Efek analgesik paracetamol intravena tidak terbukti lebih superior dibandingkan dengan paracetamol oral dalam manajemen nyeri. Belum ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa paracetamol intravena dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan dengan pemberian secara oral.
Paracetamol merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan sebagai analgesik dan antipiretik di seluruh dunia. Paracetamol dapat dibeli bebas tanpa perlu resep dokter. Paracetamol adalah drug of choice pada pasien yang tidak bisa mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen, misalnya pada pasien asthma, ulkus peptikum, anak di bawah 12 tahun, atau ibu hamil dan menyusui.
Sering kali, pasien rawat inap diberikan paracetamol intravena untuk berbagai indikasi. Namun, masih belum terdapat bukti klinis yang jelas mengenai kelebihan manfaat pemberian paracetamol secara intravena, dibandingkan pemberian paracetamol secara oral.[1,2]
Farmakokinetik Paracetamol
Paracetamol dapat diberikan secara oral, per rectal, maupun intravena. Apabila diberikan secara oral, efek klinis paracetamol dapat terasa setelah kurang lebih 30 menit. Paracetamol oral biasanya diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB dengan dosis maksimal 1 g. Ketika paracetamol diberikan secara per rektal atau suppositoria, bioavailabilitas akan berkurang, sekitar 2/3 dibandingkan dengan paracetamol oral. Efek terapeutiknya terjadi 2–3 jam setelah obat dimasukkan.
Paracetamol juga dapat diberikan secara intravena dan sangat sering dijumpai penggunaannya pada pelayanan kesehatan di rumah sakit. Biasanya paracetamol intravena dipakai sebagai antinyeri pascaoperasi. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian paracetamol intravena pada jam pertama lebih efisien dalam menurunkan intensitas nyeri dibandingkan dengan pemberian secara oral.[1,3]
Secara umum, paracetamol merupakan obat yang aman digunakan, baik sebagai antipiretik ataupun analgesik. Meskipun demikian, apabila penggunaannya berlebihan, paracetamol dapat berefek toksik pada ginjal, otak, dan hati. Paracetamol cukup aman diberikan pada pasien dengan gangguan pencernaan, meskipun beberapa penelitian menghubungkan efek samping yang bisa didapat dari penggunaan paracetamol, seperti mual dan muntah, serta dispepsia atau perut begah.[1,3]
Bukti Klinis Paracetamol Oral vs Paracetamol Intravena
Berbagai pelayanan di rumah sakit sudah banyak menggunakan paracetamol secara intravena dalam kasus tertentu, seperti kontrol nyeri postoperasi dan demam tinggi. Pemberian paracetamol secara intravena menjadi rute pilihan pemberian obat pada pasien rawat inap karena dinilai dapat menurunkan kebutuhan penggunaan analgesik lain, seperti golongan opioid.[2]
Selain itu, pemberian secara intravena dapat menghindari pajanan first pass liver melalui sirkulasi portal, sehingga dapat menurunkan potensi kerusakan liver.[2]
Metaanalisis dilakukan oleh Sun, et al., untuk melihat perbandingan efikasi antara paracetamol intravena dan oral sebagai terapi ajuvan untuk regimen analgesik pada manajemen nyeri setelah arthroplasty lutut dan panggul.[4]
Metaanalisis ini mendapatkan hasil yang tidak signifikan terhadap perbedaan penurunan nyeri pada grup paracetamol IV maupun grup paracetamol oral setelah 12, 24, maupun 48 jam post operasi. Selain itu, juga tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dari durasi rawat inap pada kedua grup. Angka kejadian nausea dan muntah tidak berbeda bermakna pada kedua grup.[4]
Kesimpulannya, pemberian paracetamol secara intravena tidak memperlihatkan manfaat yang signifikan dalam mengurangi nyeri dibandingkan dengan pemberian secara oral. Namun, terdapat beberapa keterbatasan metaanalisis ini, yaitu hanya terdapat 2 Randomised Control Trials (RCT) dan terdapat bias publikasi yang dapat mempengaruhi hasil.[4]
