Melatonin pada Anak dengan Gejala Pasca Konkusi – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Luthfi Saiful Arif

Efficacy of Melatonin in Children With Postconcussive Symptoms: A Randomized Clinical Trial

Barlow KM, Brooks BL, Esser MJ, et al. Pediatrics. 2020. 145(4) e20192812 https://doi.org/10.1542/peds.2019-2812

Abstrak

Latar Belakang: Sekitar 25% anak dengan konkusi akan mengalami gejala persisten pasca konkusi (persistent postconcussive symptoms/PPCS) dengan dampak yang signifikan pada kualitas hidup. Melatonin memiliki efek neuroprotektif yang signifikan, dan data preklinis menunjukan potensi penggunaan melatonin untuk meningkatkan luaran setelah cedera otak traumatik. Peneliti memiliki hipotesis bahwa tata laksana dengan melatonin akan lebih baik dalam menurunkan gejala PPCS dibandingkan dengan plasebo.

Metode: Peneliti melakukan uji klinis acak buta ganda dengan menggunakan melatonin 3 atau 10 mg dan dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini mengikutsertakan remaja (berusia 8-18 tahun) dengan PPCS pada 4 hingga 6 minggu setelah cedera otak traumatik ringan. Remaja dengan riwayat medis atau psikiatri yang signifikan atau riwayat konkusi dalam 3 bulan  terakhir dieksklusi. Luaran utama penelitian adalah perubahan skor total youth self-reported Post-Concussion Symptom Inventory yang dinilai setelah 28 hari terapi. Luaran sekunder berupa perubahan kualitas hidup, kognisi, dan pola tidur.

Hasil: 99 anak (rata rata usia:13,8 tahun; SD=2,6 tahun; 58% perempuan) dikelompokan secara acak. Gejala membaik seiring waktu dengan nilai median perubahan skor Post-Concussion Symptom Inventory -21 (Interval kepercayaan  95%; 16 hingga -27). Tidak ada efek signifikan melatonin ketika dibandingkan dengan plasebo dalam analisis intention-to-treat (melatonin 3 mg, -2; melatonin 10 mg, 4). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada luaran sekunder. Efek samping yang muncul bersifat ringan dan serupa dengan plasebo.

Kesimpulan: Anak dengan PPCS mengalami gangguan pada kualitas hidup mereka. 78% sampel mengalami perbaikan signifikan dalam 1 hingga 3 bulan pasca cedera. Uji klinis ini tidak mendukung penggunaan melatonin untuk tata laksana PPCS pada pasien pediatri.

Melatonin pada Anak dengan Gejala Pasca Konkusi-min

Ulasan Alomedika

Jurnal ini membandingkan pemberian berbagai dosis melatonin dengan plasebo pada anak berusia remaja yang mengalami gejala persisten pasca konkusi (Persistent postconcussive symptoms/PPCS). Tujuan studi ini adalah untuk menentukan apakah terapi melatonin dapat memperbaiki PPCS setelah cedera otak traumatik ringan dan konkusi pada remaja serta menelusuri apakah efek melatonin bersifat independen pada pola tidur. Uji klinis acak terkontrol ini dilakukan karena kasus PPCS umum ditemukan, namun penelitian mengenai terapi berbasis buktinya masih sedikit. Selain itu, PPCS akan berdampak pada kualitas hidup, partisipasi di sekolah, dan fungsi penting individu.

Ulasan Metode Penelitian

Uji klinis acak terkontrol buta ganda ini membandingkan efek melatonin dosis 3 dan 10 mg pada PPCS dan pola tidur remaja pasca cedera otak traumatik ringan yang dibandingkan dengan plasebo. Penelitian dilakukan dari Februari 2014 hingga April 2017, mengikutsertakan partisipan dengan rentang usia 8 hingga 18 tahun yang mengalami PPCS. Pada metode tercantum bahwa terdapat perubahan kriteria usia partisipan, yaitu merubah batas bawah usia 13 tahun menjadi 8 tahun. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak partisipan dalam penelitian. Batas bawah usia yang lebih rendah dapat dikaitkan dengan neuroplastisitas yang lebih baik serta kesulitan dalam pengisian kuesioner. Selain itu, perubahan juga terjadi pada waktu sejak konkusi terakhir dari 12 bulan menjadi 3 bulan. Ini sudah sesuai dengan kriteria PPCS dalam DSM-IV yang menyatakan bahwa PPCS dapat ditegakan jika keluhan menetap selama 3 bulan.

