Fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan pembidaian, gips, atau prosedur ortopedik lain untuk fraktur perlu dikuasai oleh dokter. Hal ini penting karena terdapat risiko mengalami komplikasi selama perjalanan udara, misalnya deep vein thrombosis (DVT) dan sindroma kompartemen, hingga hambatan dalam evakuasi pada kondisi darurat.
Dalam menentukan kelayakan terbang pada pasien, terdapat lima poin yang dapat menjadi pertimbangan, yaitu:
- Potensi penularan penyakit oleh pasien
- Potensi pasien membahayakan penumpang lain akibat kondisi yang dialaminya
- Potensi risiko penundaan atau pembatalan penerbangan akibat kondisi fisik pasien
- Kondisi yang mengakibatkan pasien memerlukan bantuan orang lain untuk aktivitas dalam kabin
- Potensi perburukan kondisi medis sebagai akibat langsung dari perjalanan udara[1]
Pada pasien dengan bidai atau gips, poin keempat dan kelima memiliki potensi terbesar mengakibatkan gangguan selama penerbangan, dan oleh sebab itu memerlukan perhatian khusus. Imobilisasi terkait pembidaian dan kondisi yang mendasarinya (contohnya pada fraktur ekstremitas bawah) dapat mempersulit aktivitas pasien di dalam kabin, sementara penurunan tekanan udara dalam kabin dapat mengakibatkan komplikasi pada pasien dengan gips dan pasien pascaoperasi.[1,2]
Keterbatasan Mobilitas pada Pasien dengan Pembidaian dan Gips
Keterbatasan mobilitas merupakan masalah penting dalam perjalanan udara pasien dengan bidai dan gips. Kondisi imobilisasi meningkatkan risiko terjadinya deep vein thrombosis (DVT) pada penerbangan lebih dari 4 jam dan mempersulit evakuasi pada keadaan darurat. Pada pasien dengan pembidaian dan gips yang mengakibatkan keterbatasan mobilitas (bidai dan gips yang melibatkan panggul, lutut, pergelangan kaki, dan tulang belakang), risiko berikut harus dipertimbangkan sebelum menentukan kelayakan terbang pasien.[1,2]
DVT Terkait Imobilisasi
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penumpang pesawat udara, dengan perkiraan prevalensi 1 pada setiap 4600 penerbangan yang berlangsung lebih dari 4 jam. Risiko DVT diperkirakan meningkat pada pasien dengan pembidaian atau gips, namun data yang ada terbatas dan saling bertentangan. International Air Transport Association (IATA) merekomendasikan profilaksis DVT pada pasien dengan mobilisasi terbatas pascaoperasi mayor pada panggul, lutut, atau pergelangan kaki.[1,3,4]
Profilaksis DVT yang terbaik adalah low-weight molecular heparin (LMWH) yang diberikan dalam 24 jam pascaoperasi. Jika pasien memiliki kontraindikasi terhadap LMWH, aspirin atau warfarin dapat diberikan.[5,6] Pada pasien yang tidak mendapatkan profilaksis DVT, pasien disarankan untuk menunggu 6 minggu sebelum melakukan perjalanan udara > 6 jam.[1,4]
Hambatan Evakuasi pada Keadaan Darurat Terkait Imobilisasi
Keterbatasan ruang dalam kabin pesawat dapat menjadi penghambat evakuasi pada keadaan darurat. Pada keadaan darurat, seluruh penumpang diharapkan dapat keluar dari pesawat dalam waktu sesingkat mungkin. Imobilisasi terkait pembidaian dapat mempersulit evakuasi, sehingga perusahaan penerbangan dapat meminta pasien menyediakan pendamping yang dapat membantu pasien dalam situasi yang memerlukan evakuasi.
Namun, pasien juga memiliki hak untuk mendapatkan perhatian khusus sebelum, selama, dan setelah penerbangan. Regulasi ini berlaku bagi pasien dengan bidai atau gips dengan keterbatasan mobilitas, terutama pada pasien dengan gips yang melibatkan imobilisasi lutut. Selain itu, pasien dengan bidai pada tulang belakang dapat mengalami kesulitan memasang alat pelampung, sehingga tidak disarankan melakukan perjalanan udara.[1,7,8]
Pada dasarnya, penumpang pesawat udara dengan hambatan mobilisasi tidak diperbolehkan duduk di kursi di sebelah pintu keluar darurat, karena berpotensi memperlambat evakuasi.[12]
Pengaruh Penurunan Tekanan Udara dan Pembengkakan Jaringan pada Pasien dengan Gips
Setelah pesawat mengudara, tekanan di dalam kabin pesawat mengalami penurunan yang signifikan sehingga mengakibatkan pemuaian udara sesuai dengan hukum Boyle.[9] Meskipun pada kabin pesawat dilakukan penyesuaian tekanan agar tekanan udara tidak terlampau rendah, tekanan tersebut tidak sama dengan tekanan udara pada permukaan laut.
