Pemilihan Antibiotik untuk Ibu Menyusui

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Pemilihan antibiotik untuk ibu menyusui perlu memperhatikan aspek keamanan pada bayi yang disusui. Menyusui berperan penting bagi ibu maupun bayi karena bermanfaat secara nutrisional, imunologis, dan sosial-ekonomi. Namun, proses kadang dihentikan lebih awal karena ada kekhawatiran terkait antibiotik yang perlu dikonsumsi ibu. Oleh karena itu, dokter sebisa mungkin memilih antibiotik yang tepat untuk ibu tetapi juga aman untuk bayi yang disusui, sehingga pemberian ASI bisa dilanjutkan.[1,2]

Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling sering diresepkan pada ibu menyusui, terutama untuk kasus mastitis, dengan angka kejadian antara 16-49%. Di sisi lain, tenaga kesehatan mempunyai keterbatasan pengetahuan farmakokinetik dan kurang memahami literatur terkait laktasi, sehingga pengelolaan klinis terkadang berujung pada anjuran penghentian menyusui saat ibu membutuhkan antibiotik.[1,3]

 Pemilihan Antibiotik untuk Ibu Menyusui

Penghentian menyusui hanya dianjurkan bila risiko paparan obat melalui ASI melebihi manfaat klinis bagi ibu. Evaluasi keamanan harus mencakup potensi efek samping obat pada bayi, kadar obat dalam ASI, tingkat penyerapan oral oleh bayi, serta kemungkinan gangguan produksi ASI.[1,2]

Faktor yang Memengaruhi Transfer Obat ke Dalam ASI

Ada beberapa faktor yang memengaruhi tingkat transfer obat ke dalam ASI, contohnya gradien konsentrasi, besar molekul, derajat ionisasi, waktu paruh, dan ikatan protein.[1]

Gradien Konsentrasi

Transfer antibiotik dari serum ibu ke ASI umumnya terjadi melalui difusi pasif mengikuti gradien konsentrasi. Semakin tinggi kadar obat dalam sirkulasi maternal, semakin besar pula jumlah obat yang masuk ke dalam ASI. Pada kondisi tertentu, strategi seperti pump and dump atau pemberian formula sementara dapat dipertimbangkan untuk menurunkan paparan obat tanpa harus menghentikan menyusui sepenuhnya.[1]

Besar Molekul

Obat dengan berat molekul kecil (<300 Da) lebih mudah melewati membran melalui difusi pasif dan dapat mencapai konsentrasi yang lebih tinggi dalam ASI. Obat dengan berat molekul 500–800 Da masih dapat masuk ke dalam ASI, sedangkan yang >900 Da umumnya sulit untuk berdifusi ke dalam ASI. [1,4]

Volume Distribusi (VD)

Volume distribusi menggambarkan hubungan antara jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat dalam darah. Antibiotik dengan VD tinggi (misalnya 1 L/kg) cenderung terkonsentrasi di jaringan sehingga kadar obat dalam plasma dan cairan interstitial lebih rendah, yang berakibat pada konsentrasi obat dalam ASI yang juga lebih kecil. Secara umum, obat dengan VD 1–20 L/kg pada ibu dianggap kompatibel dengan menyusui.[1]

Derajat Ionisasi dan pKa (Konstanta Disosiasi)

Sebagian besar antibiotik merupakan asam atau basa lemah yang tingkat ionisasinya dipengaruhi pH lingkungan. Dengan pH ASI sekitar 7,2 (lebih rendah dari pH plasma) antibiotik dengan pKa tinggi cenderung terionisasi dan terakumulasi dalam ASI.[1,4]

Ikatan Protein

Ikatan protein yang tinggi menyebabkan obat lebih banyak berada di jaringan dan lebih sedikit masuk ke ASI. Obat dengan ikatan protein >90% umumnya memiliki transfer yang rendah ke dalam ASI.[1,4]

Waktu Paruh

Obat dengan waktu paruh panjang bertahan lebih lama dalam sirkulasi ibu, sehingga meningkatkan kemungkinan transfer ke dalam ASI.[1]

Bioavailabilitas Oral pada Bayi

Transfer obat ke ASI dapat dinilai melalui rasio milk-to-plasma (M/P), di mana nilai >1 menunjukkan konsentrasi obat dalam ASI lebih tinggi dan risiko paparan meningkat. Keamanan tambahan dinilai dengan relative infant dose (RID), di mana obat dengan RID <10% dari dosis ibu umumnya dianggap aman untuk ibu menyusui.[1]