Partisipan di rekrut melalui 2 tahap yaitu melalui telepon pada minggu ke-2 hingga minggu ke-4, dan melalui tatap muka 2 minggu setelahnya. Partisipan diikutsertakan jika mengalami PPCS dan mengalami peningkatan ≥10 poin pada skor PCSI pasca cedera. Pasien dengan riwayat medis atau psikologis signifikan, konkusi dalam rentang waktu 3 bulan terakhir, gejala persisten dari konkusi sebelumnya, cedera otak yang lebih berat, intoleransi laktosa, penggunaan obat neuroaktif, dan ketidakmampuan mengisi kuesioner dieksklusi dari penelitian. Rekrutmen partisipan sudah sesuai untuk penelitian ini dan sudah berdasarkan kriteria PPCS pada DSM-IV. Kriteria eksklusi yang diterapkan pada penelitian ini sudah mampu memisahkan antara PPCS dan gangguan lain yang memiliki gejala serupa, seperti dementia pasca trauma.

Pengacakan dilakukan dengan desain blok (blok berukuran 3, 6, dan 9) dan membagi partisipan menjadi 3 kelompok terapi, yaitu plasebo, melatonin 3 mg, dan melatonin 10 mg. Peneliti, penilai luaran, orang tua, dan anak tidak mengetahui mengenai pengelompokan ini karena pengelompokan dilakukan oleh komputer.

Dosis melatonin yang digunakan adalah 3 mg dan 10 mg. Melatonin dikonsumsi secara sublingual, 1 jam sebelum tidur malam selama 28 hari. Pemberian tetap terus dilaksanakan walaupun gejala yang dialami partisipan sudah berkurang. Partisipan dianjurkan untuk tidak mengonsumsi obat analgesik, menghindari olahraga bela diri, melakukan olahraga ringan, dan secara bertahap kembali mengikuti kegiatan sekolah.

Luaran perbaikan PPCS dinilai berdasarkan perubahan skor Post-Concussion Symptom Inventory–Youth (PSCI-Y) pada hari ke-28. Luaran sekunder kualitas hidup dinilai dengan menggunakan kuesioner kesehatan anak. Penyesuaian perilaku dinilai dengan parent-report versions of the Behavior Assessment System for Children, dan luaran fungsi eksekutif harian dinilai menggunakan Behavior Rating Inventory of Executive Function. Luaran kemampuan neurokognisi dinilai menggunakan penilaian terkomputerisasi, sedangkan pola tidur dinilai menggunakan aselerometer. Pemeriksaan sulphatoxymelatonin (aMTX6s) dilakukan sebelum, pertengahan, dan di akhir masa terapi.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran utama penelitian ini terkait kemampuan melatonin untuk memperbaiki PPCS. Walaupun terdapat penurunan skor pada semua kelompok, namun tidak ditemukan perbedaan signifikan yang terjadi antar ketiga kelompok dengan rata rata penurunan skor 21 poin. Hasil serupa ditemukan pada median PCSI-Y dan PCSI-P. Analisis per protokol juga tidak mendukung penggunaan melatonin pada kasus PPCS anak.

Luaran sekunder pola tidur juga menunjukan hasil tidak signifikan. Pola tidur hanya dapat dinilai pada 66 partisipan karena keterbatasan dan malfungsi alat. Luaran kognitif dan perilaku tidak menunjukan perbedaan pasca terapi, sedangkan masalah hiperaktivitas, konduksi, dan agresi menunjukan penurunan yang signifikan pada pemberian melatonin 3 mg dibandingkan dengan plasebo. Luaran kualitas hidup menunjukan perubahan pada akhir terapi, namun perubahan ini tidak signifikan antar kelompok.

Efek samping ditemukan sebanyak 32 kasus (plasebo 8; melatonin 3 mg 13; dan melatonin 10 mg 11). Satu partisipan mengalami efek samping berat yang tidak terkait dengan pemberian melatonin. Frekuensi dan tingkat keparahan tidak menunjukan perbedaan bermakna antar kelompok.

