Konsumsi teh telah lama dihubungkan dengan penurunan kadar lemak dan kolesterol dalam darah. Hiperlipidemia merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit jantung karena berkaitan dengan pembentukan plak aterosklerosis. Berbagai studi menunjukkan bahwa individu dengan hiperlipidemia mengalami peningkatan risiko infark miokard 3 kali lipat dibandingkan individu dengan kadar lemak normal.
Bukti terkini mengindikasikan bahwa pola diet yang sehat dapat melindungi pasien dari penyakit kardiovaskular. Bersamaan dengan itu, beberapa penelitian telah menunjukkan adanya korelasi terbalik antara konsumsi teh dengan kadar kolesterol.[1,2]
Kandungan Teh yang Menguntungkan Kesehatan
Teh merupakan minuman populer yang terbuat dari daun tanaman teh (Camellia sinensi). Secara umum teh terbagi menjadi tiga jenis berbeda yaitu teh hijau, teh hitam dan teh oolong yang dibedakan dari metode proses pembuatannya dan profil kimianya. Teh hijau mencapai 20% dari keseluruhan total produksi teh dan terutama dikonsumsi di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Teh hitam yang mencapai 78 % dari produksi dunia dikonsumsi terutama di Amerika Utara, Eropa, dan Afrika Utara.[3]
Secara tradisional, berbagai budaya mendukung konsumsi teh hijau untuk menjaga kesehatan tubuh seperti meredakan nyeri, memperbaiki pencernaan, detoksifikasi dan meningkatkan energi tubuh, serta menurunkan angka kematian akibat penyakit. Pada perkembangannya, beberapa studi ilmiah mengindikasikan adanya efek menguntungkan dari teh hijau terhadap risiko penyakit kardiovaskular, terutama berkaitan dengan senyawa catechin yang ada dalam teh hijau.[4]
Catechin yang terdapat di teh hijau terdiri dari epicatechin (EC), epicatechin gallate (ECG), dan epigallocatechin (EGC). Komponen fungsional utamanya adalah epigallocatechin-3-gallate (EGCG) yang mengandung 59 % dari catechin di teh hijau. Manfaat utama dari EGCG disebabkan oleh berbagai aktivitas biologisnya, seperti antioksidan, antiinflamasi, dan aktivitas hipolipidemia.[5]
Hubungan Konsumsi Teh dengan Kadar Kolesterol
Berbagai penelitian telah menghubungkan tingkat konsumsi teh dengan penurunan kejadian kardiovaskular. Konsumsi 1 hingga 3 cangkir atau lebih dari teh hijau atau teh hitam per hari dihubungkan dengan penurunan 20-30 % dari risiko stroke dan penyakit kardiovaskular. Meski begitu, studi yang tersedia tidak melakukan blinding dan tidak memiliki kontrol, sehingga terdapat risiko bias.[6,7]
Teh Hijau:
Pada jenis teh hijau, hasil penelitian menunjukkan bahwa efek kardioprotektif dari teh hijau terutama disebabkan oleh efek antioksidan catechin yang bekerja dengan memicu enzim antioksidan, menghambat enzim prooksidan, dan menetralisir radikal bebas. Sejalan dengan penelitian pada hewan dimana catechin memiliki efek menurunkan kolesterol, konsumsi catechin telah dilaporkan menurunkan total kolesterol dan low density lipoprotein (LDL) pada penelitian manusia.
