Penggunaan antihipertensi pada pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) harus dilakukan dengan baik agar tidak menimbulkan eksaserbasi. PPOK dilaporkan telah diderita oleh lebih dari 175 juta jiwa di seluruh dunia, menurut studi Global Burden of Disease pada tahun 2015. Angka ini diduga akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang merokok, dan meningkatnya populasi usia lanjut.[1,2]
Kaitan Hipertensi dan PPOK
Salah satu penyakit penyerta dari PPOK adalah hipertensi, sesuai dengan laporan dari The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) pada tahun 2017. Studi cross sectional dari Hye et al melaporkan bahwa PPOK memiliki asosiasi terhadap hipertensi secara independen.[3,4]
Selain itu, studi dari Kunisaki et al melaporkan bahwa eksaserbasi dari PPOK, baik pada pasien dengan maupun tanpa faktor risiko kardiovaskular, meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dengan HR 3,8 (95%IK: 2,7-5,5). Hipertensi telah diteliti sebagai salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskular.[5,6]
Prinsip Tata Laksana Hipertensi pada Pasien PPOK
Tinjauan kepustakaan oleh Finks et al menyebutkan beberapa prinsip penting terkait tata laksana hipertensi pada pasien PPOK yang harus diperhatikan, yaitu:
- Pasien dengan PPOK dan hipertensi secara umum memiliki komorbid penyakit kardiovaskular, misalnya gagal jantung dan penyakit arteri koroner. Oleh karena itu, evaluasi dan skrining terhadap penyakit tersebut sebaiknya dilakukan rutin
- Penelitian mengenai tata laksana hipertensi pada pasien PPOK sampai saat ini jumlahnya terbatas, tetapi rekomendasi tata laksana hipertensi tetap harus mempertimbangkan risiko efek samping pada paru
- Secara garis besar, pemberian angiotensin converting-enzyme inhibitors (ACEi), angiotensin receptor blockers (ARB), calcium channel blocker (CCB), dan diuretik merupakan pilihan awal untuk tata laksana hipertensi pada pasien PPOK. Dengan syarat, penambahan obat antihipertensi tersebut tetap dapat mengontrol gejala PPOK
- Secara umum, target pengendalian tekanan darah pada pasien PPOK adalah <130/80 mmHg. Pada pasien yang belum tercapai target tekanan darahnya, perlu dikaji berbagai faktor risiko yang mungkin membuat pengendalian tekanan darah lebih sulit dilakukan, seperti obesitas, eksaserbasi PPOK yang sering, serta masalah psikososial maupun depresi yang dapat menurunkan kepatuhan terhadap pengobatan[7,8]
Antihipertensi Diuretik pada PPOK
Obat diuretik terdiri dari thiazide seperti hidroklorotiazid, dan obat diuretik loop seperti furosemid dan bumetanid. Diuretik, khususnya thiazide, hingga saat ini masih diindikasikan untuk pasien PPOK dengan hipertensi.[10]
Salah satu efek samping penggunaan diuretik yang harus diperhatikan adalah ketidakseimbangan elektrolit, berupa hipokalemia. Terutama bila pasien menerima terapi agonis reseptor beta-2 dan glukokortikoid. Pada pasien dengan hipokalemia dapat terjadi aritmia, bila kadar kalium <3,5 mmol/L. Perlu dipahami rasionalitas pemberian thiazide, termasuk pemantauan serum elektrolit yang seyogyanya rutin dilakukan secara berkala, terutama bila mendapatkan diuretik loop.[10]
Thiazide
Dalam tinjauan kepustakaan, thiazide dilaporkan tidak mempengaruhi fisiologi dari sistem pernapasan. Uji klinis yang melibatkan 7.140 veteran dengan PPOK dan hipertensi melaporkan bahwa thiazide tidak menunjukkan peningkatan eksaserbasi PPOK. Selain itu, kombinasi thiazide dengan antihipertensi lain, seperti ACEi dan CCB dapat menurunkan risiko perawatan di rumah sakit akibat gagal jantung kongestif, pada kelompok pasien yang tidak pernah mengalami gagal jantung kongestif sebelumnya.[9,10]
Diuretik Loop
Obat diuretik loop memiliki efek antihipertensi yang minimal. Namun, sering digunakan pada kondisi kelebihan cairan pada pasien dengan gagal jantung. Suatu penelitian kohort retrospektif, melibatkan 99.766 pasien geriatri yang mendapatkan diuretik loop, melaporkan adanya peningkatan kunjungan ke instalasi gawat darurat, eksaserbasi PPOK atau pneumonia, dan mortalitas. Berdasarkan temuan tersebut, seyogyanya pemakaian diuretik loop dibatasi pada populasi PPOK, khususnya yang berusia lanjut.[11]
Antihipertensi ACEi dan ARB pada PPOK
Pemberian angiotensin converting-enzyme inhibitors (ACEi) dan angiotensin receptor blockers (ARB) harus mempertimbangkan untung dan rugi pada pasien dengan PPOK. Pedoman American Heart Association melaporkan kedua obat tersebut dapat menurunkan risiko komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular pada populasi umum.[8]
Suatu penelitian kohort retrospektif, yang dilakukan pada pasien PPOK dengan berbagai faktor risiko kardiovaskular, melaporkan bahwa penggunaan ACEi maupun ARB dapat memiliki efek protektif, baik pada sistem kardiovaskular (RR 0,39; 95%IK: 0,31-0,40) dan respiratorik (RR 0,66; 95%IK: 0,51-0,85) pada pasien PPOK.[12]
