Sebuah studi kohort yang dilakukan di Australia menemukan bahwa pterigium dapat digunakan sebagai prediktor terjadinya melanoma kutaneus. Pterigium adalah lesi pada permukaan bola mata yang ditandai dengan degenerasi elastotik dan proliferasi fibrovaskular pada konjungtiva limbus. Pterigium ditemukan berhubungan dengan pajanan terhadap radiasi sinar ultraviolet.[1,2]
Melanoma kutaneus adalah keganasan sel yang memproduksi pigmen (melanosit). Melanoma terjadi melalui melanomagenesis melibatkan banyak proses mutasi genetik yang progresif. Mutasi genetik dapat menginduksi proliferasi, diferensiasi, dan kematian sel serta menyebabkan kerentanan pada efek karsinogenesis oleh radiasi ultraviolet.
Beberapa studi sudah mencoba mencari hubungan mekanisme patogenesis pada kedua penyakit ini. Namun hingga saat ini belum ditemukan penjelasan hubungan antara pterigium dengan melanoma kutaneus. Kedua penyakit ini dihubungkan dengan satu etiologi yang sama sehingga sering sekali ditemukan terjadi secara bersamaan.
Pterigium
Pterigium adalah lesi pada permukaan bola mata yang ditandai dengan degenerasi elastotik dan proliferasi fibrovaskular pada konjungtiva limbus. Manifestasi klinis pterigium adalah massa ekstraokular, superfisial, menonjol yang biasanya terbentuk dari konjungtiva perilimbus hingga permukaan kornea.
Pterigium dapat bermanifestasi mulai dari kondisi yang ringan dalam bentuk lesi atrofi hingga yang berat membentuk lesi fibrovaskular yang agresif dan tumbuh dengan cepat. Pterigium dapat menganggu penglihatan dengan menyebabkan mata merah, astigmatisme, dan obstruksi aksis visual.[1]
Pterigium ditemukan berhubungan dengan pajanan terhadap radiasi sinar ultraviolet. Faktor risiko lainnya adalah tinggal di daerah tropis dan subtropis serta pekerjaan yang mengharuskan aktivitas di luar ruangan yang berhubungan dengan intensitas pajanan pada radiasi sinar ultraviolet. [1]
Melanoma Kutaneus
Melanoma terjadi melalui melanomagenesis melibatkan banyak proses mutasi genetik yang progresif. Mutasi genetik dapat menginduksi proliferasi, diferensiasi dan kematian sel serta menyebabkan kerentanan pada efek karsinogenesis oleh radiasi ultraviolet.
Beberapa faktor risiko terjadinya melanoma adalah sensitivitas kulit pada sinar matahari, pajanan sinar matahari pada anak-anak, teriknya sinar matahari, peningkatan jumlah nevus, riwayat keluarga dengan melanoma, dan usia. Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan adalah jenis kelamin, riwayat melanoma, dan nevus kongenital yang besar (diameter > 20 cm pada usia dewasa).[3]
Pterigium Sebagai Prediktor Melanoma
Sebuah studi kohort dilakukan di Australia melibatkan 23.625 kasus pterigium selama tahun 1979 hingga 2014. Kontrol pada penelitian ini adalah subjek tanpa pterigium yang memiliki jenis kelamin, usia dan kode pos (dihubungkan dengan tempat tinggal subjek) yang sepadan dengan kelompok kasus. Didapati 1957 kasus dengan melanoma kutaneus pada kedua kelompok, dan ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik antar kelompok. [2]
Penelitian ini melaporkan bahwa terdapat peningkatan kemungkinan sebesar 24% untuk penderita pterigium yang pernah menjalani pengobatan mengalami melanoma kutaneus setelah dilakukan kontrol statistik pada faktor usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal, dan jenis tata laksana pterigium yang dilakukan pada pasien.
