Risiko Kanker Akibat CT Scan

Oleh :
dr. Reren Ramanda

Risiko kanker akibat radiasi CT scan sudah lama diketahui, tetapi seberapa besarkah risikonya dan apakah manfaatnya masih melebihi risikonya masih sering dipertanyakan. CT scan merupakan modalitas pencitraan radiologi yang penggunaannya meningkat setiap tahun. Indikasi penggunaannya juga terus bertambah, karena CT scan sangat membantu penegakkan diagnosis berbagai penyakit.[1]

Namun, berdasarkan studi epidemiologi, peningkatan penggunaan CT scan juga turut meningkatkan risiko kanker. Studi mengestimasi bahwa paparan radiasi dari CT scan berkontribusi terhadap 5% kasus kanker baru di Amerika Serikat setiap tahunnya. Hal ini hampir menyamai faktor risiko kanker lain, seperti konsumsi alkohol (5.4%) dan berat badan berlebih (7.6%).[1,2]

Risiko Kanker Akibat CT Scan

Namun, banyak peneliti mempertanyakan validitas estimasi tidak langsung sebelumnya yang didasarkan pada proyeksi risiko radiasi yang tidak pasti. Selain itu, temuan studi CT scan terbaru perlu diinterpretasikan dengan hati-hati, karena kemungkinan adanya hubungan sebab akibat terbalik. Karena keputusan untuk melakukan CT scan juga tidak dialokasikan secara acak, melainkan berdasarkan indikasi medis.[1]

Hubungan Antara CT Scan dan Risiko Kanker

Berdasarkan meta-analisis oleh Cao et al. yang melibatkan 111,6 juta partisipan dewasa dari 3 benua (Asia, Eropa, dan Amerika), ada peningkatan risiko kanker yang luar biasa akibat pemindaian CT pada orang dewasa. Lebih lanjut, risiko kanker juga berkorelasi positif dengan dosis radiasi dan lokasi CT.[1]

Insiden tertinggi untuk risiko kanker dilaporkan pada skrining CT paru, yakni diestimasi sekitar 2,9–8,0 per 1000 pada perempuan. Bila individu-individu dalam suatu populasi menjalani berbagai skrining kanker secara rutin dengan CT scan, sebanyak 5–7 kanker per 1000 pria dan 6–13 kanker per 1000 perempuan diperkirakan akan terjadi.[3]

Kanker usus besar juga umum terjadi, dengan kejadian yang agak lebih tinggi pada laki-laki (58,6% pada laki-laki). Kanker tiroid juga umum ditemukan, dengan perbedaan antar jenis kelamin yang signifikan. Sebagai contoh, sekitar 1400 vs. 320 kanker tiroid diproyeksikan terjadi akibat CT pada pasien perempuan dan laki-laki (masing-masing) yang dilakukan saat pasien berusia <1 tahun, meskipun dosis radiasi yang diberikan sama (74,4 dan 75,2 mGy).[2]

CT abdomen dan pelvis juga diproyeksikan menyebabkan insiden kanker yang tinggi karena CT abdomen dan pelvis membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu, CT seluruh tubuh dan CT tulang belakang menimbulkan risiko yang lebih besar rata-rata per pemeriksaan karena sering kali menggunakan beberapa fase pemindaian yang menghasilkan dosis yang lebih tinggi.[2]

Hal ini juga tampak pada hasil studi pada kanker otak. Terjadi peningkatan risiko kanker otak seiring dengan peningkatan jumlah pemindaian dan perkiraan dosis radiasi. Risiko kanker otak meningkat sebesar 80% untuk setiap 100 mGy paparan radiasi.[4]

Prediksi Risiko Kanker Akibat CT Scan

Saat ini ada berbagai model risiko kanker. Model risiko kanker BEIR VII merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dan diterima untuk mengukur risiko kanker akibat radiasi dosis rendah. Namun, beberapa organisasi telah menerbitkan model risiko lainnya, seperti U.S. Environmental Protection Agency, The National Radiological Protection Board (NRPB), dan United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR).[2]

Smith-Bindman et al. mengembangkan model risiko kanker akibat radiasi menggunakan data dari beberapa registry. Mereka menggunakan Radiation Risk Assessment Tool (RadRAT) dari National Cancer Institute untuk memperkirakan risiko kanker seumur hidup dan menstratifikasi proyeksi berdasarkan jenis kanker, usia, dan jenis kelamin. Mereka memperkirakan risiko kanker seumur hidup pada dewasa sebesar 0,1%.[2]

Perkiraan tersebut memproyeksikan sekitar 93.000 kasus kanker yang dapat diprediksi, yang berarti bahwa kanker yang diinduksi CT dapat mewakili hingga 5% dari semua diagnosis kanker baru setiap tahunnya. Jenis kanker yang paling banyak diproyeksikan adalah paru-paru (23%), usus besar (22%), leukemia (9%), kandung kemih (8%), dan tiroid (8%).[2,5]

Pada anak-anak, perkiraan risiko kanker seumur hidup adalah 0,3%, dengan kanker tiroid (36%) dan kanker paru-paru (10%) sebagai yang paling umum. Para penulis juga menilai dosis radiasi spesifik organ dan menemukan bahwa pengurangan dosis organ sebesar 20% dapat menurunkan risiko kanker hingga 22,2% dari nilai proyeksi.[2]

Dosis Radiasi CT Scan

CT scan memaparkan dosis radiasi yang lebih tinggi daripada radiologi konvensional sinar-X (50–1000 kali lebih tinggi). Dosis efektif CT diperkirakan berada dalam kisaran 1-10 mSv. Dosis efektif rata-rata dari prosedur CT toraks biasanya diperkirakan sebesar 10 mSv.[3]

Saat mengukur paparan radiasi, satuan ukuran yang digunakan adalah Sievert (Sv) dan Gray (Gy). Sv mengukur kerusakan yang terjadi pada tubuh manusia, sedangkan Gy adalah energi yang diserap tubuh per satuan massa. Baik untuk sinar-X maupun sinar gamma, kedua satuan ukuran tersebut secara numerik setara (satu Gy dosis radiasi menyebabkan satu Sv kerusakan).[6]

CT scan menyumbang porsi radiasi terbesar setelah sumber alami dari lingkungan bagi populasi. CT mencakup sekitar 50% dari semua radiasi medis. Diperkirakan bahwa untuk setiap 1 mSv paparan, ada risiko 0,005% terkena kanker fatal. Dengan demikian, dosis radiasi 100 mSv akan memiliki risiko kanker sebesar 0,5%.[7]

Paparan radiasi ini sangat kritis terutama pada pasien anak (<10 tahun) karena ada kerentanan organ yang sedang berkembang dan ada risiko paparan kumulatif seumur hidup. Paparan harus dibatasi sesuai prinsip "serendah yang dapat dicapai secara wajar". Pemeriksaan berulang harus dihindari. Pemeriksaan ini hanya boleh dilakukan jika manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya.[7]

Mempertimbangkan Manfaat dan Risiko CT Scan

Penggunaan CT scan yang meluas dan terus meningkat seiring waktu perlu menjadi perhatian medis. Dokter harus mempertimbangkan dengan cermat apakah penggunaan CT scan dapat dibenarkan atau apakah pencitraan lain sudah mencukupi.[8]

Dokter juga harus mempertanyakan apakah indikasi CT untuk menegakkan diagnosis atau hanya untuk skrining rutin. Skrining rutin tanpa bukti manfaat klinis harus dihindari. Skrining berulang dengan CT terutama menyebabkan risiko kanker semakin tinggi.[3,8]

Dosis juga harus dipertimbangkan. Pemindaian CT dosis rendah bisa mengurangi dosis radiasi dibandingkan dengan pemindaian CT konvensional. Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS mendefinisikan dosis radiasi rendah hingga ~100 mSv. Saat ini, metode CT dosis rendah dapat dibagi menjadi tiga kategori utama: metode pasca-pemrosesan gambar, metode rekonstruksi iteratif, atau metode penyaringan domain proyeksi.[8]

BEIR VII memprediksi bahwa prosedur CT dengan dosis efektif 10 mSv dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker sekitar 1 dari 1000 pemeriksaan CT scan dan kanker fatal sekitar 1 dari 2000. Risiko ini sebenarnya dinilai cukup rendah oleh beberapa studi, tetapi tetap patut diperhatikan mengingat semakin meluasnya populasi yang menjalani CT scan dan semakin meningkatnya angka kejadian kanker terkait CT scan.[3,6]

Pemberian Edukasi pada Pasien terkait CT Scan

Untuk pasien yang hendak menjalani CT scan, dokter perlu memberikan edukasi yang adekuat mengenai alasan kenapa CT scan perlu dilakukan, potensi manfaatnya untuk diagnosis atau penentuan terapi, serta risiko radiasinya. Edukasikan juga bahwa CT scan untuk skrining rutin tanpa basis yang jelas sebaiknya dihindari, guna mengurangi paparan radiasi. Jika pasien anak-anak, edukasi terutama perlu diberikan pada orang tua terkait risiko yang lebih tinggi karena organ anak yang masih berkembang.[3,6,8]

Kesimpulan

CT scan merupakan pencitraan yang berperan penting dalam penegakkan diagnosis berbagai penyakit, tetapi penggunaannya tidak terlepas dari risiko kanker akibat radiasi. Risiko kanker seumur hidup (terkait CT) pada dewasa sebesar 0,1%. Hal ini diproyeksi berkontribusi terhadap 5% kasus kanker baru setiap tahunnya. Pada anak, risiko kanker seumur hidup diperkirakan 0,3%. Risiko ini lebih tinggi karena kerentanan organ yang masih berkembang pada anak.

Risiko tersebut dinilai rendah oleh beberapa pelaku studi, terutama jika dibandingkan dengan potensi manfaat CT pada kasus yang memang terindikasi. Namun, dokter tetap perlu waspada. Saat hendak menginstruksikan CT, dokter perlu mengevaluasi apakah CT benar diperlukan, apakah pencitraan lain belum mencukupi, dan apakah indikasi CT sebagai diagnosis atau sebagai skrining saja. Skrining rutin dengan CT tanpa manfaat klinis yang terbukti harus dihindari.

Dosis radiasi yang digunakan juga sebaiknya dosis efektif terendah. Pengulangan CT yang tidak perlu sebaiknya dihindari. Hal-hal ini perlu diedukasikan pada pasien, agar pasien juga dapat memahami risiko CT dan kondisi mana yang benar memerlukan CT.

Referensi