Perbandingan Antimotilitas, Antispasmodik, dan Adsorben dalam Penatalaksanaan Diare

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Untuk memilih obat antidiare, dokter harus mengetahui perbandingan antara antimotilitas, antispasmodik, dan adsorben. Dalam penatalaksanaan diare, penting untuk menghindari pemberian obat yang tidak perlu atau tidak efektif karena setiap jenis obat tersebut memiliki mekanisme kerja berbeda, dan bisa lebih cocok mengatasi jenis diare tertentu atau untuk mengatasi gejala tambahan, misalnya antispasmodik dapat membantu meredakan kram perut yang sering menyertai diare.

Diare didefinisikan sebagai buang air besar cair setidaknya tiga kali dalam 24 jam. Sebagian besar dari kasus diare bersifat self-limited. Namun, diare juga bisa menyebabkan komplikasi mengancam nyawa, seperti dehidrasi akut dan ketidakseimbangan elektrolit. Selain rehidrasi dan terapi terhadap etiologi, terapi dengan penggunaan antimotilitas, antispasmodik, dan adsorben kerap diberikan untuk mengurangi morbiditas akibat diare.[1-3]

Antimotilitas, Antispasmodik, Adsorben

Antimotilitas dalam Penatalaksanaan Diare

Obat antimotilitas merupakan obat yang mampu memperlambat transit tinja dalam saluran cerna. Beberapa golongan obat masuk ke dalam jenis antimotilitas, termasuk opiat, penghambat enkephalinase, antagonis reseptor 5-HT3, agonis α2-adrenergik, somatostatin, dan penghambat kanal kalsium.[1,2,4]

Mekanisme Kerja Obat Antimotilitas

Tujuan pemberian antimotilitas pada pasien diare adalah memperlambat kecepatan transit tinja dalam saluran cerna, sehingga memberikan waktu untuk absorbsi air yang berlebih pada tinja. Golongan opiat, termasuk opioid dan loperamide, menghambat motilitas saluran cerna melalui ikatannya dengan reseptor mu dan delta yang berada pada neuron saluran cerna. Ikatan ini menyebabkan inhibisi dari pelepasan asetilkolin dan menghambat kontraksi peristaltik.[1,2,4,5]

Mekanisme kerja serupa juga ditemukan pada golongan antimotilitas lain dengan lokasi kerja yang berbeda, seperti ikatan pada reseptor 5-HT3, α2-Adrenoseptor, hingga kanal kalsium. Contoh antagonis reseptor 5-HT3 adalah alosetron dan cilansetron, tetapi keduanya tidak disetujui penggunaannya oleh FDA. Contoh penghambat kanal kalsium adalah pinaverium bromide.[1,2,4]

Obat Antimotilitas dan Penggunaannya

Antimotilitas dapat diberikan pada kasus diare nonspesifik yang tidak disebabkan oleh infeksi bakteri atau diare berdarah. Contohnya adalah diare akibat virus, diare akibat irritable bowel syndrome (IBS), ataupun diare fungsional nonspesifik.

Pada kondisi disentri akut atau diare yang disebabkan oleh patogen invasif, antimotilitas tidak disarankan karena memperlambat pengeluaran bakteri dan meningkatkan risiko komplikasi seperti toksisitas usus. Penggunaan antimotilitas juga tidak dianjurkan pada anak karena dapat menyebabkan ileus paralitik.[1,2,4,6]

Contoh obat antimotilitas golongan opiat yang umum digunakan untuk diare adalah loperamide. Pada awal dapat diberikan 4 mg, diikuti 2 mg tiap buang air cair. Dosis maksimal 12 mg per hari per oral. Meski jarang, loperamide sebagai opiat bisa disalahgunakan pada dosis supraterapeutik, sehingga menyebabkan ketergantungan, gejala putus obat, dan overdosis fatal.[1,2,4,7,20]

Antispasmodik dalam Penatalaksanaan Diare

Pemberian obat antispasmodik utamanya ditujukan untuk meredakan nyeri atau kram otot yang terjadi bersama dengan diare melalui relaksasi otot polos saluran cerna. Beberapa jenis obat yang masuk ke dalam antispasmodik, termasuk direct smooth muscle relaxant, antikolinergik atau antimuskarinik, dan penghambat kanal kalsium.[1,2,4]

Mekanisme Kerja Obat Antispasmodik

Secara umum, antispasmodik bekerja melalui relaksasi otot polos atau antagonis terhadap transmisi saraf pada otot polos saluran cerna. Relaksasi otot polos dapat tercapai melalui mekanisme yang berbeda-beda berdasarkan jenis obatnya, misalnya dengan aktivitas hambatan kanal kalsium oleh antikolinergik dan penghambat kanal kalsium.

Pada akhirnya, relaksasi otot polos ini juga memiliki peran serupa dengan antimotilitas, di mana terdapat peningkatan waktu transit tinja, sehingga saluran cerna mampu menyerap kandungan air berlebih dalam tinja.[1-4,8]

Obat Antispasmodik dan Penggunaannya

Antispasmodik merupakan terapi empiris yang sering digunakan dalam penatalaksanaan irritable bowel syndrome dengan diare, namun obat ini tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Antispasmodik juga bisa digunakan pada diare akibat virus yang disertai kram perut, serta diare fungsional nonspesifik.

Secara umum, antispasmodik aman untuk dikonsumsi, namun penggunaan antispasmodik jenis antikolinergik dikontraindikasikan pada myasthenia gravis, glaukoma sudut sempit, dan megakolon. Pemberian antikolinergik juga perlu dilakukan dengan hati-hati pada pasien lanjut usia, benign prostate hyperplasia, hipertensi, glaukoma sudut terbuka, pasien anak, ibu hamil, dan menyusui.[1-4,8-11]

Contoh antispasmodik golongan antikolinergik adalah hyoscine butylbromide yang dapat diberikan 10 mg 3 kali sehari, dapat ditingkatkan menjadi 20 mg 4 kali sehari per oral, atau juga bisa diberikan 20 mg injeksi pelan intravena. Dosis maksimal 100 mg per hari. Contoh antispasmodik golongan antikolinergik lain adalah hyoscyamine 0,125-0,25 mg tiap 4 jam atau bila perlu per oral, maksimal 1,5 mg/hari.

Contoh antispasmodik lain adalah golongan direct smooth muscle relaxant, seperti papaverine HCl 30 mg, diberikan 1-2 tablet 3 kali sehari per oral.[2-4,12-14]

Adsorben dalam Penatalaksanaan Diare

Pemberian adsorben dilakukan dengan tujuan mengurangi paparan toksin penyebab diare dengan mukosa saluran cerna. Pemberian adsorben tidak efektif untuk mencegah dehidrasi akibat kehilangan cairan pada pasien diare.[1,2,4]

Mekanisme Kerja Adsorben

Adsorben bekerja melalui adhesi molekul obat ke mukosa saluran cerna dan membentuk perlindungan terhadap mukosa dari paparan toksin penyebab diare. Selain itu, adsorben juga dapat berikatan dengan toksin penyebab diare untuk dieliminasi melalui tinja.[1,2,4]

Obat Adsorben dan Penggunaannya

Adsorben umumnya cocok diberikan untuk diare akibat keracunan makanan, intoleransi makanan, atau diare akibat konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi. Sebuah tinjauan sistematik telah menunjukkan bahwa adsorben, dalam hal ini smectite, dapat mengurangi durasi diare akut pada anak, tetapi kualitas buktinya masih rendah.[1,2,4,15,16]

Adapun contoh obat adsorben yang tersedia di Indonesia adalah kombinasi kaolin dan pektin sirup. Dosis kaolin 700 mg dan pectin sirup 66 mg per 15 ml diberikan per oral pada pasien dewasa sebanyak 15-45 ml setiap setelah buang air cair, dengan dosis maksimal 180 ml per hari. Contoh lain adalah karbon aktif 125 mg/tablet, diberikan pada dewasa 5-7 tablet per dosis per oral, maksimal 20 tablet per hari.

Meskipun umumnya dapat ditoleransi dengan baik, kaolin dalam dosis besar bisa menyebabkan konstipasi dan obstruksi usus.[1,2,4,17-19]

Kesimpulan

Mengetahui perbandingan antara antimotilitas, antispasmodik, dan adsorben dalam penatalaksanaan diare penting untuk dapat memberikan pengobatan yang sesuai dengan kondisi dan penyebab diare pasien. Perlu dicatat bahwa ketiga jenis obat tersebut tidak mengobati etiologi diare melainkan hanya sebagai obat simptomatik yang membantu mengurangi gejala atau durasi buang air cair.

Antimotilitas bekerja dengan memperlambat transit tinja melalui hambatan kontraksi peristaltik saluran cerna agar kandungan air dapat terserap. Contoh obat antimotilitas yang banyak beredar di Indonesia adalah loperamide.

Antispasmodik bekerja melalui relaksasi otot polos dengan tujuan meredakan nyeri dan juga memperlambat transit tinja. Contoh antispasmodik adalah hyoscine butylbromide.

Sementara itu, mekanisme kerja adsorben terjadi melalui adhesi molekul obat ke mukosa saluran cerna untuk melindunginya dari paparan toksin penyebab diare. Bukti kualitas lemah menunjukkan bahwa pemberian adsorben smectite efektif menurunkan durasi diare pada anak. Contoh dari adsorben yang banyak tersedia di Indonesia adalah kaolin pektin.

Referensi