Prinsip Umum untuk Meminimalkan Risiko Paparan Obat terhadap Bayi

Ada beberapa prinsip umum yang perlu diterapkan untuk meminimalkan risiko paparan obat terhadap bayi yang disusui. Pertama-tama, hindari peresepan antibiotik yang tidak perlu atau yang tidak memiliki indikasi jelas. Antibiotik hanya diberikan pada kasus yang benar-benar membutuhkan antibiotik. Kedua, obat yang aman untuk bayi umumnya juga aman untuk ibu menyusui. Namun, obat yang aman selama kehamilan belum tentu aman saat menyusui.[2]

Gunakan terapi topikal jika memungkinkan, kecuali pada area puting susu. Prioritaskan penggunaan obat yang telah memiliki data keamanan yang baik untuk populasi bayi. Pilih obat dengan karakteristik farmakokinetik yang lebih aman, seperti kelarutan lemak rendah, penyerapan oral yang buruk, waktu paruh yang singkat, dan kemampuan ikatan protein yang tinggi.[2]

Berikan obat dengan dosis sekali sehari tepat sebelum periode tidur terpanjang bayi, yang umumnya setelah sesi menyusu malam hari. Untuk obat dengan frekuensi dosis lebih dari satu kali sehari, dianjurkan menyusui bayi segera sebelum waktu pemberian obat berikutnya.[2]

Antibiotik yang Dinilai Paling Aman untuk Ibu Menyusui

Jenis antibiotik yang dinilai paling aman untuk ibu menyusui umumnya adalah golongan penicillin dan cephalosporin.[2]

Penicillin

Penicillin hanya mencapai ASI dalam jumlah kecil dan umumnya dinilai aman. Sebagian besar penicillin terdegradasi oleh asam lambung. Namun, pada bayi baru lahir dengan produksi asam lambung yang rendah, bioavailabilitas oral mungkin meningkat sehingga penyerapan obat menjadi lebih tinggi.[2,5]

Penicillin V oral biasanya digunakan untuk kasus mastitis. Selain itu, penicillin lain yang juga umum digunakan oleh ibu menyusui adalah amoxicillin dan amoxicillin-clavulanate. Amoxicillin mencapai kadar rendah dalam ASI (±0,68–1,3 μg/mL) setelah dosis ibu 1 g, sehingga risiko toksisitas langsung pada bayi amat rendah. Efek yang mungkin muncul adalah reaksi hipersensitivitas atau perubahan flora usus. Amoxicillin-clavulanate juga menunjukkan profil keamanan yang baik dengan efek samping yang ringan (somnolen dan ruam) dan dapat sembuh sendiri.[2,5]

Cephalosporin

Golongan ini memiliki mekanisme kerja dan sifat farmakologis mirip dengan penicillin, sehingga secara umum dianggap aman digunakan selama menyusui.[5]

Generasi Pertama:

Cephalexin efektif untuk bakteri coccus aerob Gram positif seperti methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), misalnya pada kasus postpartum mastitis.[2]

Generasi Kedua:

Cefaclor efektif terhadap bakteri Gram positif dan sebagian bakteri Gram negatif. Pada ibu menyusui yang mendapat 250 mg cefaclor, kadar obat dalam ASI sangat rendah (~0,15 μg/ml) dan sudah tidak terdeteksi setelah 5 jam.[2]

Generasi Ketiga:

Ceftriaxone memiliki aktivitas tinggi terhadap bakteri Gram negatif dan menjadi pilihan utama untuk meningitis akibat kuman sensitif. Setelah pemberian IV 1 g, kadar dalam ASI mencapai ~0,7 μg/ml dan bertahan hingga 24 jam karena waktu paruhnya panjang. Paparan ini mungkin memengaruhi mikrobiota usus bayi, tetapi American Academy of Pediatrics (AAP) menganggap penggunaan umumnya kompatibel dengan menyusui.[2]

Generasi Keempat:

Cefepime memiliki spektrum luas terhadap bakteri Gram negatif dan positif (termasuk MSSA). Paparan pada bayi diperkirakan sangat rendah (~0,5 mg/hari pada konsumsi ASI 1 L/hari). Obat dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek samping signifikan.[2]

Antibiotik yang Dinilai Aman untuk Ibu Menyusui

Terlepas dari antibiotik yang dinilai paling aman di atas, ada beberapa antibiotik lain yang juga dinilai aman untuk ibu menyusui, yaitu fluoroquinolone dan makrolida.[6]

Fluoroquinolone

Meskipun memiliki bioavailabilitas oral tinggi dan penetrasi jaringan yang baik sehingga dapat masuk ke ASI, keberadaan kalsium dalam ASI menurunkan penyerapan obat pada bayi. Fluoroquinolone seperti ciprofloxacin umumnya tidak digunakan pada bayi karena dikhawatirkan dapat menimbulkan efek merugikan pada perkembangan sendi. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa risikonya sangat kecil.[2,6]