Meski mekanisme pasti dari teh hijau dalam menurunkan kolesterol belum dimengerti sepenuhnya, peningkatan thermogenesis, peningkatan ekspresi gen dari enzim yang terlibat pada produksi asam empedu, dan supresi nafsu makan telah diduga menjadi mekanisme yang mendasari.[6,7]
Teh Hitam:
Teh hitam mengandung polifenol, terutama jenis theaflavin dan thearubigins. Zat bioaktif tersebut memiliki potensi menurunkan hiperkolesterolemia dan hiperglikemia seiring dengan potensi anti-onkogen karena kapasitas antioksidan yang tinggi. Theaflavin merupakan kelompok yang menyusun 3-6 % dari polifenol teh hitam. Theaflavin menunjukkan aktivitas anti radikal bebas dan antioksidan tinggi yang dianggap berperan meningkatkan kesehatan kardiovaskular.[3,9]
Bukti Ilmiah Mengenai Efek Konsumsi Teh Terhadap Kadar Kolesterol Dalam Darah
Sebuah meta analisis (2020) yang mengevaluasi 31 penelitian dengan total 3321 subjek menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau secara signifikan menurunkan kadar total kolesterol (− 4,66 mg/dL) dan LDL (− 4.55 mg/dL) secara signifikan dibandingkan kontrol. Konsumsi teh hijau tidak mempengaruhi high-density lipoprotein (HDL), akan tetapi menurunkan juga trigliserida (-3,77 mg/dL) dibandingkan kontrol.
Meski begitu, perlu dicatat bahwa penelitian yang dianalisis menggunakan perlakuan bervariasi dalam hal dosis dan kebanyakan bentuk sediaan yang digunakan adalah ekstrak, bukan minuman dari hasil seduhan daun teh seperti yang umum dikonsumsi masyarakat.[1]
Tinjauan sistematik lain (2018) dilakukan pada 7 publikasi dan mendapatkan bahwa pemberian EGCG ekstrak teh hijau dengan dosis 379-843 mg pada subjek obesitas selama 3-12 bulan menghasilkan penurunan yang signifikan dari kolesterol, termasuk total kolesterol, LDL, dan trigliserida. Ini sejalan dengan meta analisis lain (2023) terhadap 55 uji klinis yang menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak teh hijau secara signifikan menurunkan trigliserida dan LDL, serta meningkatkan HDL.[7,8]
Selain catechin, senyawa theaflavin pada teh hijau juga diduga berperan dalam menurunkan kolesterol. Studi terhadap 240 subjek yang mendapat ekstrak teh hijau yang diperkaya theaflavin 375 mg selama 12 minggu melaporkan penurunan total kolesterol, LDL, dan trigliserida.[2]
Dalam studi lain yang melibatkan 1651 pasien dengan dyslipidemia dan 1390 pasien kontrol, meminum 600 ml dari teh hijau, teh hitam, atau teh oolong setiap hari dihubungkan dengan risiko dislipidemia yang lebih rendah. Konsumsi dari teh oolong pada durasi terpanjang dihubungkan dengan penurunan total kolesterol 3%, trigliserida 12%, dan LDL 6-7%. Meski begitu, tidak dilakukan blinding dalam studi ini, sehingga tetap ada risiko bias.[10,11]
Kesimpulan
Konsumsi teh telah lama dihubungkan dengan penurunan kolesterol. Beberapa bukti ilmiah yang tersedia mengonfirmasi hal ini dengan menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau, teh hitam, atau teh oolong efektif menurunkan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida. Meski begitu, belum ada bukti adekuat yang secara langsung mengevaluasi konsumsi teh terhadap risiko penyakit kardiovaskular, sehingga belum jelas apakah penurunan kadar lemak darah tersebut akan memiliki makna klinis yang berarti.
Sama halnya dengan banyak produk makanan atau minuman bernutrisi, uji coba acak terkontrol dengan kekuatan bukti yang adekuat masih diperlukan. Jika uji coba tersebut menunjukkan penurunan lipid darah yang signifikan dan tanpa bias, maka langkah selanjutnya adalah mengisolasi bahan efektif dalam teh dan menentukan dosis yang diperlukan, agar dapat menyiapkan obat standar. Masalah dengan tanaman seperti teh adalah kandungan bahan aktifnya dapat bervariasi secara signifikan antara daun berdasarkan jenis tanah, curah hujan, variasi musim, dan praktik pertanian.
Minuman teh tanpa pemanis dapat direkomendasikan kepada penderita dislipidemia jika ingin memilih minuman, tetapi perlu digarisbawahi bahwa teh tidak boleh dijadikan pengganti terapi medis standar