Selain itu, ditemukan juga hubungan antara usia pasien saat mendapatkan tata laksana pterigium dengan diagnosis melanoma kutaneus. Setelah melakukan kontrol faktor prediktor lainnya, ditemukan juga bahwa terjadi peningkatan risiko sebesar 2% untuk setiap tahun peningkatan usia pada saat perawatan pterigium.[2]
Sebuah studi kohort skala nasional yang dilakukan sebelumnya di Taiwan menemukan bahwa dari 19.701 pasien dengan pterigium didapati 7 pasien dengan melanoma maligna. Insidensi pada kelompok pterigium hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, namun hazard ratio pada kedua kelompok ini tidak berbeda bermakna.[4]
Penelitian sudah mencoba mencari hubungan mekanisme patogenesis pada kedua penyakit ini. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Italia tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pajanan berlebihan pada sinar matahari dan radiasi ultraviolet sebagai faktor predisposisi lingkungan terbesar pada pterigium dan melanoma.
Telaah genetika menemukan terdapat kesamaan mutasi genetik pada pterigium dan melanoma. Pada kedua penyakit tersebut terjadi penurunan heterozigositas kromosom regio 9p21. Penelitian itu juga bertujuan untuk mengetahui keberadaan antigen yang diasosiasikan dengan melanoma pada jaringan pterigium untuk mengetahui hubungan patofisiologi keduanya.[5]
Pada penelitian histopatologi ini ditemukan bahwa pada jaringan pterigium hanya menunjukkan immunoreaktivitas pada satu antigen spesifik melanoma yakni pewarnaan S100. Pewarnaan immunohistokimia lain yang spesifik melanoma yakni pewarnaan HMB45 dan Melan A tidak menunjukkan immunoreaktivitas pada jaringan pterigium. Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi antara pterigium dengan melanoma.[5]
Saat ini belum ditemukan penjelasan patofisiologi hubungan antara pterigium dengan melanoma kutaneus. Kedua penyakit ini hanya dihubungkan dengan satu etiologi yang sama, yaitu pada radiasi sinar ultraviolet, sehingga sering ditemukan terjadi secara bersamaan. Pterigium banyak ditemukan di iklim yang mendapatkan pajanan pada sinar matahari yang panjang. Patofisiologi antara pterigium dengan radiasi sinar ultraviolet belum banyak diketahui, namun dihubungkan dengan remodeling matriks ekstra seluler melalui stimulasi kerja sitokin dan agen imunologi lainnya.[6,7]
Hubungan antara radiasi sinar ultraviolet dengan melanoma kutaneus sudah banyak diteliti. Kondisi kulit seperti warna kulit, luka bakar, dan mola berhubungan dengan kejadian melanoma kutaneus. Studi menemukan bahwa total pajanan pada sinar matahari berhubungan erat dengan kejadian melanoma kutaneus.
Walaupun demikian, ditemukan bahwa pajanan secara intermitten pada radiasi sinar ultraviolet memiliki hubungan risiko yang lebih besar dibanding populasi yang terpajan sinar ultraviolet secara terus menerus. Pajanan intermitten terjadi misalnya pada saat berlibur ke daerah dengan paparan sinar matahari yang banyak seperti pantai.[8]
Radiasi sinar ultraviolet menyebabkan melanoma kutaneus melalui mutasi DNA. Paparan pada sinar ultraviolet dapat menyebabkan pembentukan dimer pirimidin atau deaminasi sitosin dan timidin. Kerentanan mutasi DNA ini juga dipengaruhi oleh familial dengan mekanisme yang belum diketahui. Diduga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap sinar ultraviolet yang berhubungan dengan peningkatan risiko melanoma.[9,10]
Kesimpulan
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pterigium dapat digunakan sebagai penanda akan kemungkinan terjadinya melanoma kutaneus pada penderita. Penatalaksaan pterigium pada penderita tidak mengurangi risiko terjadinya melanoma kutaneus. Dokter harus memberikan informasi yang tepat pada pasien. Semua pasien yang terdiagnosis yang pterigium, baik yang diterapi ataupun tidak, dapat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kulit rutin.
Pasien dengan pterigium yang memiliki faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin atau riwayat melanoma dalam keluarga harus menjadi prioritas untuk dilakukan pemeriksaan kulit menyeluruh agar deteksi dini melanoma kutaneus dapat dilakukan dan pasien dapat memperoleh penatalaksanaan sedini mungkin bila diperlukan.