Kelebihan Penelitian

Pemilihan uji acak terkontrol dengan plasebo sebagai kontrol menempatkan kualitas bukti yang dihasilkan menjadi cukup kuat. Metode ini juga dapat menghilangkan kausalitas palsu dan bias yang mungkin terjadi selama masa penelitian berlangsung. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode buta ganda yang dapat menghindarkan hasil penelitian dari kemungkinan bias akibat pemilihan karakteristik partisipan.

Penggunaan berbagai metode untuk menilai luaran primer dan sekunder bersifat objektif sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

Pemilihan analisis intention-to-treat sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh CONSORT, dan dapat menggambarkan skenario klinis praktis dimana pasien yang diberikan terapi melatonin mungkin saja melanggar protokol terapi yang diberikan.

Penelitian ini tidak mendukung penggunaan melatonin pada remaja dengan PPCS. Walaupun demikian, penelitian ini bermakna klinis dan memberikan tambahan informasi mengenai PPCS pada remaja. Remaja dengan PPCS dalam penelitian ini mengalami gangguan kualitas hidup yang signifikan pasca cedera otak traumatik ringan namun pada luaran sekunder didapatkan bahwa kemampuan neurokognisi, fungsi eksekutif, dan fungsi perilaku masih dalam batas normal. Selain itu partisipan umumnya dapat mengalami perbaikan kondisi dalam 1 hingga 3 bulan.

Limitasi Penelitian

Limitasi penelitian ini berupa jumlah sampel penelitian yang kecil. Penelitian ini melibatkan 99 partisipan dan hanya didasarkan dari 80% kekuatan penelitian. Penelitian dengan sampel yang lebih besar dibutuhkan untuk membuktikan efek melatonin pada kasus PPCS anak.

Malfungsi alat dan hilangnya alat pada masa terapi menyebabkan hanya 66 partisipan yang dapat dinilai pola tidurnya. Pada penelitian selanjutnya, keterbatasan alat seharusnya dapat dihindari dengan menyediakan alat cadangan. Tipe gangguan pola tidur sebaiknya diidentifikasi dan ditelusuri lebih lanjut awitan dan durasinya, sehingga efek melatonin pada gangguan pola tidur dapat dinilai dengan lebih baik. Penggunaan kuesioner pola tidur pada anak yang lebih spesifik sebaiknya digunakan pada penelitian selanjutnya.

Perhatian khusus perlu ditujukan pada penggunaan dosis melatonin di penelitian ini. Umumnya dosis melatonin yang digunakan adalah 0,3 hingga 0,5 mg pada anak dan 2 mg pada orang dewasa dengan keluhan jetlag. Pada keluhan insomnia, pemberian dosis 3 mg dapat diberikan pada pasien anak. Pada penelitian ini, penggunaan dosis maksimal 10 mg terlalu tinggi untuk rentang usia anak. Selain itu, terdapat tinjauan Cochrane yang menunjukkan bahwa dosis di atas 5 mg tidak lebih efektif daripada dosis yang lebih rendah.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Riset menunjukan bahwa penggunaan melatonin sebaiknya tidak digunakan pada anak dengan kasus PPCS. Walaupun peneliti menyatakan adanya batasan partisipan yang menimbulkan hasil tidak signifikan pada efek yang ditimbulkan melatonin, pemberian melatonin pada praktik klinis di Indonesia sebaiknya menunggu hasil penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Selain itu, karena penelitian ini merupakan penelitian acak terkontrol pertama yang menganalisis penggunaan melatonin pada anak dengan kasus PPCS, penerapan melatonin pada kasus PPCS di setting klinis sebaiknya ditunda terlebih dahulu.

Penelitian serupa sebaiknya dilakukan pada setting klinis di Indonesia sehingga hasil yang ditunjukan dapat disesuaikan dengan karakteristik anak di Indonesia. Penelitian juga harus memperhitungkan aspek harga, kemudahan mendapatkan obat, dan tingkat kepatuhan pasien untuk mengonsumsi obat.

Referensi