Real-World Effectiveness and Safety of Sodium-Glucose Co-Transporter 2 Inhibitors in Chronic Kidney Disease
Hunsuwan S, Boongird S, Ingsathit A, Ponthongmak W, Unwanatham N, McKay GJ, Attia J, Thakkinstian A. Real-world effectiveness and safety of sodium-glucose co-transporter 2 inhibitors in chronic kidney disease. Scientific Reports. 2025 Jan 11;15(1):1667. PMID: 39799235.
Abstrak
Latar Belakang: Berbagai uji klinis telah menunjukkan bahwa inhibitor Sodium-Glucose Co-Transporter-2 (SGLT2i) mampu memperlambat perburukan penyakit ginjal kronis (CKD). Namun, data real world pada populasi yang berbeda-beda masih terbatas.
Metode dan Luaran: Studi retrospektif ini hendak mengevaluasi efikasi dan keamanan SGLT2i dibandingkan dengan pemblokir renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) pada pasien CKD. Data dari rumah sakit Ramathibodi (2010-2022) dianalisis, yang meliputi 6946 orang dewasa. Pasien didiagnosis CKD tahap 2–4, dengan atau tanpa diabetes, dan mendapatkan SGLT2i (n=1405) atau pemblokir RAAS (n=5541) minimal selama 3 bulan.
Pasien-pasien dicocokkan 1:4 menurut tahapan CKD dengan tanggal permulaan terapi yang didapatkan. Weighted Cox proportional hazard model dengan inverse probability weighting assessment digunakan untuk mengukur dampak terhadap composite major adverse kidney events (MAKE) yang mencakup penurunan eGFR ≥40%, perburukan ke CKD tahap 5, inisiasi hemodialisis, dan kematian kardiovaskuler atau ginjal.
Hasil: SGLT2i berkaitan dengan risiko rendah dari composite MAKE (HR 0.59; 95%CI 0,36-0,98; p=0,041), dan frekuensi yang lebih rendah dalam hal perburukan ke CKD tahap 5 ( HR 0,52; 95%CI 0,34-0,80; p<0.003). Rate kejadian merugikan seimbang di antara kedua grup. Namun, insiden infeksi saluran kemih bagian bawah lebih minim ditemukan pada grup SGLT2i.
Kesimpulan: Temuan studi ini mengindikasikan bahwa terapi SGLT2i dapat mengurangi adverse kidney outcome pada pasien-pasien CKD terlepas dari status diabetes, dengan profil keamanan yang baik.
Ulasan Alomedika
Berbagai studi acak terkontrol telah menunjukkan bahwa SGLT2i mampu mengurangi perburukan fungsi ginjal dan menurunkan keperluan terapi pengganti ginjal. Selain itu, studi juga menunjukkan bahwa SGLT2i bisa mengurangi risiko kematian kardiovaskuler ataupun ginjal pada pasien-pasien CKD, terlepas dari status diabetes pasien.
Namun, data real world dari penggunaan SGLT2i pada pasien CKD di seluruh dunia masih terbatas, khususnya di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Studi ini bertujuan untuk menjawab celah tersebut.
Ulasan Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian kohort CKD retrospektif yang menggunakan data real world pasien CKD yang dirawat inap di rumah sakit Ramathibodi Thailand, sejak 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2022. Pasien mendapatkan SGLT2i atau pemblokir RAAS sedikitnya 3 bulan.
Diagnosis CKD pada database mengacu pada kode International Classification of Diseases (ICD) 9 dan 10. Kode tersebut menggunakan definisi CKD sesuai dengan kriteria KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes) 2012.
Pasien CKD dengan diabetes mellitus tipe 1 atau pengukuran eGFR <1 tahun setelah tanggal indeks disingkirkan dari data. Tanggal indeks adalah tanggal awal pemberian resep SGLT2i atau pemblokir RAAS. Pasien yang memenuhi kriteria diobservasi hingga kejadian pertama dari komponen luaran primer, loss follow-up, atau tetap event-free pada akhir masa observasi.
