Terapi Antiepilepsi untuk Kejang Pertama: Perlu atau Tidak

Oleh :
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

Perlu atau tidaknya pemberian terapi antiepilepsi untuk pasien yang mengalami kejang pertama tanpa provokasi masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli menyarankan agar terapi antiepilepsi segera dimulai untuk mengurangi risiko kejang yang berulang, tetapi beberapa ahli yang lain menyarankan agar terapi ditunda karena kejang baru dialami satu kali.[1,2]

Penelitian menyatakan bahwa 40–50% pasien dengan serangan kejang pertama tanpa provokasi akan mengalami kejang berulang dalam waktu 5 tahun. Hal ini berarti bahwa ada cukup banyak pasien yang tidak mengalami kejang berulang. Oleh karena itu, beberapa peneliti menganggap bahwa pemberian terapi antiepilepsi pada pasien yang mengalami kejang pertama kali tanpa provokasi tidak diperlukan, terutama karena obat antiepilepsi sendiri memiliki cukup banyak efek samping.[1,2]

Terapi Antiepilepsi untuk Kejang Pertama

Faktor yang Memengaruhi Pemberian Terapi Antiepilepsi

Sebelum menentukan perlu atau tidaknya pemberian terapi antiepilepsi pada pasien yang mengalami kejang pertama kali, dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan rekurensi kejang dan kecurigaan penyebab kejang pada setiap pasien. Diagnosis penyebab kejang yang tepat akan membantu dokter menilai risiko rekurensi. Dokter dapat melakukan CT scan, MRI, atau elektroensefalografi (EEG) bila perlu.[2-4]

Keputusan untuk memberikan terapi disesuaikan dengan stratifikasi risiko. Adanya gelombang epileptiform pada EEG atau adanya lesi otak pada MRI dan CT scan merupakan faktor prediktor rekurensi kejang, sehingga pasien mungkin memerlukan terapi antiepilepsi. Sebaliknya, pada pasien yang tidak memiliki bukti penyebab kejang atau pasien yang penyebab kejangnya dapat segera teratasi, risiko kejang berulang dianggap minimal, sehingga obat antiepilepsi mungkin tidak diperlukan.[2-4]

Bukti tentang Dampak Pemberian Terapi Antiepilepsi pada Kejang Pertama

Bao, et al. melakukan simulasi uji klinis untuk membandingkan efek pemberian terapi antiepilepsi segera dan efek penundaan terapi pada pasien yang mengalami kejang pertama kali tanpa provokasi. Hasil menunjukkan bahwa pada pasien dengan risiko rekurensi kejang moderat (52% dalam 10 tahun setelah kejang pertama), pemberian terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama lebih disarankan daripada penundaan terapi karena dapat meningkatkan kualitas hidup.[5]

Namun, menurut meta analisis Leone, et al. yang mempelajari uji-uji klinis sebenarnya dan bukan hanya melakukan simulasi uji klinis, pemberian terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama tidak meningkatkan remisi jangka panjang secara signifikan dan tidak begitu mengurangi mortalitas jika dibandingkan dengan tidak adanya terapi.[4]

Menurut meta analisis Leone, et al. tersebut, terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama memang mengurangi risiko rekurensi kejang dalam 1 tahun pertama (RR 0,49; 6 uji klinis; 1634 partisipan; kualitas bukti tinggi) dan dalam 5 tahun pertama (RR 0,78; 2 uji klinis; 1212 partisipan; kualitas bukti tinggi) jika dibandingkan dengan tidak adanya terapi. Namun, tidak ada perbedaan bermakna dalam hal angka remisi 5 tahun dan mortalitas total (RR 1,02 dan 1,16; 2 uji klinis; 1212 partisipan; kualitas bukti tinggi).[4]

Menurut meta analisis Leone, et al. tersebut, terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama juga menghasilkan risiko efek samping yang lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan penundaan terapi (RR 1,49; 2 uji klinis; 1212 partisipan; kualitas bukti moderat).[4]

Analisis yang ada saat ini menyimpulkan bahwa pemberian obat antiepilepsi (OAE) setelah kejang pertama tanpa provokasi memang mengurangi risiko kejang berulang, tetapi tidak memperbaiki remisi dalam jangka panjang dan tidak terbukti mengurangi mortalitas. Selain itu, pemberian OAE berisiko efek samping cukup tinggi.[3,4]

Rekomendasi Tata Laksana untuk Pasien Kejang

Menurut Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN), OAE hanya dianjurkan untuk pasien-pasien berikut:

  • Pasien yang sudah pernah mengalami kejang mioklonik, kejang absans, atau kejang fokal sebelumnya
  • Pasien yang memiliki hasil EEG dengan karakteristik epilepsi

  • Pasien dengan defisit neurologis kongenital
  • Pasien dengan risiko rekurensi kejang tinggi[2]

Rekomendasi tersebut didukung oleh First Seizure Trial (FIRST), Medical Research Council Multicentre Study of Early Epilepsy and Single Seizure (MESS), dan hasil studi lainnya. Menurut American Epilepsy Society, pasien dengan risiko rekurensi kejang tinggi adalah pasien dengan gelombang epileptiform pada EEG, abnormalitas pada MRI atau CT otak, dan kejang nokturnal.[2]

International League Against Epilepsy (ILAE) menyatakan bahwa pemilihan terapi pada serangan kejang pertama tanpa provokasi harus berhati-hati dan dikembalikan kepada keputusan masing-masing pasien dan dokternya, sesuai dengan pertimbangan usia, komorbiditas, dan kondisi sosioekonomi.[3]

Edukasi pasien menjadi aspek penting dalam tata laksana. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan rekurensi kejang dan perubahan yang mungkin diperlukan di tempat kerja, terutama untuk pasien yang pekerjaannya berhubungan dengan mesin berat, kendaraan, ketinggian, dan senjata api. Risiko rekurensi ini terutama lebih tinggi dalam 2 tahun pertama.[2,3]

Kesimpulan

Berbeda dengan keputusan terapi pada pasien yang sudah pernah mengalami kejang berulang atau sudah didiagnosis epilepsi, keputusan terapi antiepilepsi pada pasien yang baru mengalami kejang tanpa provokasi pertama kali masih sering diperdebatkan.

Beberapa ahli menyatakan bahwa pemberian terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama bisa mengurangi risiko rekurensi kejang. Akan tetapi, bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa pemberian terapi antiepilepsi segera setelah kejang pertama tidak memperbaiki angka remisi jangka panjang dan tidak mengurangi mortalitas. Pemberian terapi antiepilepsi segera justru berkaitan dengan angka kejadian efek samping yang lebih tinggi daripada penundaan terapi.

Pedoman klinis berbasis bukti yang ada saat ini menyarankan agar terapi antiepilepsi hanya diberikan pada pasien yang memang berisiko tinggi rekurensi, misalnya pasien yang memiliki abnormalitas pada EEG, MRI, atau CT scan otak. Pembuatan keputusan harus mempertimbangkan preferensi setiap pasien setelah mendapat edukasi dokter, usia pasien, pekerjaan pasien, komorbiditas, dan kondisi sosioekonomi pasien.

Referensi