Penggunaan ciprofloxacin pada ibu menyusui dapat diterima, dengan catatan bayi perlu dipantau terkait kemungkinan gangguan flora usus (terjadinya diare atau kandidiasis). Hindari menyusui selama 3–4 jam setelah pemberian dosis untuk mengurangi paparan ciprofloxacin pada bayi.[2,6]

Makrolida

Makrolida umumnya dapat digunakan selama menyusui, tetapi perlu kehati-hatian dan pemantauan, terutama dalam 2 minggu pertama kehidupan bayi. Obat ini diekskresikan dalam kadar rendah ke dalam ASI sehingga umumnya dianggap aman, tetapi ada risiko infantile hypertrophic pyloric stenosis (IHPS) bila digunakan dalam 2 minggu pertama setelah kelahiran.[7]

Azithromycin dinilai lebih aman pada ibu menyusui daripada erythromycin. Erythromycin dapat masuk ke ASI hingga kadar 3,2 μg/ml dan dikaitkan dengan risiko stenosis pilorus pada bayi. AAP menilai obat ini kompatibel dengan menyusui, tetapi penggunaannya sebaiknya dibatasi.[1]

Antibiotik yang Perlu Hati-Hati Penggunaannya pada Ibu Menyusui

Terdapat beberapa antibiotik yang penggunaannya pada ibu menyusui perlu dipantau dengan ketat karena lebih berisiko daripada beberapa antibiotik yang disebut di atas.

Clindamycin

Penggunaan clindamycin pada ibu menyusui cenderung tidak direkomendasikan. Efek samping yang dapat timbul pada bayi adalah gangguan flora usus yang bermanifestasi sebagai hematokezia, diare, kandidiasis, dan kolitis (jarang terjadi). Bila obat ini perlu digunakan, lakukan pemantauan secara ketat.[2,8]

Doxycycline

Penggunaan doxycycline jangka pendek umumnya diperbolehkan, tetapi penggunaan yang lama atau berulang harus dihindari karena adanya risiko perubahan permanen warna gigi dan gangguan pertumbuhan tulang bayi. Efek samping lain bisa berupa ruam, keluhan saluran cerna (seperti diare), dan kandidiasis.[2,9]

Metronidazole

Obat ini bisa masuk ke dalam ASI dengan kadar hingga 15 μg/ml. AAP menyatakan metronidazole sebagai obat yang efeknya pada bayi belum diketahui pasti tetapi perlu diwaspadai selama menyusui. Efek samping yang dirasakan bayi adalah metallic taste pada ASI. Perubahan rasa ASI ini dapat mengurangi konsumsi ASI oleh bayi.[1,2]

Trimethoprim/sulfamethoxazole

Ada risiko kernikterus akibat kemampuan obat ini mengikat albumin dan menggantikan bilirubin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin pada bayi baru lahir. Selain itu, terdapat potensi anemia hemolitik pada bayi dengan defisiensi enzim G-6-PD. Namun, risiko kedua efek tersebut dinilai rendah.[1,2]

Chloramphenicol

Karena memiliki berat molekul kecil dan kelarutan lemak tinggi, chloramphenicol dapat menembus seluruh jaringan tubuh termasuk ASI. Penggunaannya pada anak dikaitkan dengan anemia aplastik, supresi sumsum tulang (anemia, leukopenia, trombositopenia), serta gray baby syndrome, terutama bila kadar plasma melebihi 50 μg/ml.[1,2]

Menurut AAP, efek chloramphenicol pada bayi menyusu belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berisiko, sehingga penggunaannya tidak dianjurkan selama menyusui kecuali benar-benar diperlukan dan tidak ada alternatif yang lebih aman.[2]

Kesimpulan

Mayoritas antibiotik aman digunakan ibu menyusui asalkan karakteristik farmakokinetik diperhatikan. Antibiotik yang dinilai paling aman untuk digunakan ibu menyusui adalah penicillin dan cephalosporin. Sementara itu, antibiotik lain yang juga dinilai cukup aman adalah fluoroquinolone dan makrolida. Antibiotik yang sebaiknya dihindari atau hanya digunakan dengan pengawasan ketat adalah clindamycin, doxycycline, metronidazole, trimethoprim/sulfamethoxazole, dan chloramphenicol.

Untuk meminimalkan risiko pada bayi, dianjurkan untuk memilih antibiotik dengan bukti penggunaan yang luas pada ibu menyusui dan memilih antibiotik dengan transfer yang rendah ke ASI atau absorpsi minimal yang pada bayi.

Referensi