Pengukuran sampel mengacu pada data percobaan DAPA-CKD. Untuk mendeteksi perbedaan sebesar 5% dengan power 80% dan level signifikansi (alfa) 0,05, dibutuhkan minimum 2487 pasien yang terdiri dari 415 pasien SGLT2i dan 2072 pasien pemblokir RAAS (rasio 1:5), atau 2150 pasien yang terdiri dari 430 pasien SGLT2i dan 1720 pasien pemblokir RAAS (rasio 1:4). Untuk menyeimbangkan masing-masing kohort, dilakukan pencocokan menurut tahapan CKD dan tanggal permulaan terapi.
Weighted Cox proportional hazard model dengan inverse probability weighting assessment digunakan untuk mengukur dampak luaran utama yakni composite major adverse kidney events (MAKE), yang mencakup penurunan eGFR ≥ 40%, perburukan ke CKD tahap 5, inisiasi hemodialisis, dan kematian kardiovaskuler atau ginjal.
Ulasan Hasil Penelitian
Karakteristik basal antar grup yang dibandingkan telah diseimbangkan melalui proses propensity matching. Analisis studi menemukan bahwa pasien yang mendapat terapi SGLT2i berkaitan signifikan dengan penurunan risiko 41% terhadap MAKE selama periode follow-up jika dibandingkan dengan pasien grup pemblokir RAAS.
Hubungan tersebut tetap konsisten setelah dilakukan penyesuaian terhadap status diabetes dan faktor risiko CKD lainnya. Selain itu, terapi SGLT2i berkaitan dengan penurunan risiko progresi ke CKD tahap akhir sebesar 48%.
Dalam hal profil keamanan, studi ini menemukan insiden infeksi saluran kemih yang lebih rendah pada grup SGLT2i jika dibandingkan dengan grup pemblokir RAAS. Selain itu, efek samping merugikan antar kedua grup cukup seimbang. Hasil studi ini sejalan dengan temuan studi klinis real world lain, sehingga semakin menguatkan rasionalisasi penerapan SGLT2i pada semua spektrum CKD tanpa memandang status diabetes.
Kelebihan Penelitian
Meskipun studi ini merupakan studi retrospektif, studi ini melaporkan dampak nyata pada penggunaan real world terutama di negara berkembang. Ketidakseimbangan karakteristik data antar pasien saat awal telah dicocokkan dengan propensity matching.
Selain itu, dilakukan pula sub-analisis untuk menguji hasil analisis luaran awal setelah penyesuaian terhadap status diabetes dan faktor risiko CKD lainnya, termasuk juga penilaian aspek keamanan terapi SGLT2i di kondisi nyata, di mana data yang tersedia masih terbatas.
Limitasi Penelitian
Karena studi ini merupakan studi data real world, studi ini belum bisa menetapkan kaitan kausa langsung antara penggunaan SGLT2i dan luaran yang dinilai. Meskipun telah dilakukan proses propensity matching terhadap kovariat yang ditemukan, potensi bias seleksi tetap belum bisa disingkirkan sepenuhnya.
Seleksi terapi di kondisi nyata sering kali dipengaruhi oleh penilaian klinis dari dokter, preferensi pasien, termasuk cakupan tanggungan asuransi yang digunakan. Penilaian kepatuhan pasien terhadap terapi pada studi retrospektif pun sulit untuk dinilai.
Waktu pengukuran eGFR yang tidak serupa antar pasien juga dapat menjadi variabel pengganggu yang sulit untuk disingkirkan. Adapun penggunaan kode ICD saja tanpa disertai penilaian penanda kerusakan ginjal di urine berpotensi mengganggu akurasi klasifikasi tahap CKD. Selain itu, dijumpai pula 5% pasien di grup SGLT2i ternyata menghentikan pemblokir RAAS sebelum menggunakan SGLT2i. Hal tersebut dapat memengaruhi akurasi independent effect pada real world setting.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Studi ini turut melengkapi data efikasi dan keamanan penggunaan SGLT2i di kondisi real world pada negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara. Dengan semakin lengkapnya data uji acak terkontrol maupun data real world, penambahan SGLT2i pada terapi standar pasien CKD tahap 2-4 (dengan ataupun tanpa diabetes) dapat menjadi pilihan rasional pada manajemen pasien CKD saat ini, termasuk di Indonesia.
Berbagai macam obat dari golongan SGLT2i telah tersedia di Indonesia, meski belum termasuk dalam cakupan asuransi kesehatan nasional. Penambahan obat SGLT2i bisa berkontribusi positif pada manajemen CKD.