Tinjauan sistematis pada tahun 2020 oleh Mallama, et al., mengkaji 14 uji klinis yang membandingkan penggunaan paracetamol oral dan IV perioperatif. Hasilnya, didapatkan bahwa rute pemberian paracetamol, baik oral maupun IV tidak memengaruhi nyeri postoperatif.[5]
Rute pemberian juga tidak berpengaruh terhadap luaran sekunder, antara lain kebutuhan opioid dalam 24, waktu pemberian analgesik tambahan (rescue analgesia), kepuasan pasien, waktu keluar dari unit pemulihan dan rumah sakit, mual atau muntah, sedasi, serta konsentrasi paracetamol dalam plasma.[5]
Tinjauan sistematis tersebut menyimpulkan, belum adanya bukti yang cukup untuk membenarkan pemberian paracetamol intravena, sebab lebih harganya yang lebih mahal. Secara klinis, mungkin dapat ditemukan manfaat pemberian intravena pada penelitian-penelitian di masa depan. Namun, untuk saat ini, pemberian paracetamol intravena sebaiknya hanya pada uji klinis, atau jika ada kontraindikasi pemberian per oral.[5]
Pada tahun 2021, hasil sedikit berbeda didapatkan dari tinjauan sistematis oleg Stagg, et al., yang menganalisis 5 uji klinis dan 4 studi retrospektif. Tinjauan sistematis ini mendapatkan bahwa penggunaan paracetamol IV pada dapat menurunkan skor nyeri postpoeratif sebesar 0,5, dibandingkan premedikasi dengan paracetamol oral. Terdapat 5 studi yang melaporkan skor nyeri lebih rendah pada kelompok paracetamol intravena, tetapi hanya 1 studi yang hasilnya bermakna secara statistik.[6]
Selain itu, didapatkan juga penggunaan opioid dalam 24 jam pertama postoperatif lebih tinggi pada kelompok parasetamol oral sebanyak 5,6 mg oral morphine equivalent (OME). Namun, tidak terdapat perbedaan pada waktu pemberian analgesik tambahan antar kedua kelompok.[6]
Tinjauan sistematis oleh Ulrich, et al., pada tahun 2021 membandingkan efektivitas paracetamol intravena dan oral pada populasi pediatrik di intensive care unit (ICU). Tinjauan sistematis dilakukan terhadap 29 studi.[7]
Hasilnya, didapatkan bioavailabilitas paracetamol oral memiliki variabilitas interindividual sebesar 72%. Temuan lain adalah tidak adanya perbedaan efek analgesik antara paracetamol oral dan IV postoperatif palatoschisis. Selain itu, terjadi penurunan suhu yang lebih cepat pada kelompok IV, tetapi suhu didapatkan serupa dalam 4 jam.[7]
Tinjauan sistematis ini menyimpulkan masih perlu dilakukan penelitian pada populasi pediatrik di luar ICU. Walaupun telah banyak diteliti, belum ada bukti yang cukup mengenai superioritas efek analgesik paracetamol IV dibandingkan oral. Terhadap luaran demam, keuntungan penurunan suhu yang lebih cepat belum dipastikan manfaatnya secara klinis.[7]
Kurangnya bukti klinis, dan mahalnya harga paracetamol IV perlu menjadi pertimbangan untuk terus dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai isu ini.[7]
Kesimpulan
Paracetamol merupakan obat yang paling umum digunakan sebagai terapi analgesik, maupun antipiretik. Paracetamol dapat diberikan baik secara oral, supositoria, dan intravena. Berdasarkan berbagai studi, pemberian paracetamol secara intravena tidak terbukti lebih superior dibandingkan dengan paracetamol oral dalam hal efek analgesik, durasi lama rawat inap, maupun tingkat kepuasan pasien.
Selain itu, harga yang lebih mahal daripada paracetamol oral perlu menjadi pertimbangan dokter sebelum memberikan terapi paracetamol secara intravena. Rerata perbedaan harga antara paracetamol oral dan IV mencapai 9000%, tanpa disertai manfaat klinis yang berbeda banyak. Hingga sekarang, belum ada studi yang dapat membuktikan keunggulan klinis yang signifikan atas efek antipiretik parasetamol IV dibandingkan oral.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra