American Academy of Neurology (AAN) mengeluarkan sebuah konsensus mengenai kriteria neurologi dari kematian otak. Secara umum, kematian otak merujuk pada kondisi di mana terjadi cedera otak parah yang berkelanjutan, tanpa adanya bukti tanda-tanda fungsi otak, dan kondisi ini bersifat permanen. Penentuan kematian otak dilakukan berdasarkan penilaian klinis. Uji tambahan atau tes ancillary hanya diperlukan jika penilaian klinis tidak dapat menentukan secara pasti.[1,2]
Sebelumnya, kriteria mati otak atau brain death yang digunakan dalam praktik klinis adalah pedoman mati otak dari AAN tahun 2010 untuk dewasa dan pedoman dari American Academy of Pediatrics (AAP)/ Child Neurology Society tahun 2011 untuk bayi dan anak. Pada tahun 2023, AAN bekerjasama dengan Child Neurology Society membuat rekomendasi bersama untuk menentukan kriteria mati otak bagi dewasa dan anak.[3,4]
Prinsip Umum dalam Evaluasi Mati Otak
Secara prinsip, menurut AAN mati otak dinyatakan ketika terjadi penghentian permanen seluruh fungsi otak, termasuk batang otak, yang mengakibatkan pasien menjadi (1) koma; (2) arefleksia batang otak; dan (3) apnea meskipun diberikan stimulus yang memadai. Kriteria AAN ini kurang akurat jika dilakukan pada bayi usia kurang dari 37 minggu dikarenakan refleks batang otaknya yang belum berkembang sempurna.[3]
Tujuan Penentuan Mati Otak dengan Kriteria AAN 2023
Perlu diingat bahwa tujuan dari evaluasi mati otak hanyalah untuk menentukan apakah pasien memenuhi kriteria mati otak. Pasien yang memenuhi kriteria mati otak dapat menjadi kandidat donor organ, namun dokter yang terlibat dalam penentuan mati otak harus menghindari keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan terkait donor organ.[3]
Pastikan Bahwa Fungsi Otak Benar Sudah Hilang
Menurut AAN, dalam melakukan evaluasi mati otak, pasien harus diobservasi dalam jangka waktu yang cukup untuk menentukan keparahan apakah cedera otaknya permanen serta menyingkirkan faktor yang dapat menjadi perancu. Pasien yang mendapat ventilasi mekanik dan penunjang hemodinamik perlu menjalani uji apnea, namun uji ini dapat menimbulkan hipoksemia dan gangguan hemodinamik lebih lanjut pada pasien sehingga harus dilakukan pada fasilitas yang memiliki staf ahli yang dapat menangani potensi tersebut.
Adanya pernapasan spontan, tidak adanya tanda koma, refleks batang otak yang masih ada, atau adanya aktivitas motorik (selain refleks yang dimediasi spinal) mengindikasikan fungsi dari otak dan tidak konsisten dengan definisi mati otak.[3]
Klinisi yang Dapat Menentukan Mati Otak
Kompetensi dokter dalam melakukan evaluasi mati otak penting agar hasil yang didapatkan akurat untuk menghindari kesalahan dalam menentukan mati otak dari pasien. Pedoman AAN tahun 2010 sebelumnya belum menyebutkan kualifikasi klinisi yang dapat melakukan evaluasi mati otak.[3,4]
Menurut pedoman tahun 2023, penilaian mati otak perlu dilakukan oleh 2 dokter yang merupakan anggota staf medis rumah sakit, memiliki kredensial yang sesuai, dan memiliki pelatihan dan kompetensi yang memadai dalam evaluasi mati otak pada anak atau dewasa. Jenis dokter yang diakui untuk melakukan evaluasi ini termasuk intensivis, neurologis, ahli bedah saraf, ahli traumatologi pediatrik, ahli anestesiologi pediatrik dengan pelatihan kritis, atau spesialis dewasa yang terlatih dalam neurologi atau perawatan kritis.
Dokter-dokter ini juga diharapkan memiliki pendidikan khusus dalam pelatihan untuk melakukan evaluasi mati otak. Mereka juga perlu menunjukkan kompetensi melalui berbagai cara, seperti telah menyelesaikan evaluasi mati otak di bawah pengawasan sebelumnya.[3]
Persyaratan Penentuan Mati Otak
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam menentukan mati otak adalah:
- Mengidentifikasi penyebab cedera otak
- Melakukan observasi kondisi yang permanen
- Pasien bebas dari kondisi hipotermia yang menyebabkan tidak akuratnya evaluasi mati otak
- Pasien bebas dari hipotensi yang menyebabkan tidak akuratnya evaluasi mati otak
- Pasien bebas dari pengaruh obat dan gangguan metabolik yang menyebabkan tidak akuratnya evaluasi mati otak.[3]
Identifikasi Penyebab
Panduan AAN 2023 menekankan bahwa klinisi harus memastikan bahwa pasien mengalami cedera otak yang fatal dan permanen akibat mekanisme yang diketahui dapat menyebabkan mati otak sebelum memulai evaluasi Jika pasien mengalami koma, apnea, dan kehilangan refleks batang otak tetapi tidak terdapat mekanisme cedera otak yang diketahui dapat menyebabkan mati otak, maka klinisi seharusnya tidak melakukan evaluasi. Selain itu, klinisi juga diharapkan memastikan bahwa hasil neuroimaging konsisten dengan mekanisme dan tingkat keparahan cedera otak.
Cedera otak yang dapat menyebabkan mati otak melibatkan berbagai faktor, seperti cedera otak traumatik, perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, stroke iskemik, tumor otak, cedera otak iskemik-hipoksik, ataupun infeksi intrakranial. Namun, perlu diingat bahwa terdapat kondisi yang memiliki gejala mirip mati otak tetapi bersifat reversible, seperti karsinomatosis leptomeningeal, gigitan ular, dan botulisme.[3]
Observasi Kondisi Permanen
Panduan AAN 2010 mencatat kurangnya bukti untuk menentukan periode observasi minimal yang dapat diterima untuk memastikan kehilangan fungsi otak yang permanen. Sementara itu, panduan pediatrik pada tahun 2011 merekomendasikan penundaan evaluasi mati otak selama 24–48 jam atau lebih lama jika terdapat kekhawatiran atau inkonsistensi dalam pemeriksaan setelah resusitasi jantung paru atau cedera otak akut yang parah.
Pedoman AAN 2023 menyoroti perlunya periode observasi setelah cedera otak akut sebelum memulai evaluasi mati otak. Untuk bayi dan anak di bawah 24 bulan, klinisi disarankan untuk menunggu setidaknya 48 jam setelah cedera otak sebelum memulai evaluasi, sedangkan untuk pasien di atas 2 tahun dengan hypoxic-ischemic brain injury (HIBI) periode observasi minimal adalah 24 jam. Hal ini membantu memastikan bahwa cedera otak bersifat permanen dan tidak ada potensi pemulihan fungsi otak.
Panduan ini juga menekankan mengenai perlunya menyesuaikan periode observasi berdasarkan patofisiologi cedera otak yang menyebabkan kondisi neurologis pasien dan temuan pada neuroimaging. Selain itu, panduan AAN 2023 menyoroti perlunya menunggu sejumlah waktu yang memadai setelah intervensi medis atau bedah untuk mengobati tekanan intrakranial yang tinggi sebelum memulai evaluasi mati otak.[3]
Menghindari Penentuan Mati Otak yang Tidak Akurat akibat Kondisi Hipotermia
Kondisi hipotermia dapat mengganggu refleks batang otak. Pedoman mati otak dari AAN untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan suhu minimum untuk evaluasi mati otak adalah 36oC, sedangkan pedoman mati otak untuk pediatrik di tahun 2011 merekomendasikan suhu minimum adalah 35oC.
AAN 2023 menekankan bahwa klinisi harus memastikan suhu tubuh inti pasien dipertahankan setidaknya ≥36°C sebelum melakukan evaluasi mati otak. Bagi pasien dengan suhu tubuh inti ≤35,5°C, klinisi disarankan untuk menunggu setidaknya 24 jam setelah suhu dinaikkan hingga ≥36°C sebelum mengevaluasi mati otak.[3]
Menghindari Penentuan Mati Otak yang Tidak Akurat akibat Kondisi Hipotensi
Kondisi hipotensi dapat menekan fungsi otak yang menyebabkan koma yang tidak permanen, arefleksia batang otak, dan apnea sehingga dapat menyebabkan evaluasi mati otak menjadi tidak akurat. Pemberian cairan intravena bersama vasopresor atau obat inotropik untuk menaikkan tekanan darah sebelum evaluasi mati otak masih boleh dilakukan.
Pada dewasa, tekanan darah sistolik harus lebih dari sama dengan 100 mmHg dan mean arterial pressure (MAP) ≥75 mmHg. Sedangkan pada anak, tekanan darah sistolik dan MAP harus ≥ persentil ke-5 untuk usianya.[3]
Menghindari Penentuan Mati Otak yang Tidak Akurat akibat Obat dan Kondisi Metabolik
Dalam menentukan mati otak, panduan AAN 2023 menganjurkan pemeriksaan sejarah penggunaan obat, pemeriksaan kadar obat dalam darah dan urine, serta pengecualian kondisi seperti gangguan elektrolit, asam-basa, atau endokrin yang dapat menyebabkan koma reversible. Panduan ini menekankan perlunya mengecualikan dan memastikan koreksi atau eliminasi gangguan metabolisme, keracunan, atau obat yang dapat menekan saraf pusat sebelum mengevaluasi pasien.
Klinisi harus memastikan hasil pemeriksaan toksikologi negatif, kadar alkohol dalam darah tidak melebihi 80 mg/dL, dan kadar obat yang menekan fungsi saraf pusat berada dalam rentang terapeutik atau subterapeutik. Jika gangguan metabolisme tidak dapat dikoreksi secara memadai, tetapi pemeriksaan neurologis dan uji apnea konsisten dengan mati otak, klinisi harus melakukan pemeriksaan tambahan (ancillary testing).[3]
Pemeriksaan Neurologis dalam Penentuan Mati Otak
Pemeriksaan neurologis yang akurat merupakan komponen yang diperlukan dalam menentukan mati otak. Jika pemeriksaan neurologis tidak dapat dilakukan dengan akurat, dokter harus melakukan ancillary test untuk menentukan mati otak.[3]
Penilaian Kesadaran
Dokter memastikan bahwa pasien dalam kondisi koma dan tidak berespons terhadap rangsangan baik visual, pendengaran, maupun sentuhan. Jika pasien masih memiliki respon, maka pasien tidak memenuhi syarat untuk mati otak.[3]
Penilaian Respon Motorik
Pasien harus dipastikan tidak memiliki respon motorik setelah diberikan rangsangan, selain refleks yang dimediasi spinal. Jika masih belum yakin apakah gerakan yang muncul merupakan respon motorik atau refleks yang dimediasi spinal, maka perlu dilakukan ancillary test.[3]
Penilaian Refleks Cahaya Pupil
Refleks pupil merupakan bagian dari refleks batang otak dan bagian dari pemeriksaan neurologis untuk mati otak. Pasien harus dipastikan tidak memiliki respons pupil terhadap cahaya terang pada kedua matanya.[3]
Penilaian Refleks Okulosefalik (OCR) dan Refleks Okulovestibular (OVR)
Dokter harus menentukan bahwa tidak ada OCR pada pasien, kecuali pada kondisi adanya cedera servikal karena OCR akan berbahaya jika dilakukan pada pasien dengan cedera servikal. Jika didapatkan OCR yang negatif bilateral atau jika OCR tidak bisa dilakukan, maka dokter harus melakukan OVR bilateral.[3]
Penilaian Refleks Kornea
Dokter harus memastikan pasien tidak memiliki refleks kornea bilateral.[3]
Penilaian Refleks Muntah dan Refleks Batuk
Refleks muntah dan refleks batuk merupakan bagian dari refleks batang otak. Dokter harus memastikan pasien tidak memiliki refleks muntah dan refleks batuk.[3]
Penilaian Refleks Menghisap dan Refleks Mencari (Rooting)
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan, dokter harus memastikan pasien tidak memiliki refleks menghisap dan refleks mencari.[3]
Tes Apnea Sebagai Bagian Dari Evaluasi Mati Otak
Tes apnea merupakan komponen penting dalam evaluasi mati otak. Dokter harus melakukan setidaknya 1 kali tes apnea setelah pemeriksaan akhir dari pemeriksaan neurologis pada dewasa. Sedangkan pada anak harus dilakukan tes apnea sebanyak 2 kali, 1 kali tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan neurologis selesai.[3]
Prinsip Melakukan Tes Apnea
Tes apnea mengevaluasi adanya usaha pernapasan spontan pada pasien dalam kondisi pasien mengalami asidosis dan hiperkarbia. Sebelum melakukan tes apnea, dokter harus memastikan bahwa risiko adanya dekompensasi kardiopulmoner saat dilakukan tes apnea pada pasien masih bisa ditolerir dan dinilai.[3]
Pastikan Pasien Tidak Mengalami Hipoksemia, Hipotensi, atau Hipovolemia:
Pasien yang mengalami kondisi hiperkarbia berat sebelum tes apnea harus memiliki nilai PaCO2 dan pH darah dalam batas normal sebelum dilakukan tes. Pasien juga harus dipastikan memiliki kadar PaCO2 normal (kadar 35 – 45 mmHg) dan pH normal (7.35 – 7.45) sebelum memulai tes.
Jika pasien sudah mengalami kondisi hiperkarbia yang kronik dan sudah didapatkan kadar dasar (baseline) dari PaCO2 pasien, maka kadar PaCO2 pasien harus berada dalam kadar dasar tersebut. Namun jika kadar dasarnya belum diketahui, kadar dasar PaCO2 pasien berada di kisaran rata-rata perkiraan kadarnya.[3]
Prosedur Pemeriksaan Tes Apnea
Berikan pasien preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 10 menit sebelum melakukan tes apnea untuk mendapatkan kadar PaO2 di atas 200 mmHg. Lakukan pemeriksaan analisis gas darah (AGD) setelah melakukan preoksigenasi dan sebelum melepas ventilator untuk dapat menentukan kadar dasar PaO2, PaCO2, dan pH darah. Lakukan pemeriksaan AGD ulang setelah 8-10 menit kondisi apnea. Namun jika pasien mengalami ketidakstabilan kardiopulmoner, pemeriksaan AGD bisa dilakukan lebih cepat.
Jika tes apnea harus dihentikan segera karena penurunan tekanan darah atau saturasi oksigen, lakukan pemeriksaan AGD ulang sebelum memasang kembali ventilator ke pasien. Jika kriteria kadar PaCO2 dan pH darah tidak memenuhi kriteria, namun pasien masih dalam kondisi hemodinamik yang stabil dan tidak mengalami hipoksemia, maka tes apnea dapat dilanjutkan lebih dari 10 menit dengan pemeriksaan AGD dilakukan setiap 2 menit.
Jika tes dihentikan tetapi pasien masih memiliki kondisi hemodinamik yang stabil dan tidak mengalami desaturasi, tes apnea dapat diulangi kembali dengan waktu pengujian yang lebih panjang dengan tetap dilakukan preoksigenasi terlebih dahulu sampai kadar PaO2 > 200 mmHg dan kadar PaCO2 dan pH kembali normal.[3]
Interpretasi Tes Apnea
Pada pasien yang diketahui tidak memiliki retensi CO2, memenuhi kriteria jika:
- Tidak terjadi pernapasan
- Kadar pH arterinya <7.3, dan
- Kadar PaCO2 ≥60 mmHg dan ≥20 mmHg di atas kadar saat sebelum dilakukan tes apnea.
Pada pasien yang diketahui memiliki retensi CO2 dan kadar PaCO2 juga diketahui, memenuhi kriteria jika:
- Tidak terjadi pernapasan,
- Kadar pH arterinya <7.3, dan
- Kadar PaCo2 ≥60 mmHg dan ≥20 mmHg di atas kadar dasar pasien yang tercatat sebelumnya.
Pada pasien yang dicurigai memiliki retensi CO2, tapi dengan kadar dasar PaCO2 yang juga tidak diketahui, memenuhi kriteria jika:
- Tidak terjadi pernapasan
- Kadar pH arterinya <7.3, dan
- Kadar PaCO2 ≥60 mmHg dan ≥20 mmHg di atas kadar dasar sebelum tes apnea, dan harus dilakukan ancillary test.[3]
Ancillary Test pada Evaluasi Mati Otak
Sebelum melakukan ancillary test, dokter harus sudah melakukan pemeriksaan neurologis dan tes apnea harus tetap dicoba untuk dilakukan jika memungkinkan. Ancillary test dilakukan ketika terdapat keraguan dari pemeriksaan neurologis atau ketika tes apnea tidak dapat dilakukan:
- Pada kondisi cedera seperti pada fraktur tulang servikal, dasar tengkorak, atau tulang orbita, cedera wajah yang parah atau kelainan pada wajah yang membuat pemeriksaan neurologis menjadi meragukan, atau cedera pada medula spinalis bagian servikal.
- Pada kondisi tidak mampu melakukan tes apnea secara utuh karena risiko adanya dekompensasi kardiovaskular pada pasien atau ketidakmampuan menginterpretasikan kadar PaCO2 pada pasien dengan hiperkarbia kronik yang kadar dasarnya tidak diketahui.
- Pada kondisi di mana saat pemeriksaan neurologis ditemukan pemeriksaan yang meragukan.
- Pada kondisi kelainan metabolik yang tidak dapat dikoreksi dengan baik.[3]
Tes Fungsi Elektrofisiologi (EEG, AEP, SEP) Tidak Direkomendasikan
Pemeriksaan EEG, AEP (auditory evoked potensial), dan SEP (somatosensory evoked potensial) merupakan beberapa ancillary test yang disarankan pada pedoman AAN 2010 dan pedoman pediatrik tahun 2011. Namun, EEG memiliki keterbatasan yaitu EEG hanya menilai fungsi dari hemisfer otak dan tidak bisa menilai fungsi dari struktur otak yang lebih dalam.
Dalam kondisi tidak ditemukan adanya aktivitas EEG, tidak memberikan informasi mengenai ada atau tidaknya fungsi dari batang otak. Dokter tidak disarankan menggunakan EEG, AEP atau SEP sebagai ancillary test untuk menentukan mati otak.[3]
4-Vessel Catheter Angiography
Angiografi kateter merupakan baku emas untuk studi perfusi karena dapat menilai langsung aliran darah intrakranial dan penggunaan 4-vessel catheter angiography ini dapat digunakan sebagai ancillary test dalam evaluasi mati otak. Modalitas yang dapat dipakai mencakup radionuclide cerebral scintigraphy dan SPECT (single-photon emission computerized tomography).[3]
Ultrasonografi Transkranial Doppler (TCD)
TCD sudah banyak tersedia dan penggunaannya mudah dilakukan pada pasien. Dokter dapat melakukan TCD sebagai ancillary test untuk menentukan mati otak pada dewasa, namun penggunaan TCD tidak direkomendasikan untuk menentukan mati otak pada anak.[3]
CTA dan MRA Tidak Direkomendasikan
Penggunaan CTA dan MRA sebagai ancillary test saat ini belum direkomendasikan untuk menentukan mati otak karena risiko adanya false positive saat pemeriksaan dan juga masih belum banyak data mengenai validasi penggunaannya.[3]
Pertimbangan Khusus
Beberapa pertimbangan dan kondisi khusus harus diperhatikan dalam penentuan mati otak.
Tidak Diperlukan Persetujuan Sebelum Mulai Melakukan Evaluasi Mati Otak
Persetujuan tidak diperlukan untuk mengevaluasi mati otak. Dokter tidak diwajibkan meminta persetujuan sebelum melakukan evaluasi, kecuali ada ketentuan dari undang-undang negara atau kebijakan dari rumah sakit.[3]
Evaluasi Mati Otak pada Pasien Hamil
Jika pasien hamil mengalami mati otak, maka keluarga pasien harus diberitahukan dan diedukasi oleh profesional yang berpengetahuan mengenai hukum yang relevan. Keputusan mengenai dilanjutkan atau dihentikannya dukungan mekanik harus didasarkan pada pertimbangan kelangsungan hidup janin, cedera otak janin yang dapat terjadi karena ibunya mengalami cedera otak, dan juga keinginan pasien sebelumnya dan juga keluarga
Dalam kondisi pasien hamil yang mengalami mati otak, janin mungkin masih dapat bertahan dan dilanjutkannya bantuan dukungan mekanik mungkin masih dapat menjaga bayi dapat dilahirkan dalam kondisi selamat.[3]
Evaluasi Mati Otak pada Pasien dengan Cedera Fossa Posterior
Pasien yang mengalami cedera pada fossa posterior biasanya memiliki klinis koma yang disertai arefleksia batang otak dan apnea, namun pasien bisa masih memiliki beberapa fungsi kortikal. Dokter harus memastikan terlebih dahulu bahwa cedera fossa posterior juga menyebabkan cedera supratentorial yang parah yang dibuktikan dengan neuroimaging. Ini dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam menentukan mati otak pada pasien dengan cedera fossa posterior dengan fungsi supratentorial yang masih baik.[3]
Kesimpulan
American Academy of Neurology (AAN) mengeluarkan panduan evaluasi mati otak pada tahun 2023. Dalam menentukan kematian otak, identifikasi penyebab cedera otak menjadi kunci. Panduan menyarankan agar klinisi memastikan bahwa pasien mengalami cedera otak yang bersifat permanen dan dapat menyebabkan mati otak. Neuroimaging penting untuk mengidentifikasi mekanisme dan tingkat keparahan cedera otak.
Panduan ini merekomendasikan untuk memastikan bahwa suhu tubuh pasien mencapai setidaknya 36°C sebelum evaluasi, dan jika suhu sebelumnya ≤35.5°C, menunggu minimal 24 jam setelah rewarming sebelum melakukan evaluasi. Selain itu, evaluasi terhadap pengaruh obat dan gangguan metabolik harus dilakukan, termasuk melakukan eksklusi dan koreksi kondisi seperti keracunan obat, kadar alkohol, dan gangguan metabolik.
Panduan ini juga merinci komponen pemeriksaan neurologis yang terlibat dalam evaluasi mati otak, termasuk penilaian kesadaran, respons motorik, refleks pupil, dan refleks neurologis lain. Tes apnea juga perlu dilakukan dengan memastikan risiko seminimal mungkin pada pasien. Di sisi lain, ancillary testing dilakukan hanya jika ada indikasi, mencakup pemeriksaan radionuclide cerebral scintigraphy dan SPECT (single-photon emission computerized tomography).