Kondisi ini dapat mengakibatkan komplikasi pada pasien dengan gips (cast), namun tidak pada pasien dengan bidai (splint). Perbedaan cast dan splint adalah cast mengelilingi seluruh ekstremitas sedangkan splint tidak. Back slab walau menggunakan gips dikategorikan sebagai splint mengikuti definisi ini.[1,2,10]
Pada pasien dengan imobilisasi menggunakan gips, gas yang terperangkap di dalam gips dapat mengalami ekspansi dan mengakibatkan kompresi pada jaringan. Selain itu, pembengkakan jaringan dapat terjadi setelah pemasangan gips, terlepas dari perbedaan tekanan udara dalam kabin. Kedua fenomena ini dapat meningkatkan risiko deep vein thrombosis (DVT) dan sindroma kompartemen pada pasien.[2,10,11]
Terkait kelayakan terbang pasien, rekomendasi dari International Air Transport Association (IATA) adalah untuk menunda penerbangan hingga >48 jam setelah pemasangan gips untuk penerbangan yang berlangsung lebih dari 2 jam. Untuk penerbangan kurang dari 2 jam, pasien disarankan untuk menunda penerbangan hingga >24 jam setelah pemasangan gips. Bagi pasien dengan situasi mendesak yang harus terbang dalam kurun waktu tersebut, gips dapat dipotong, difiksasi dengan balutan, lalu gips baru dapat dipasang kembali di tempat tujuan. Pemotongan gips dilakukan menjadi 2 bagian terpisah (teknik bivalve)[1,11]
Tabel 1. Fitness to Fly pada Pasien dengan Pembidaian, Gips, dan Prosedur Ortopedi Lain
Diagnosis | Kelayakan Terbang | Keterangan |
Pembedahan mayor pada panggul, lutut, atau pergelangan kaki | Pasien dengan mobilitas terbatas yang tidak dapat berjalan bahkan dengan bantuan alat, atau tidak dapat duduk tegak selama lepas landas dan pendaratan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter dengan pengalaman di bidang kedokteran penerbangan. | Pertimbangkan pemberian profilaksis untuk DVT. Jika profilaksis tidak diberikan, pasien disarankan menunggu 6 minggu sebelum menjalani perjalanan udara >6 jam, kecuali dalam keadaan mendesak. |
Pembedahan sendi dengan prosedur artroskopi | Pasien layak terbang jika pasien dapat berjalan dengan bantuan alat dan dapat duduk tegak selama lepas landas dan pendaratan. | |
Imobilisasi dengan gips | Pasien diperbolehkan terbang jika >48 jam telah berlalu sejak pemasangan gips. | HB pasien pascaoperasi pelvis/femur harus di atas 8.5 g/dL. |
Pembedahan pada tulang belakang | Pasien diperbolehkan terbang jika >7 hari telah berlalu setelah operasi berlangsung. | Pasien harus dapat duduk tegak selama lepas landas dan pendaratan, dan dapat mentoleransi guncangan parah akibat turbulensi dan getaran selama penerbangan. Bidai tulang belakang dapat menghambat pemakaian alat pelampung. |
Sumber: The International Air Transport Association (IATA). Medical Manual, 12th edition. 2020.
Kesimpulan
Perjalanan udara dapat mengakibatkan komplikasi pada pasien dengan pembidaian atau gips. Masalah yang sering timbul pada pasien-pasien tersebut diakibatkan oleh imobilisasi, penurunan tekanan udara dalam kabin, dan pembengkakan jaringan setelah pemasangan gips. Sebelum menentukan apakah pasien layak terbang, dokter harus memeriksa apakah terdapat keterbatasan mobilitas pada pasien dan memastikan waktu pemasangan bidai atau gips.[1,2,10]
Pasien dengan pembidaian atau pemasangan gips yang melibatkan panggul, lutut, pergelangan kaki, dan tulang belakang memiliki keterbatasan mobilitas yang dapat mengakibatkan dua masalah pada penerbangan.
Pertama, pasien memiliki risiko mengalami deep vein thrombosis (DVT) akibat imobilisasi jangka panjang. Pasien yang menjalani pembedahan mayor pada panggul, lutut, atau pergelangan kaki membutuhkan profilaksis DVT sebelum melakukan perjalanan udara.
Kedua, pasien memiliki risiko mengalami hambatan dalam evakuasi pada kondisi darurat. Contohnya, pasien dengan bidai tulang belakang dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan alat pelampung.[1,2]
Pasien dengan gips, baik dengan atau tanpa keterbatasan mobilitas memiliki risiko mengalami DVT hingga sindroma kompartemen akibat ekspansi gas dalam gips dan pembengkakan jaringan. Pasien disarankan untuk menunggu hingga >48 jam setelah pemasangan gips sebelum melakukan perjalanan udara yang memakan waktu lebih dari 2 jam.
Untuk penerbangan kurang dari 2 jam, pasien disarankan untuk menunggu hingga >24 jam setelah pemasangan gips atau jika kondisi mendesak, potong gips menjadi 2 bagian (teknik bivalve) sebelum terbang.[1,10]
Pasien dengan bidai tanpa keterbatasan mobilitas pada dasarnya layak terbang, kecuali terdapat aturan khusus dari perusahaan penerbangan terkait kondisi tersebut.[1]