Berbeda dengan diuretik, pemberian ACE-inhibitor dan ARB dapat meningkatkan kadar kalium sehingga dapat menurunkan risiko hipokalemia terkait penggunaan terapi agonis reseptor beta-2, sehingga dapat dijadikan pilihan pada pasien yang memiliki risiko terjadinya hipokalemia.[7]
Namun perlu diingat efek samping obat ACEi (captopril, ramipril) di antaranya adalah keluhan batuk dengan prevalensi 5−35% dari pasien yang mengonsumsi ACEi. Sedangkan efek samping angioedema, walaupun jarang terjadi, risikonya meningkat pada individu berusia ≥ 65 tahun dan perokok, serta pada pasien yang mengonsumsi obat bersama dengan antihipertensi golongan CCB, antihistamin, maupun glukokortikoid sistemik. Sedangkan penggunaan obat ARB (candesartan, valsartan) dapat menjadi pilihan, mengingat risiko terjadinya batuk yang lebih rendah.[7,13]
Antihipertensi Beta Blocker pada PPOK
Penggunaan penyekat reseptor beta kardioselektif, seperti bisoprolol, telah diteliti dapat menurunkan angka kematian pada pasien hipertensi dengan riwayat gagal jantung atau infark miokard. Sedangkan penyekat reseptor beta non-kardioselektif, seperti carvedilol atau propranolol baik oral maupun intravena, tidak direkomendasikan pada pasien dengan riwayat gangguan saluran pernapasan.[7,8,14,19]
Penggunaan penyekat reseptor beta pada PPOK masih jarang dilakukan, meskipun berbagai bukti ilmiah telah menunjukkan hal yang sebaliknya. Dalam penelitian yang melibatkan 388 pasien PPOK yang dilakukan coronary artery bypass grafting (CABG) melaporkan bahwa kesintasan pasien yang mendapat terapi penyekat reseptor beta lebih baik daripada yang tidak mendapat terapi dalam pengamatan 36 bulan (8 kematian vs 19 kematian, p=0,03). Analisis lanjutan menunjukkan efek protektif penyekat reseptor beta yang bermakna signifikan terhadap kesintasan pasien (HR 0,38; p=0,003).[16]
Antihipertensi Lain pada PPOK
Hingga saat ini, penelitian efikasi obat antihipertensi pada PPOK masih terbatas. Penggunaan penyekat kanal kalsium atau calcium channel blocker (CCB) telah terbukti menurunkan morbiditas komplikasi kardiovaskular pada populasi umum. Namun, penggunaannya pada populasi PPOK masih memerlukan lebih banyak bukti ilmiah mengingat keterbatasan data.[7,8]
Suatu penelitian observasional terhadap 5991 pasien di Denmark melaporkan bahwa CCB dapat meningkatkan kesintasan pada pasien PPOK dengan gagal jantung kanan (HR: 0,86; 95%IK: 0,80-0,92).[17]
Demikian pula data mengenai penggunaan diuretik hemat kalium maupun antagonis reseptor aldosteron pada pasien PPOK masih terbatas. Pilihan diuretik pada pedoman saat ini lebih menggunakan diuretik thiazide sebagai terapi awal hipertensi.[8] Penggunaan antihipertensi penyekat reseptor alfa tidak terkait terhadap perburukan PPOK. Sedangkan penghambat sistem saraf pusat, seperti clonidine, dapat menyebabkan hiperresponsivitas bronkial bila diberikan setelah inhalasi antihistamin, sehingga penggunaannya harus secara hati-hati.[18]
Kesimpulan
Komorbid yang sering diderita pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah hipertensi. Pemberian antihipertensi, untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler, harus dilakukan dengan bijak agar tidak menyebabkan efek samping, seperti batuk atau gangguan elektrolit yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan pasien PPOK. Tujuan pemberian antihipertensi adalah mencapai target tekanan darah (<130/80 mmHg) tanpa disertai eksaserbasi PPOK.
Antihipertensi diuretik (thiazide) masih menjadi pilihan terapi awal, tetapi harus diperhatikan efek samping hipokalemia terutama bila pasien PPOK menerima terapi agonis reseptor beta-2 dan glukokortikoid. Sedangkan diuretik loop (furosemide, butanamide) harus dibatasi pada populasi PPOK terutama lansia.
Obat ACEi dan ARB dapat diberikan untuk pasien PPOK yang mendapatkan terapi agonis reseptor beta-2 dengan risiko hipokalemia, karena kedua golongan obat tersebut dapat meningkatkan kalium. Namun, perlu diingat efek samping ACEi (captopril, ramipril) berupa batuk dan angioedema, terutama pada pasien lansia, merokok, dan mengonsumsi antihistamin maupun glukokortikoid sistemik. Obat ARB (candesartan, valsartan) memiliki risiko batuk yang lebih rendah.
Penggunaan obat beta bloker kardioselektif (bisoprolol) pada pasien PPOK masih jarang dilakukan, tetapi bukti ilmiah menunjukkan efek protektif yang bermakna signifikan terhadap kesintasan pasien. Sedangkan beta bloker non-kardioselektif (carvedilol, propranolol) tidak direkomendasikan pada pasien dengan riwayat gangguan saluran pernapasan. Penelitian efikasi dan keamanan antihipertensi lain pada pasien PPOK hingga saat ini masih terbatas.
Penggunaan antihipertensi pada pasien penyakit paru kronis lain seperti asma juga membutuhkan pertimbangan khusus.
Penulis Pertama: dr. Imanuel Natanael Tarigan