Risiko kejadian tromboemboli vena dilaporkan meningkat pada pasien dengan sindrom nefrotik, sehingga beberapa ahli mempertimbangkan pemberian antikoagulan profilaksis. Sindrom nefrotik merupakan kondisi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (>3,5 g/hari), hipoalbuminemia, dislipidemia dan edema. Patologi glomerular primer yang berkaitan erat dengan sindrom nefrotik mencakup membranous glomerulonephritis (MGN), minimal change disease (MCD), focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dan membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN). Sementara itu, penyebab sekunder sindrom nefrotik meliputi nefropati diabetik dan penyakit amiloid.[1]
Risiko Tromboemboli pada Sindrom Nefrotik
Salah satu implikasi serius dari sindrom nefrotik ialah terjadinya kondisi hiperkoagulabilitas yang meningkatkan risiko kejadian tromboemboli vena (VTE) maupun arteri (ATE). Deep vein thrombosis (DVT) terjadi pada kira-kira 15% pasien sindrom nefrotik, sedangkan trombosis vena renal (RVT) dilaporkan terjadi pada 25-30% pasien. Risiko terbesar tampak pada pasien dengan subtipe histologi membranous glomerulonephritis (37%), membranoproliferative glomerulonephritis (26%), dan minimal change disease (24%).[1]
Sejumlah laporan kasus turut melaporkan adanya kasus infark miokard akut pada pasien yang sudah didiagnosis sindrom nefrotik. Laporan kasus tersebut menemukan adanya trombosis di arteri koroner yang dikonfirmasi dengan angiografi koroner.[2-5]
Hiperkoagulabilitas Pada Sindrom Nefrotik
Pada sindrom nefrotik terjadi kondisi hiperkoagulabilitas karena adanya ketidakseimbangan pada homeostasis koagulasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh menurunnya faktor antitrombotik (faktor IX,XI, dan XII) via proteinuria masif dan meningkatnya sintesis faktor protrombotik oleh hepar. Ditemukan penurunan kadar antikoagulan natural antitrombin III, dan meningkatnya kadar faktor koagulasi seperti faktor II, V, VII, VIII, X, XIII dan fibrinogen pada pasien sindrom nefrotik.[1,3]
Selain itu, pada pasien sindrom nefrotik juga telah dilaporkan terjadi penurunan kadar protein C, protein S, dan aktivitas sistem fibrinolitik. Di sisi lain, hipoalbuminemia turut meningkatkan kadar asam arakidonat bebas dan meningkatkan pembentukan tromboksan A2 oleh trombosit yang berkontribusi pada peningkatan agregasi trombosit. Kondisi hiperagregasi trombosit ini semakin diperburuk oleh hiperkolesterolemia pada sindrom nefrotik.[1,3-5]
Bukti Ilmiah Pemberian Profilaksis Antikoagulan pada Sindrom Nefrotik
Kondisi hiperkoagulabilitas dan bukti ilmiah yang menunjukkan peningkatan risiko kejadian tromboemboli pada sindrom nefrotik, mengindikasikan perlunya terapi profilaksis. Meski demikian, penting untuk mengetahui apakah seluruh pasien memerlukan profilaksis, serta kapan dan bagaimana cara pemberian antikoagulan pada sindrom nefrotik.
Mempertimbangkan Kelompok Pasien Sindrom Nefrotik yang Memerlukan Profilaksis Antikoagulan
Subtipe histologi dari sindrom nefrotik merupakan faktor penting dalam menilai risiko tromboemboli. Data yang tersedia menunjukkan bahwa subtipe membranous glomerulonephritis (MGN) berkaitan dengan risiko kejadian tromboemboli lebih tinggi jika dibandingkan dengan subtipe histologi glomerulonefritis penyebab sindrom nefrotik lainnya.[1]
Sebuah analisis yang dilakukan pada 1313 pasien glomerulonefritis yang mengalami sindrom nefrotik menemukan bahwa subtipe MGN berhubungan dengan hazard ratio 10,8 untuk kejadian VTE jika dibandingkan dengan IgA nephropathy dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).[1,6] Bahkan, terdapat studi observasi yang melaporkan bahwa sebanyak 36% pasien MGN-related nephrotic syndrome mengalami kejadian VTE.[7-10]
Meski demikian, subtipe histologi sindrom nefrotik lainnya tetap berkaitan dengan risiko trombosis meski dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan MGN.[1,11-13] Penjelasan terkait penyebab hal tersebut belum diketahui dengan jelas, meskipun diduga terdapat hubungan antara MGN dengan predisposisi genetik, seperti kelainan faktor V Leiden, terhadap risiko tinggi tromboemboli.[14]
Mempertimbangkan Kapan Sindrom Nefrotik Memerlukan Profilaksis Antikoagulan
Adapun faktor lain yang menjadi pertimbangan untuk memulai pemberian profilaksis antikoagulan pada sindrom nefrotik, yakni kadar serum albumin dan risiko pendarahan.
