Modalitas tata laksana pada kasus keguguran dapat dengan pemberian medikamentosa atau tindakan, termasuk kuretase tajam maupun aspirasi vakum manual (AVM). Keguguran (miscarriage atau abortus) adalah berhentinya kehamilan secara spontan sebelum usia kehamilan 24 minggu.
Apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik, keguguran dapat menyebabkan morbiditas serius, seperti perdarahan, infeksi, dan bahkan kematian. Keguguran juga dapat menimbulkan beban psikologis bagi pasien maupun pasangannya, serta bisa mengganggu kualitas hidup.[1-3]
Pilihan Modalitas Tata Laksana Keguguran
Pada beberapa kasus, pemberian medikamentosa sejenis prostaglandin (misalnya misoprostol) dianggap lebih efisien dan efektif, karena dapat mengurangi biaya perawatan akibat intervensi bedah, pemberian obat anestesi, serta dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit. Misoprostol merupakan obat pilihan untuk tata laksana keguguran, tetapi belum ada kesepakatan tentang dosis maupun cara pemberian (peroral atau pervaginam) terbaik.[1-4]
Alternatif lain adalah tindakan kuretase atau AVM, ataupun kombinasi dari farmakoterapi dan tindakan. Secara umum, medikamentosa lebih dipilih jika hasil konsepsi belum keluar secara spontan, misalnya pada kasus blighted ovum dan missed abortion. Sementara itu, tindakan kuretase atau AVM dilakukan bila sebagian dari hasil konsepsi sudah keluar dari cavum uteri atau abortus inkomplit.[1-4]
Pilihan tata laksana keguguran lain adalah expectant management. Modalitas tata laksana ini dilakukan dengan membiarkan sisa jaringan meluruh secara alami tanpa intervensi medis. Biasanya peluruhan jaringan secara komplit akan tercapai dalam 2 minggu. Expectant management dilaporkan berhasil pada 58% pasien dan gagal pada 42%.[11]
Modalitas Tata Laksana Abortus Imminens
Ada beberapa macam bentuk keguguran atau abortus, antara lain abortus imminens, insipiens, inkomplit, blighted ovum, dan missed abortion. Masing-masing jenis abortus tersebut berbeda cara penanganannya. Satu-satunya jenis abortus yang dapat dipertahankan kehamilannya adalah abortus imminens. Pada pemeriksaan ginekologi, ostium uteri eksternum didapatkan masih menutup dan bila dilakukan pemeriksaan USG tampak janin masih hidup.[4,5]
Pengobatan pada abortus imminens adalah pembatasan aktivitas berat serta meneruskan konsumsi vitamin prenatal dan asam folat. Pemberian progesteron belum dipercaya efektif untuk mencegah terjadinya abortus spontan. Tirah baring yang lama juga tidak direkomendasikan karena dilaporkan dapat menimbulkan thrombosis vena atau emboli paru.[5]
Modalitas Tata Laksana Abortus Inkomplit
Abortus inkomplit ditandai dengan adanya pengeluaran sebagian dari hasil konsepsi dengan sebagian lain masih tertinggal di dalam cavum uteri. Pada abortus inkomplit bisa terjadi perdarahan yang banyak. Pada pemeriksaan ginekologi didapatkan adanya darah yang keluar dari jalan lahir, ostium uteri terbuka, dan teraba jaringan.[4,6]
Tata laksana abortus inkomplit tergantung kondisi pasien saat didiagnosis dan usia kehamilan. Bila perdarahan banyak dan muncul gejala syok hipovolemik, maka tindakan pertama adalah perbaikan keadaan umum dengan resusitasi cairan atau transfusi darah bila diperlukan. Selanjutnya, dapat dilakukan tindakan kuretase atau AVM segera untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi dan menghentikan perdarahan.
Menurut WHO, pada abortus inkomplit usia kehamilan kurang dari 13 minggu, bisa diberikan misoprostol 600 µg peroral atau 400 µg sublingual. Dosis lanjutan diberikan atas indikasi klinis. Sementara itu, pada usia kehamilan lebih dari 13 minggu, bisa diberikan misoprostol 400 µg sublingual, pervaginam, atau buccal, yang diulang setiap 3 jam.
Medikamentosa lebih dipilih karena efikasi biaya, mudah cara pemberiannya dan tidak invasif. Sementara itu, kuretase bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, perforasi uterus, infeksi, dan perlengketan intrauterine (sindrom Asherman). Jika tindakan dibutuhkan, dapat dipilih metode AVM karena dinilai lebih aman.[4]
Modalitas Tata Laksana Missed Abortion dan Blighted Ovum
Missed abortion didefinisikan sebagai adanya kematian mudigah yang masih berada di dalam cavum uteri pada usia kehamilan 20 minggu atau kurang dan pada pemeriksan ginekologi belum ditemukan pembukaan serviks. Diagnosis pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan USG, dimana didapatkan adanya fetal plate tetapi tidak ditemukan gerakan maupun denyut jantung janin.
Blighted ovum atau anembryonic gestation adalah keadaan kehamilan minimal usia 8 minggu dimana pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tetapi tidak ditemukan embrio dalam kantong tersebut. Pada pemeriksaan ginekologi, ostium uteri eksternum masih menutup.
