Gangguan mineral dan tulang merupakan salah satu komplikasi penyakit ginjal kronik akibat kelainan metabolisme kalsium, fosfat, hormon paratiroid, atau vitamin D. Gangguan ini juga bisa terjadi akibat kelainan pada pergantian, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier, atau kekuatan tulang, serta kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak lain.[1]
Penyakit ginjal kronik mempengaruhi 5-10% populasi dunia, di mana mayoritas pasien ini mengalami peningkatan risiko gangguan metabolisme pada tulang dan mineral. Hal ini menyebabkan terjadinya osteodistrofi renal (OR) dengan gejala seperti nyeri tulang, ruptur otot-tendon, dan peningkatan risiko fraktur. Selain itu, bukti juga menunjukkan bahwa pasien dengan osteodistrofi renal cenderung mengalami kalsifikasi kardiovaskular yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.[1-3]
Mekanisme Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik
Pada penyakit ginjal kronik (PGK), fibroblast growth factor 23 (FGF23) yang dihasilkan oleh osteosit, memiliki peran sentral dalam metabolisme vitamin D dan fosfat. FGF23 meningkatkan ekskresi fosfat pada tubulus renal proksimal dan menghambat penyerapan fosfat intestinal, sehingga menyebabkan hiperfosfatemia. Selain itu, FGF23 juga menurunkan sintesis 1,25-dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D3) dengan menghambat aktivitas enzim 1α-hidroksilase, yang dapat memperkuat hiperfosfatemia dan memicu perkembangan hiperparatiroidisme sekunder.
Pada tahap awal PGK, peningkatan kadar FGF23 dapat menghasilkan penurunan kadar 1,25(OH)2D3, menyebabkan penurunan absorbsi kalsium pada usus. Trias rendahnya kadar kalsium, kalsitriol, dan hiperfosfatemia memicu sekresi parathormon (PTH) yang berlebihan. Kelebihan PTH ini menghasilkan mobilisasi kalsium dari tulang, menyebabkan osteitis fibrosa. Secara progresif, fungsi ginjal yang semakin buruk juga menyebabkan hiporesponsivitas dari reseptor vitamin D (VDR) pada kelenjar paratiroid, meningkatkan produksi PTH lebih lanjut dan menyebabkan hiperplasia kelenjar paratiroid.[1,4]
Peran Aksis FGF23-Klotho terhadap Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik
Klotho, suatu protein transmembran yang penting dalam aksis FGF23-Klotho, juga krusial dalam menyebabkan gangguan mineral dan tulang pada PGK. Gangguan aksis FGF23-Klotho ditandai dengan rendahnya ekspresi klotho dan reseptor 1 pada FGF23 di kelenjar paratiroid. Ini menghasilkan hilangnya kemampuan FGF23 untuk mengatur kadar fosfat dan mengatur sekresi PTH.
Klotho juga berperan sebagai protein kalsiofosforegulatori, meningkatkan fosfaturia dan mencegah kehilangan kalsium urin. Defisiensi klotho pada PGK dapat menyebabkan gangguan metabolisme mineral, hiperparatiroidisme sekunder, kalsifikasi vaskular, dan hipertrofi jantung. Sebaliknya, pemberian klotho secara eksogen dapat memperbaiki atau mencegah perkembangan gangguan mineral dan tulang pada PGK.[5]
Mendeteksi Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik
Studi terdahulu mengusulkan klasifikasi osteodistrofi renal (OR) berdasarkan adanya temuan histomorfometri tulang, yaitu OR uremik high turnover, low turnover, dan tipe campuran. Penekanan klasifikasi ini adalah pada terjadinya pergantian tulang (bone turnover). Namun, karena biopsi tulang tidak digunakan secara rutin untuk mengevaluasi pasien PGK, maka diperlukan penanda yang lebih praktis dan dapat diandalkan untuk menilai dan memantau pasien.[1,3]
Biomarker Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik dengan Menilai Bone Turnover
Pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) merekomendasikan pemeriksaan kadar PTH, bikarbonat, kalsium dan fosfat serum, bersamaan dengan alkali fosfatase total atau spesifik tulang (b-ALP) sebagai penanda terjadinya gangguan mineral dan tulang pada PGK. Hal ini didasari fakta bahwa tinggi atau rendahnya kadar penanda tersebut berkorelasi dengan pergantian tulang (bone turnover).
Meski begitu, walaupun tidak praktis, biopsi tulang serial masih menjadi baku emas dalam penegakkan diagnosis dan evaluasi osteodistrofi renal. KDIGO juga menambahkan perlunya pemeriksaan nilai prokolagen tipe 1 pada propeptida amino-terminal (PINP) dalam membantu menegakkan diagnostik GMT-PGK.[1,3,6,7]
Studi terdahulu menyimpulkan bahwa peningkatan kadar PTH berbanding lurus dengan insiden gagal jantung dan infark miokard pada pasien PGK. Selain itu, penurunan kadar PTH dengan terapi parikalsitol secara signifikan dikaitkan dengan penurunan rawat inap akibat penyakit kardiovaskular.
Peningkatan nilai fosfat, kalsium, dan PTH serum berbanding lurus dengan mortalitas terkait penyakit kardiovaskular pada pasien PGK. Nilai FGF23 yang meningkat, berhubungan erat dengan fungsi renal yang menurun. Pada penyakit ginjal tahap akhir, nilai FGF23 dapat meningkat hingga 1000 kali lipat dari nilai normal, dimana hal ini disebabkan karena retensi fosfat atau penurunan bersihan ginjal.[3,6-10]
Penatalaksanaan Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik
Tujuan dari sebagian besar penatalaksanaan gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik adalah untuk mencegah dampak buruk yang terkait dengan hiperparatiroidisme sekunder. Oleh karena itu, pengobatan bergantung pada kadar biomarker dari metabolisme mineral tulang yang terganggu, seperti kalsium, fosfat, PTH, dan 25-hidroksivitamin D.
KDIGO merekomendasikan untuk memberi tata laksana didasarkan pada kadar dari biomarker tersebut. Rekomendasi ini juga menyebutkan bahwa pencegahan terjadinya hiperfosfatemia pada pasien dengan PGK stadium 3 hingga 5 lebih penting dibandingkan penanganan dalam menormalisasi kadar fosfat. Pencegahan hiperfosfatemia yang dapat dilakukan adalah diet restriksi fosfat, penggunaan agen penurun fosfat, dan dialisis pada pasien dengan PGK stadium 5.[11]
Restriksi Fosfat
Restriksi fosfat melalui diet merupakan salah satu tata laksana yang penting karena 60-70% fosfat yang berasal dari makanan akan diabsorbsi di dalam tubuh. Asupan fosfat sebaiknya dibatasi kurang dari 800 mg dengan mengatur konsumsi makanan tinggi fosfat dan minuman berkarbonasi.[3,11-13]
Agen Pengikat Fosfat
Agen pengikat fosfat biasanya diberikan bersama makanan untuk membatasi penyerapan fosfat dari usus dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diserap dengan fosfat. Tiga kelas utama pengikat fosfat adalah pengikat fosfat berbahan dasar aluminium, pengikat fosfat berbahan dasar kalsium, dan pengikat fosfat berbahan dasar non-kalsium.
Penggunaan jangka panjang dari pengikat fosfat berbahan dasar aluminium biasanya dibatasi karena adanya efek samping berupa osteomalasia dan ensefalopati. Pilihan antara penggunaan pengikat fosfat yang mengandung kalsium atau non-kalsium harus didasarkan oleh nilai kalsium dan PTH serum pada pasien.[3,11,14]
Dialisis
Eliminasi fosfat melalui dialisis tergantung pada jenis dialisis, lama sesi, dan dialisatnya. Untuk sesi dialisis yang berlangsung selama 4 jam dengan frekuensi 3 kali seminggu, diperkirakan sekitar 2,3–2,6 gram fosfat akan tereliminasi setiap minggu. Jika durasi sesi ditingkatkan menjadi 8 jam dan 3 kali seminggu, maka eliminasi fosfat meningkat menjadi 3,0–3,6 gram per minggu. Untuk pasien yang menjalani dialisis peritoneal 4 sesi dengan pergantian cairan sebanyak 2 liter, diperkirakan sekitar 2,0–2,2 gram fosfat akan dieliminasi setiap minggu.[15,16]
Kalsitriol dan Vitamin D
Penggunaan kalsitriol dan vitamin D analog secara rutin untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder tidak dianjurkan pada pasien PGK non-dialisis. Hal ini karena tidak didapatkan adanya manfaat pada luaran klinis dari pemberian suplementasi tersebut pada pasien PGK stadium 3 hingga 5 non-dialisis.[17,18]
KDIGO merekomendasikan bahwa penggunaan kalsitriol dan vitamin D analog sebaiknya diberikan hanya pada pasien PGK stadium empat dan lima yang mengalami hiperparatiroidisme progresif dan berat. Pada pasien yang menjalani dialisis, pemberian kalsitriol atau vitamin D analog diperbolehkan guna menurunkan nilai PTH serum. Agen vitamin D yang digunakan untuk menangani hiperparatiroidisme sekunder adalah kalsitriol, parikalsitol, dan dokserkalsiferol.[12]
Analog Kalsimimetik
Dewasa ini, cinacalcet sebagai alternatif dalam pengobatan hiperparatiroidisme sekunder, digunakan untuk mencegah hiperkalsemia dan hiperfosfatemia yang disebabkan oleh penggunaan pengikat fosfat berbasis kalsium dosis besar yang dikombinasikan dengan kalsitriol atau sterol vitamin D. Cinacalcet adalah agen kalsimimetik yang dapat mengontrol pelepasan hormon paratiroid dengan meningkatkan sensitivitas reseptor kalsium terhadap ion kalsium ekstraseluler, sehingga menurunkan kadar PTH segera setelah pemberian.
Dosis awal cinacalcet adalah sebesar 30 mg dan dititrasi naik bertahap sesuai respon dari pasien. Hipokalsemia adalah salah satu efek samping yang terkait dengan pemberian cinacalcet, sehingga pengukuran nilai kalsium dan fosfat serum secara teratur perlu dilakukan.[19]
Perlu dicatat bahwa tidak ada rekomendasi khusus yang dibuat mengenai pilihan agen dalam pengelolaan hiperparatiroidisme sekunder. Dengan demikian, analog kalsimimetik, kalsitriol, atau vitamin D dapat dianggap sebagai pilihan lini pertama untuk menurunkan nilai PTH serum pada pasien dialisis. Klinisi yang memilih agen mana yang akan digunakan juga harus melihat nilai kalsium, fosfat, dan PTH serum dari masing-masing pasien.[11]
Kesimpulan
Gangguan mineral dan tulang kerap terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Dengan menurunnya fungsi ginjal, maka homeostasis mineral juga akan mengalami regulasi yang abnormal, termasuk perubahan pada beberapa parameter seperti kalsium, fosfat, dan parathormon (PTH).
Pemilihan dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan mineral dan tulang perlu didasarkan pada nilai kalsium, fosfat, dan PTH dari masing-masing pasien. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan adalah restriksi fosfat, penggunaan agen pengikat fosfat, dialisis, kalsitriol dan vitamin D, serta analog kalsimimetik.