Serum Albumin:
Hasil studi observasi menunjukkan bahwa serum albumin menjadi prediktor kuat terhadap kejadian tromboemboli vena (VTE) pada pasien sindrom nefrotik.[10,15]
Derajat keparahan hipoalbuminemia dipertimbangkan sebagai surrogate marker untuk derajat keparahan ketidakseimbangan faktor protrombotik dan antitrombotik. Laporan Lionaki et al menunjukkan bahwa kondisi hipoalbuminemia < 28 g/l berhubungan dengan risiko 3,9 kali lipat dan risiko tersebut semakin signifikan jika kadar albumin jatuh dibawah dari 22 g/l pada pasien subtipe histologi MGN.[9]
Hal serupa ditunjukkan pula oleh analisis retrospektif Gyamlani et al yang menemukan bahwa risiko trombosis naik proporsional bersama-sama dengan penurunan serum albumin, bahkan dimulai sejak penurunan ringan antara 30-39,9 g/l. Risiko tertinggi ditunjukkan oleh kelompok hipoalbuminemia dibawah 25 g/l.[16]
Perlu dicatat bahwa bukti yang tersedia saat ini lebih banyak diasosiasikan dengan pasien MGN-related nephrotic syndrome, sehingga ambang batas serum albumin yang dipakai bisa saja berbeda untuk subtipe sindrom nefrotik lainnya.[1]
Risiko Perdarahan:
Selain dari kadar serum albumin, keputusan untuk memulai profilaksis ditentukan pula oleh penilaian risiko perdarahan. Dengan bukti yang masih terbatas, decision-making framework terdekat yang menjadi pertimbangan saat ini berasal dari studi yang dipublikasi oleh Lee et al (2014). Mereka menyimpulkan bahwa keputusan memulai profilaksis ditentukan oleh penilaian risiko trombosis yang digabung dengan kadar serum albumin. Sebagai contoh, kalau pasien yang bersangkutan mempunyai risiko tinggi perdarahan maka berdasarkan rasio benefit-risk menjadi tidak favorable pada kadar serum albumin berapapun. Sebaliknya, jika risiko perdarahan rendah, maka rasio benefit-risk menjadi favorable meskipun hipoalbuminemia masih ringan (misalnya 30 g/l).[17]
Akan tetapi, laporan Lee et al mempunyai keterbatasan, yakni hanya dapat diterapkan untuk pasien MGN. Selain itu, skor ATRIA yang mereka sarankan untuk menilai risiko perdarahan bukanlah prediktor terbaik. Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa sistem skor HAS-BLED lebih baik dalam penilaian risiko perdarahan. Selain itu, belum ada studi validasi yang mengevaluasi skor penilaian risiko perdarahan untuk populasi pasien sindrom nefrotik, sehingga belum tentu sistem skor apapun akurat untuk diterapkan pada kasus sindrom nefrotik.[1,18]
Mempertimbangkan Bagaimana Melakukan Profilaksis Antikoagulan pada Sindrom Nefrotik
Untuk saat ini pilihan antikoagulan yang tersedia meliputi warfarin, low-molecular weight heparin (LMWH), dan direct oral anticoagulant (DOAC). Hingga saat ini, warfarin masih menjadi rekomendasi pada pedoman Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) untuk profilaksis tromboemboli vena pada pasien sindrom nefrotik. LMWH menjadi alternatif dari warfarin, meskipun ada keraguan terhadap efikasinya. Menurut teori, target heparin ialah antitrombin III, namun, antitrombin III banyak hilang akibat proteinuria masif pada sindrom nefrotik sehingga ada potensi penurunan efikasinya.[1]
Peran DOAC untuk profilaksis VTE pada sindrom nefrotik belum terdefinisi dengan baik. Sejauh ini bukti yang ada masih amat terbatas karena bersumber pada laporan kasus saja dan 1 percobaan acak skala kecil yang lebih berfokus pada terapi VTE alih-alih profilaksis.[1]
Peran penggunaan antiplatelet untuk terapi profilaksis VTE pada pasien sindrom nefrotik juga masih belum jelas. Bukti klinis yang ada masih amat terbatas. Sejauh ini data klinis yang tersedia hanya bersumber pada laporan analisis retrospektif dan laporan kasus.[1,4,19]
Mempertimbangkan Dosis Profilaksis Antikoagulan pada Sindrom Nefrotik
Belum ada konsensus terkait rekomendasi dosis optimal untuk profilaksis antikoagulan pada sindrom nefrotik. Data klinis yang tersedia masih amat terbatas.
Pada tahun 1995, sebuah studi pilot prospektif dilakukan terhadap 55 pasien dengan subtipe sindrom nefrotik yang berbeda-beda. Dalam studi ini, pasien mendapatkan enoxaparin 40 mg/hari dengan durasi bervariasi (3-12 bulan). Hasil studi ini menyimpulkan bahwa profilaksis enoxaparin efektif dan aman untuk pasien sindrom nefrotik.[1]
Penelitian lain dilakukan pada 143 pasien sindrom nefrotik, dimana pasien diberikan enoxaparin 20 mg/hari jika serum albumin < 20 g/l dan aspirin 75 mg/hari jika serum albumin 20-30 g/l. Durasi pemberian dalam penelitian ini sekurang-kurangnya 1 minggu. Hasil studi menunjukkan bahwa terapi enoxaparin maupun aspirin tampaknya efektif untuk mencegah kejadian VTE.[19]
Data terkini bersumber pada studi retrospektif terhadap 79 pasien sindrom nefrotik nondiabetes. Dalam studi ini, 44 pasien mendapat LMWH atau warfarin dengan atau tanpa bridging LMWH, dibandingkan dengan 35 pasien yang tidak mendapat terapi profilaksis antikoagulan. Studi tersebut melaporkan bahwa kejadian tromboemboli secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi antikoagulan jika dibandingkan dengan grup pasien sindrom nefrotik yang tidak mendapat terapi antikoagulan.[20]
Mempertimbangkan Durasi Terapi Profilaksis Antikoagulan pada Sindrom Nefrotik
Dengan masih terbatasnya bukti yang tersedia, durasi optimal terapi profilaksis antikoagulan pada pasien sindrom nefrotik masih belum jelas. Pedoman KDIGO 2012 menyarankan untuk melanjutkan terapi profilaksis selama pasien masih dalam kondisi nefrotik dengan hipoalbuminemia. Hingga saat ini, belum ada studi yang secara spesifik dapat menjawab isu tersebut.[1]
Rekomendasi Profilaksis Antikoagulan pada Sindrom Nefrotik Menurut Pedoman Klinis
Pedoman Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun 2012 untuk glomerulonefritis merekomendasikan pemberian antikoagulan pada pasien MGN-related nephrotic syndrome jika kadar serum albumin di bawah 25 g/l yang disertai oleh faktor risiko trombosis. Pedoman yang sama merekomendasikan untuk memberikan dosis penuh antikoagulan, baik dengan warfarin atau LMWH, untuk terapi profilaksis tromboemboli. Untuk durasi optimal terapi, KDIGO 2012 menyarankan untuk tetap melanjutkan profilaksis selama pasien masih dalam kondisi nefrotik (serum albumin < 30 g/l).[1]
Pada pemutakhiran terbaru di tahun 2020, KDIGO menyarankan untuk memulai profilaksis dosis penuh antikoagulan pada pasien sindrom nefrotik tanpa memandang subtipe histologi khusus, dengan kondisi kadar serum albumin di bawah 2,0 hingga 2,5 g/dl yang disertai oleh salah satu kondisi berikut:
- Proteinuria > 10 g/hari
- Indeks massa tubuh > 35 kg/m2
- Predisposisi genetik untuk tromboemboli
Gagal jantung New York Heart Association (NYHA) kelas III atau IV
- Pembedahan ortopedi atau abdomen baru-baru ini
- Imobilisasi yang berkepanjangan
Pemberian profilaksis antikoagulan dikontraindikasikan pada pasien dengan kelainan perdarahan, masalah kepatuhan atau preferensi pasien, lesi di sistem saraf pusat yang rentan terhadap perdarahan, mutasi genetik yang mempengaruhi metabolisme warfarin atau efikasinya, keringkihan, dan riwayat perdarahan saluran cerna.
Adapun antikoagulan yang direkomendasikan meliputi heparin 5000 unit, subkutan, diberikan 2 kali sehari. DOAC, seperti apixaban dan dabigatran, belum disarankan. Durasi pemberian profilaksis antikoagulan belum didefinisikan dengan jelas pada pedoman ini.
Khusus pasien MGN-related nephrotic syndrome, terapi antikoagulan profilaksis sudah dapat dimulai dari kadar serum albumin < 30 hingga 32 g/l yang disertai oleh risiko tinggi kejadian tromboemboli dengan memberikan aspirin. Jika kadar serum albumin sudah mencapai 20-25 g/l disertai risiko tinggi kejadian tromboemboli, maka dapat diberikan warfarin atau LMWH plus aspirin.[21]
Kesimpulan
Secara patofisiologi maupun data penelitian, sindrom nefrotik akan meningkatkan risiko kejadian tromboemboli vena dan arteri. Oleh karenanya, pemberian terapi profilaksis antikoagulan dianggap akan bermanfaat pada pasien sindrom nefrotik.
Pedoman Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) terbaru sudah menyarankan memulai terapi profilaksis antikoagulan tanpa memandang subtipe histologi khusus sindrom nefrotik pada pasien dengan serum albumin di bawah 2,0 hingga 2,5 g/dl yang disertai proteinuria > 10 g/hari, indeks massa tubuh > 35 kg/m2, predisposisi genetik untuk tromboemboli, gagal jantung NYHA III atau IV, pembedahan ortopedi atau abdomen baru-baru ini, atau imobilisasi yang berkepanjangan. Jenis antikoagulan yang disarankan adalah heparin
Meski demikian, masih dibutuhkan tambahan data uji klinis acak terkontrol (RCT) untuk melengkapi rekomendasi terapi profilaksis kejadian tromboemboli bagi pasien sindrom nefrotik di masa depan.