Tata laksana pada missed abortion maupun blighted ovum adalah dengan tindakan membuka serviks uteri atau dilatasi terlebih dahulu. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan kuretase atau AVM.[4,6,7]
Efikasi Modalitas Tata Laksana Keguguran
Meta analisis Cochrane (2021) oleh Ghosh et al mencoba meninjau efikasi dari setiap pilihan modalitas tata laksana keguguran. Network meta-analysis ini meninjau data dari 78 uji klinis acak dengan total sampel 17.795 wanita dari 37 negara. Kebanyakan uji klinis yang ditinjau (71/78) dilakukan di rumah sakit dengan sampel wanita yang mengalami missed abortion ataupun abortus inkomplit.
Studi ini menemukan 5 metode tata laksana lebih efektif dibandingkan expectant management ataupun plasebo, yaitu: suction aspiration setelah dilatasi serviks (risk ratio/RR 2,12, low-certainty evidence); dilatasi dan kuretase (RR 1,49, low-certainty evidence); suction aspiration atau AVM (RR 1,44, low-certainty evidence); mifepristone plus misoprostol (RR 1,42, moderate-certainty evidence); serta misoprostol saja (RR 1,30, low-certainty evidence).
Analisis subgrup menunjukkan bahwa modalitas tata laksana tersebut membawa manfaat lebih besar pada missed abortion dibandingkan abortus inkomplit. Meski demikian, hasil meta analisis ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati karena adanya inkonsistensi dan heterogenitas data antar uji klinis yang ditinjau.[1]
Efikasi Modalitas Tata Laksana Abortus Inkomplit
Sebuah studi deskriptif di Rumah Sakit Pendidikan di Lahore mencoba menilai efikasi aspirasi vakum manual dalam tata laksana abortus inkomplit. Studi ini melaporkan bahwa keberhasilan aspirasi vakum manual didapat pada 96,5% sampel. Dalam studi ini, rerata usia sampel adalah 27,45±5,28 tahun, dengan rerata usia kehamilan adalah 8,05±3,30 minggu.[5]
Hasil tersebut kurang-lebih serupa dengan hasil studi lain berupa uji klinis di Rumah Sakit Pendidikan di Abakaliki Nigeria yang mencoba membandingkan efikasi misoprostol dengan aspirasi vakum manual dalam tata laksana abortus inkomplit trimester pertama. Studi ini menemukan bahwa penggunaan misoprostol menghasilkan angka kegagalan yang lebih tinggi, meskipun tidak signifikan secara statistik, bila dibandingkan dengan aspirasi vakum manual (keberhasilan evakuasi komplit 81,3% VS 95,7%).
Meski angka kegagalannya lebih tinggi, angka kepuasan pasien didapatkan lebih baik pada kelompok yang mendapat misoprostol dan tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam besaran biaya yang dikeluarkan pasien.[8]
Efikasi Modalitas Tata Laksana Missed Abortion dan Blighted Ovum
Sebuah uji klinis acak terkontrol multisenter pada 28 rumah sakit di Inggris mencoba untuk mengevaluasi apakah pemberian mifepristone plus misoprostol menghasilkan evakuasi komplit lebih tinggi dibandingkan misoprostol saja dalam kasus missed abortion. Dalam studi ini, pasien dirandomisasi untuk mendapat mifepristone 200 mg atau plasebo per oral, yang dilanjutkan dengan misoprostol 800 µg 2 hari kemudian.[9]
Hasil studi menunjukkan bahwa 59 (17%) dari 348 wanita di kelompok mifepristone plus misoprostol tidak berhasil mengalami pengeluaran gestational sac secara spontan dalam 7 hari, dibandingkan 82 (24%) dari 348 wanita di kelompok placebo plus misoprostol (RR 0,73, p=0,043). Selain itu, 62 (17%) dari 355 wanita di kelompok mifepristone plus misoprostol membutuhkan intervensi bedah, dibandingkan 87 (25%) dari 353 wanita di kelompok plasebo. (RR 0,71, p=0·021).[9]
Tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan terkait efek samping pada kedua kelompok uji. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa pemberian mifepristone plus misoprostol lebih efektif dibandingkan misoprostol saja dalam kasus missed abortion.[9]
Studi lain terkait efikasi modalitas tata laksana pada missed abortion dan blighted ovum adalah sebuah kohort yang melibatkan 941 wanita. Dalam studi ini, sampel dengan diagnosis missed abortion dan blighted ovum mendapat terapi mifepristone 200 mg yang dilanjutkan dengan misoprostol 800 µg pervaginam dalam 24‒48 jam, kemudian misoprostol 400 µg per oral setelah 3 jam dan 5 jam.[10]
Keberhasilan terapi didefinisikan sebagai tidak dibutuhkannya tindakan bedah. Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan terapi dicapai oleh 85,5% sampel dengan ukuran rahim kurang dari 12 minggu. Sementara itu, untuk wanita dengan ukuran rahim di bawah 9 minggu, tingkat keberhasilan dilaporkan sebesar 88,9%.[10]
Kesimpulan
Pemilihan modalitas tata laksana pada kasus keguguran (miscarriage atau abortus) akan bergantung pada kondisi masing-masing pasien, termasuk jenis dan usia kehamilan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa medikamentosa dan intervensi medis (kuretase atau AVM) memiliki efikasi yang baik dalam tata laksana keguguran bila dibandingkan dengan expectant management. Selain itu, terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan potensi kombinasi mifepristone plus misoprostol dibandingkan misoprostol saja dalam tata laksana abortus inkomplit.