkan hasil positif. Terapi fase intensif dilanjutkan hingga pasien menjadi afebris, abses teratasi secara signifikan atau telah dilakukan drainase, kultur darah ulang menunjukkan hasil negatif, dan kadar CRP mendekati normal. Selama tidak ada perburukan klinis, regimen antibiotik tidak perlu diganti. Namun, efek samping obat perlu diawasi, terutama pada fase eradikasi jangka panjang.[2,3]